Tak lama kemudian Jiang Laotouer menyelesaikan tiga lembar jimat dan menyerahkannya pada ibuku: “Jimat ini hanya jenis paling sederhana dari Fu Penangkal Roh Jahat. Tempelkan masing-masing di pintu rumah, pintu kamar ini, dan kepala tempat tidur. Untuk sementara aku tidak ingin melukai hantu itu, cukup menghalanginya agar mengerti kesulitan dan mundur. Tiga Fu Penangkal sudah cukup. Semua masalah harus kuselesaikan besok saat aku datang. Setelah urusan hantu selesai, kita akan mencari kembali Hun yang hilang dari Ermei.”
Ibuku segera menuruti perintah Jiang Laotouer, menempelkan tiga jimat di tempat yang telah ditentukan.
"Selanjutnya, tidak ada hal lain yang perlu dilakukan. Semua orang hanya menunggu dengan diam, terlihat sangat tegang, kecuali Kakek Jiang dan aku. Aku merasa punya kepercayaan tak berdasar pada Kakek Jiang, meski agak jijik dengan kelakuannya yang menjijikkan. Saat ini seluruh perhatianku tertuju pada rasa penasaran terhadap Kakek Jiang."
"Sedangkan Kakek Jiang, mungkin situasi seperti ini hanya hal sepele baginya. Sama sekali tidak perlu merasa tegang sedikit pun."
"Waktu berlalu cepat, tak terasa pukul 11 tiba."
"Di hari-hari sebelumnya, saat hantu perempuan itu mengganggu Er Jie tepat pukul 11, semuanya terjadi tanpa suara. Namun hari ini, tak lama setelah pukul 11, dari luar pintu rumah terdengar suara ketukan 'pung pung' seperti orang mengetuk pintu."
"'Makhluk itu sudah sampai di depan pintu,' kata Kakek Jiang dengan tenang sambil berdiri, lalu berjalan dua langkah dengan tangan terkunci di belakang punggung."
"'Master Jiang, kenapa saya merasa hantu ini semakin ganas? Biasanya muncul tanpa suara, kenapa hari ini malah bisa mengetuk pintu?' Ibu yang gelisah oleh suara 'pung pung' itu bertanya dengan wajah pucat pada Kakek Jiang."
"'Dia bukan sedang mengetuk pintu. Ada Fu Penangkal Sial di pintu yang menghalanginya. Sekarang dia sedang berusaha melawan Fu itu. Tapi Fu Penangkal Sial seperti itu tidak akan bertahan lama. Lihat saja.' Kakek Jiang berkata dengan tenang. Benar saja, tak lama setelah ucapannya, suara 'pung pung' berhenti. Angin berhembus, Fu yang tadinya menempel erat itu terlepas dan berput-put jatuh ke tanah."
Karena sudut pandangnya, seluruh keluarga kami melihat pemandangan ini dan merasa merinding. Hanya Jiang Laotou yang tetap tenang sambil menyesap teh, "Lembaran kedua!"
Lembaran kedua jimat ditempel di pintu kamar tidur. Kami semua menatap tegang. Benar saja, dalam sekejap mata, jimat kedua tiba-tiba bergerak sendiri tanpa angin, disertai suara 'hua-la-la'.
"Hei, Laotou, menurutmu tiga jimat ini bisa nahan hantu perempuan itu? Kalau gagal gimana?" Aku yang ceplas-ceplos ini tadinya sedih karena hantu yang ngeganggu Erjie adalah ulahku. Melihat kondisi Erjie membaik, hatiku agak lega, dan berjanji akan lebih baik ke Erjie! Keluar dari bayang-bayang itu, aku mulai ingin bicara. Melihat situasi ini, aku tak tahan bertanya.
'Bang!' Yang menyambutku bukan jawaban ramah Jiang Laotou, tapi dua jarinya yang menghantam keras kepalaku! Entah jarinya terbuat dari besi apa, suara pukulannya begitu nyaring. Akhirnya aku tahu bagaimana rasanya melihat bintang-bintang berkunang.
"Bocah kurang ajar, semua orang di dunia ini boleh tidak menghormatiku, itu bagaikan angin sepoi-sepi bagiku. Tapi kamu tidak boleh, maksudmu 'si tua'?! Mengerti tidak sopan santun menghormati guru?" Om Jiang memarahiku tanpa alasan yang jelas, tapi aku cuma menutupi kepala tak berani bicara. Sebenarnya aku berterima kasih pada pria tua ini, dia sedang menyelamatkan kakak keduaku, dan aku yakin dia punya kemampuan nyata. Jadi, aku tahan saja, tak berani membalas.
Setelah memarahi, Om Jiang menjelaskan padaku: "Tiga Fu Pengusir Bala sudah kuhitung tepat, cukup untuk membuatnya kelelahan dan mundur. Lagipula, kalau tidak bisa mengusirnya, bukannya masih ada aku di sini? Ngapain buru-buru? Orang yang menekuni Tao paling（haram）jadi emosional. Orang yang emosional, aura energinya tidak stabil, selain menurunkan keberuntungan diri, juga mudah dimasuki roh jahat. Kamu harus tenang."
Tapi tak kusangka, di akhir penjelasannya Om Jiang malah memarahiku lagi. Aku sama sekali tak paham maksudnya, cuma diam sambil dalam hati memaki diri sendiri yang terlalu banyak bicara. Si tua itu tidak pernah memaki orang lain, cuma suka memakiku.
Baru sebentar saja, Fu Pengusir Bala kedua sudah jatuh melayang. Keluarga yang duduk di dalam ruangan jelas-jelas merasakan hembusan angin dingin menusuk wajah. Dinginnya membuat semua orang menggigil, kecuali Om Jiang.
“Hehe, ternyata dendammu sangat mendalam. Dua jimat penangkal santet kecil saja, bisa membuatmu punya niat seperti ini. Tapi apakah kau punya kemampuan?” Sambil berkata demikian, Jiang Laotou tiba-tiba melangkah dengan pola aneh mengelilingi anggota keluarga yang duduk, lalu berhenti di satu posisi sambil menahan satu kakinya di udara.
Begitu Jiang Laotou melakukan gerakan ini, angin dingin yang sebelumnya berputar-putar di ruangan tiba-tiba berhenti. Sesaat kemudian, aku melihat sarung bantal di kepala tempat tidur kakak kedua terangkat tertiup angin—jelas terasa ia bergerak menuju kakak kedua.
Jiang Laotou mendengus dingin. Kaki yang ditahannya perlahan diinjakkan. Ia hanya memandang dingin ke arah kakak kedua. Tak lama kemudian, jimat di kepala tempat tidur kakak kedua jatuh melayang. Setelah memejamkan mata dan merasakan energi, ia bergumam, "Sampai segitunya gila? Hmph... Simpul pengunci jiwa buatanku mana mungkin bisa kau bobol?"
Sambil berbicara, Jiang Laotou tiba-tiba melesat ke depan jendela kakak kedua. Satu tangan disimpan di belakang, satunya lagi dijulurkan ke depan sambil mulutnya komat-kamit membaca mantra. Jari-jari tangan yang terulur itu bergerak cepat membentuk rangkaian simbol. Begitu bacaan mantranya berhenti, mudra tangannya pun terbentuk sempurna.
Saat mudra Jiang Laotou selesai, aura tubuhnya tiba-tiba berubah drastis—tampak tegas dan perkasa. Mudra yang dibentuk tangannya bagikan trisula besi, memancarkan kesan tajam dan penuh tenaga.
“Awalnya aku tidak ingin membuatmu hancur berantakan, kau juga tak bisa memecahkan Simpul Pengunci Jiwa ini. Jika kau terus-menerus menantang, hari ini terpaksa aku harus menahanmu.” Kakek Jiang berteriak keras, sementara gerakan tangan berbentuk garpu besinya siap ditusukkan ke depan.
Saat itu, seluruh keluarga kami tiba-tiba merasakan kehangatan di dalam rumah, seolah ada sesuatu yang pergi. Rupanya hantu jahat itu telah pergi.
Kakek Jiang mulai merilekskan tubuhnya, lalu memeriksa kondisi kakak kedua sebelum menjelaskan: "Kebencian hantu ini sangat langka. Dua Fu Penangkal Sial sebelumnya membuatnya murka. Setelah masuk, dia hendak menyerang seluruh keluargamu. Aku segera melangkahkan langkah Gang, dan saat memanggil dewa masuk ke tubuh di detik terakhir, berhasil mengusirnya. Tak puas, dia mencoba mengganggu Ermei. Saat Fu-nya pecah dan kekuatannya habis, dia masih berusaha merasuki Ermei dengan dendamnya."
Kakek Jiang mendengus dingin: "Tapi Simpul Pengunci Jiwaku mana mungkin ditembusnya? Meski begitu, tak boleh dibiarkan semena-mena. Aku menggunakan Jari Besi Garpu. Andai dia masih lancang, pasti kuhancurkan jiwanya!"
Ucapan Kakek Jiang membuatku bersemangat. Sungguh gagah! Hanya dengan beberapa gerakan sudah bisa mengusir hantu jahat, bahkan lebih hebat dari cakar harimau di leherku. Andai aku juga bisa belajar jurus-jurus ini.
Kakek Jiang yang tadinya sedang menjelaskan kejadian tersebut kepada keluarga kami, tiba-tiba diam seribu bahasa. Beliau menatapku sambil tersenyum licik seolah bisa membaca pikiranku, "San Wa'er, kau iri melihat kemampuanku? Baiklah, panggil aku Shifu sekarang. Setelah urusan kakak keduamu selesai, aku akan membawamu ke gunung untuk upacara pengangkatan murid."
Mendengar itu, aku langsung melompat tinggi sambil berteriak keras, "Aku tak tertarik sama keahlianmu itu! Aku mau jadi Tentara Merah kalau sudah besar, bukan jadi Taoist!"
Di mataku, Kakek Jiang ini adalah pemburu hantu. Menurut logikaku, pemburu hantu sama dengan Taoist. Mau aku jadi Taoist setelah besar?! Tidak mungkin! Benar-benar tak mungkin! Itu terlalu jauh dari cita-citaku menjadi pahlawan perang.
Kakek Jiang hanya tertawa terkekeh-kekeh melihat kegaranganku. Setelah tawanya reda, aku hanya sempat melihatnya melangkah beberapa kali sebelum tiba-tiba mataku berkunang-kunang - tubuhku sudah tergantung di tangannya! Apa yang terjadi?! Ini bagaimana bisa?!
Terangkat tiga chi dari tanah oleh Kakej Jiang, aku panik bukan main. Baru bertemu sebentar saja sudah dua kali kena masalah, apa ini akan jadi yang ketiga? Gerakan kakek tua ini sungguh terlalu cepat! Bagaimana cara dia menangkapku, sama sekali tak kurasakan!
Setelah menangkapku, aku masih meronta-ronta. Jiang Laotouer tidak menghiraukanku. Di depan orang tuaku dan kakak perempuanku, ia langsung menarik celanaku dengan suara ‘srrrt’, lalu menekanku ke bangku. Tanpa menunggu tangisanku, ‘pak!’ suara tamparan keras mendarat di pantatku.
“Jiang Laotouer yang jahat, berani-beraninya kau mencabut celanaku!!” Wajahku merah membara. Kakakku ada di sini, tapi si tua ini berani menelanjangi pahlawan sepertiku. Jika Su Rou dan yang lain tahu, reputasiku yang hebat akan hancur.
“Tidak tahu menghormati guru.” Jiang Laotouer mengabaikanku, bergumam sendiri. ‘Pak!’ tamparan lagi.
“Aku akan melawanmu, Jiang Laotouer bajingan! Ayo bertarung satu lawan satu, jangan pakai cara tampar pantat!” Aku sudah hilang akal.
“Kepala batu.” ‘Pak!’ tamparan ketiga.
“Jiang Laotouer jahanam...”
‘Pak! Pak! Pak!’ Terus menerus. Bagaimanapun aku berteriak, jawabannya tetap suara tamparan pantat yang nyaring!
Awalnya di tengah amarah, aku belum merasakan sakit. Tapi setelah beberapa saat, rasa panas menyengat di pantat benar-benar tak tertahankan. Telapak tangan besi si tua ini jauh lebih dahsyat daripada pukulan ayahku.
“Hiks... aku salah...” Aku merengek minta ampun, benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Hatiku dipenuhi kemarahan dan kesedihan. Ayah dan ibuku itu membiarkan saja aku dipukuli oleh kakek asing. Padahal jelas-jelas kulihat kakak perempuanku merasa kasihan, ingin melerai, tapi ditahan oleh ibuku!
Ini orang tua macam apa sih? Menjual anak sendiri! Meski hati dipenuhi kemarahan, aku juga tidak bisa terus-terusan dipukuli. Setelah Jiang Laotou memukuliku belasan kali lagi, akhirnya aku menyerah dan mengakui kesalahan.
“Oh? Salah di mana?” Jiang Laotou tersenyum-senyum, ekspresinya terlihat sangat tidak puas, seolah belum puas memukuliku.
“Aku... aku tidak menghormati guru... aku... aku keras kepala... aku... aku bandel tidak mau bertobat...” Sambil terisak-isak, aku mengulangi omelan Jiang Laotou tadi, wajahku menunjukkan ekspresi orang yang sudah menyerah total.
Jiang Laotou tertawa 'hehe' lalu melepaskanku, berkata: “Seperti kamu ini masih berani mengaku prajurit Tentara Merah? Baru beberapa tamparan sudah mengaku salah, ini kan ciri khas pengkhianat?”
Kakek ini! Selalu menyakiti titik lemahku. Aku buru-buru menarik celanaku dan berdiri tegak, kedua tangan mencengkeram erat tali pinggang. Dengan ekspresi nekat akhirnya kuucapkan: “Ini strategiku untuk mengendurkan kewaspadaan musuh. Aku tidak akan menyerah!”
Ya, pahlawan juga harus pakai celana. Strategiku mengendurkan kewaspadaan musuh ini semata-mata agar bisa memakai celana.
“Hehe...hehe...baik...baik...” Lao Jiang tersenyum-senyum, tidak marah. Entah apa rencananya. Tapi aku tetap merasa takut pada orang tua ini, tanpa sadar mundur beberapa langkah.
“San Wa'er, apa kamu mau kuhajar? Kamu tahu siapa dia? Waktu kecil kamu dirasuki ratusan hantu, Master Jiang yang menyelamatkanmu. Kira-kira siapa yang memberi cakar harimau di lehermu? Master Jiang! Dengan sikapmu seperti ini, pantas dihajar bukan?” Ayahku yang tadinya diam di samping, melihat tingkahku akhirnya angkat bicara untuk menegurku.
Tentu ini juga bentuk kasih sayang terselubung. Di mata ayahku, Lao Jiang ini sosok yang tak terbaca. Kadang berwibawa, kadang sembrono. Sulit membedakan mana kepribadian aslinya.
Meski ayah tahu Lao Jiang menganggapku sebagai murid dan menyayangiku, tapi jika harus menghukum, dia tidak segan. Ditambah kepribadiannya yang tak menentu, takutnya aku akan dirugikan lagi. Sayangnya sebagai ayah, dia tak bisa ikut campur.
Terlepas dari pikiran ayahku, aku sendiri langsung membeku mendengar kata-katanya!
