“Ayo, urusan penting.” Pak Jiang menarik tanganku. Seorang tua dan anak kecil berjalan memasuki area pemakaman di tengah malam ini.
Begitu masuk area makam, hawa dingin langsung menyusup ke hati. Pak Jiang berteriak: “Mantra pemusatan pikiran yang kuajarkan? Baca dalam hati! Kalau kurang efektif, boleh keras-keras!”
Mendengar itu, segera kubaca dalam hati. Jujur saja, aku tak mau lagi melihat makhluk-makhluk itu. Ternyata mantra dari Pak Jiang memang manjur. Baru beberapa kali kubaca, rasa takut di hatiku hilang sama sekali.
Setelah berjalan sebentar, kami sampai di makam Li Fengxian. Pak Jiang melongok ke sekeliling, lalu mengeluarkan gulungan benang dari tas punggungnya.
"Ini adalah tali tinta, sangat bagus untuk menyegel peti mati dan makam." Jiang Laotou menjelaskan padaku sambil mengelilingi makam dengan cara tertentu, hanya menyisakan satu celah.
"Shifu, kenapa kau menyegel makam Li Fengxian?" Aku bertanya bingung.
"Ini bukan untuk menyegel Li Fengxian, tapi agar arwah lain tidak masuk dan mencuri arwah pengganti ini." Jiang Laotou memberikan penjelasan singkat.
Setelah makam tersegel, Jiang Laotou menancapkan tiga batang hio dan membakar setumpuk uang kertas di makam Li Fengxian. Kemudian dia mengambil boneka pengganti sambil mengucapkan mantra sebelum membakarnya.
Api cepat melahap boneka pengganti itu. Jiang Laotou berdiri tegak menatap nyala api, pikirannya yang dalam tak tergapai.
"Shifu, mantra apa yang kau baca tadi?" Tanyaku penasaran.
"Mantra Zhu, doa untuk meleraikan dendam sekaligus memberikan restu bagi arwah." Jiang Laotou menerangkan.
Beberapa saat kemudian, api pun padam. Boneka pengganti itu telah menjadi abu bersama lenyapnya nyala api. Suasana sekitar kembali senyap.
Saat aku hendak bertanya apakah metode ini efektif, tiba-tiba terdengar suara tangisan samar yang sangat mirip dengan suara Er Jie saat kerasukan.
"Samar-samar, kulihat seorang perempuan berbaju kostum opera biru kehijauan, merapat erat dalam pelukan perempuan berkostum opera merah muda, matanya dipenuhi air mata."
"Berani menampakkan wujud untuk berterima kasih, tak takut jiwa terpecah-pecah? Atau setelah dendam terlampiaskan, kau pun akan lenyap?" Jiang Laotou mengerutkan alis, suaranya terdengar menyayat hati.
Apa maksud menampakkan wujud untuk berterima kasih? Aku tak paham. Tadinya kukira mata batinku terbuka lagi, ternyata bukan! Tapi mendengar nada sedih Jiang Laotou dan istilah "jiwa terpecah-pecah", hatiku pun berdebar.
Samar-samar, perempuan itu tak banyak bicara. Ia menggandeng perempuan berkostum merah muda memberi hormat kepada kami dan guruku, lalu berkata: "Pertemuan sesaat ini telah membalas penantian ribuan tahun. Syukur tak perlu menunggu lebih lama. Syukur mataku tak lagi melihat genangan darah, tak menambah dosa... Terima kasih, terima kasih..."
Suaranya merdu sekali, tak ada sisa dendam atau kegilaan saat merasuki Er Jie. Kulihat lebih jelas alisnya yang seperti lukisan, mata jernih bagai air musim gugur, sungguh jelita. Pantas disebut bintang terkenal di masanya.
"Akan kubukakan jalan untukmu." Guruku tiba-tiba berseru lantang.
"Sambil berbicara, Guruku mulai membentuk sebuah mudra yang relatif tidak terlalu rumit, sambil melantunkan zhou. Namun, saat itu juga, kulihat bayangan Li Fengxian semakin memudar. Ia menatap Yu Xiaohong di sampingnya dengan senyum penuh kebahagiaan, begitu puas."
"Guru, Li Fengxian semakin memudar." Tiba-tiba hatiku merasa tidak tega, tanpa sadar berteriak mengingatkan Jiang Laotou.
Jiang Laotou yang sedang melantunkan zhou tiba-tiba menghela napas. Ia menghentikan semua gerakannya, hanya memandang kejadian ini dengan tatapan kosong. Suaranya terdengar samar, "Meski terlahir kembali berkali-kali, hidup dalam kebodohan dan kekosongan tetap sia-sia. Mungkin ada orang yang rela mengorbankan jiwanya demi satu momen kecemerlangan. Buddha bilang 'tembus dunia fana', Tao berkata 'Jalan Suci tak berperasaan'. Tapi sebenarnya apa itu cinta? Dibanding nirwana atau Jalan Suci, justru inilah yang membuat manusia tenggelam. Apakah dunia yang tak sadar, atau... Ah..."
Aku hanya mengerti setengah-setengah. Di usiaku yang baru 7 tahun, perasaan terhadap keluarga saja masih samar, apalagi cinta yang bisa menghancurkan jiwa.
Li Fengxian menghilang. Aku terpaku memandang makam Li Fengxian yang kini kosong. Seolah semua yang terjadi tadi hanyalah ilusi. Apakah Li Fengxian benar-benar pernah muncul?
"Guru, ke mana dia pergi?" Kutanya sambil menoleh. Rasanya hatiku tak akan tenang sebelum mendapat jawaban.
“Dia……” Jiang Laotou menekan kepala kecilku, setelah lama terdiam baru berkata: "Awalnya aku ingin bilang dia sudah bereinkarnasi, tapi aku tak mau membohongimu. Dia sudah benar-benar hilang, mulai sekarang Li Fengxian tak akan ada lagi di dunia ini, bahkan arwahnya pun lenyap, hilang selamanya."
Jiang Laotou memang tidak membohongiku, mungkin karena takdirku kelak akan menghadapi banyak hal kejam. Jadi aku tidak bisa seperti anak lain yang selalu ditanamkan benih dongeng indah oleh orang dewasa.
“Dia hilang?” Aku tak percaya, entah kenapa rasanya pengen nangis. Padahal dia hantu jahat yang menyakiti Er Jie!
“Memang hilang. Aku buat boneka pengganti untuk memenuhi keinginannya, menghilangkan dendamnya. Tapi begitu dendamnya hilang, arwahnya pun tercerai-berai. Hukum alam tak pandang bulu, meskipun dia kasihan tapi tetap harus bertanggung jawab karena sudah membunuh. Awalnya ingin pakai Jari Penunjuk Jalan untuk mengantarnya ke reinkarnasi Yin Si, tapi bagaimana mungkin manusia kecil sepertiku bisa melawan takdir? Aku terlalu memaksakan diri.” Suara Jiang Laotou datar, tapi tekadnya menunjukkan belas kasih pada Li Fengxian.
Entah kenapa hatiku perih. Tanpa sadar kuseka mata dengan lengan. Tiba-tiba aku teringat sesuatu: “Shifu, boneka pengganti itu kan bukan Yu Xiaohong asli, kenapa Li Fengxien...?”
“Boneka pengganti ini selain memiliki pola transformasi, juga dilengkapi mantra tangan khusus yang disesuaikan dengan shio dan delapan karakter Xiao Hong. Sebenarnya ini hanya efek penipuan sementara, tapi itu sudah cukup. Karena dengan ini bisa menetralisir dendam, begitu dendam terurai akan menjadi arwah biasa. Dengan mantra penuntun jalan, kita bisa mengantarnya masuk siklus reinkarnasi. Inilah salah satu metode Tao untuk pembebasan arwah.” Jiang Laotou menjelaskan dengan sabar padaku.
Kali ini aku tidak bertanya lagi. Dengan bijak juga tidak menuduh guru kenapa menipu Li Fengxian. Tindakannya ini justru menunjukkan belas kasih. Jika Li Fengxian bisa masuk reinkarnasi itu yang terbaik. Jika tidak, setidaknya dendamnya terurai, tidak terus menjadi hantu jahat yang menderita, dan pergi dengan perasaan puas juga hal baik.
Kami guru dan murid hanya termenung memandang makam Li Fengxian. Seolah masih bisa melihat sosok Li Fengxian di masa lalu, kecantikannya melebihi bunga persik, begitu memesona di atas panggung opera...
"Sudahlah, kita pulang dulu untuk memanggil arwah kakakmu. Masalah kompleks pemakaman ini juga harus diselesaikan." Setelah berkata demikian, Jiang Laotou menggandeng tanganku pergi. Saat pergi, dia melirik ke arah pemakaman itu dan mendengus dingin tanpa alasan.
Di perjalanan pulang, aku tak tahan bertanya: "Guru, di sana masih ada hantu jahat laki-laki yang pernah menggangguku. Guru tidak mau membalas dendam untukku?"
“Semua mereka di area pemakaman itu harus ditolong, akhir para hantu jahat tidak akan baik, dia pun mungkin tidak bisa menghindari nasib hancurnya roh. Tentu ini tergantung seberapa besar kejahatan yang dilakukannya.”
“Semua ditolong? Bukankah itu sangat melelahkan? Guru, mengapa dua hantu jahat yang saya temui masih muda?”
“Hehe, melelahkan? Tidak juga. Asal kita hancurkan tempat angker itu, semuanya akan lebih mudah. Mengapa kebanyakan muda? Tidak mutlak, tapi orang yang meninggal muda biasanya dendamnya jauh lebih besar daripada yang tua. Bayangkan, belum membalas budi orang tua, anak belum dewasa, ikatan suami-istri belum selesai, atau cita-cita belum sempat diwujudkan. Menurutmu, bukankah dendam itu pasti besar? Jadi kebanyakan hantu jahat adalah mereka yang mati muda, karena terlalu banyak ikatan duniawi justru memperdalam dendam.”
“Guru, sebenarnya hantu itu apa? Mengapa setiap kali saya melihat mereka rasanya kabur-kabur, seperti pikiran tidak jernih? Terasa tidak nyata, agak sulit dipastikan.”
“Ini... nanti kalau kamu sudah lebih besar akan saya jelaskan. Yang perlu kamu tahu, sebenarnya kamu tidak melihat mereka. Lebih tepatnya, kamu merasakan keberadaan mereka. Ini bukan hal yang abstrak. Jika dipikir baik-baik, ada pola yang bisa dilacak. Tapi tentu kamu harus sekolah dulu, banyak belajar ilmu pengetahuan untuk membuktikan berbagai prinsip ini.”
"Shifu, penampilanmu tidak seperti orang berpendidikan ya? Kau menipuku untuk sekolah?" Aku pikir setelah mengikuti shifu, bisa lepas dari sekolah yang kubenci. Meski agak berat meninggalkan Surou dan beberapa teman, tak disangka shifu malah mendorongku sekolah. Aku merasa perlu mengingatkannya bahwa dia juga tak terlihat seperti orang terpelajar.
"Hehe." Jiang Laotou tersenyum ramah padaku, tapi seketika wajahnya berubah marah. Dia mencengkeramku, 'pak!' menampar pantatku sambil berteriak: "Aku pukul mati kau 'anak kurang ajar'!"
Aku kesal dituntun Jiang Laotou pulang. Begitu sampai langsung meringkuk di tempat tidur, tak peduli padanya. Padahal sudah larut malam, orang tua saya masih menunggu. Kakak perempuan tertidur karena kelelahan, bersandar di Er Jie yang tidur.
Er Jie ku dikunci 'simpul pengunci jiwa', terlihat tenang seperti tertidur. Sebenarnya dia sudah tiga hari tidak membuka mata. Ibu saya memasak bubur, menyuapinya seperti menyuapi bayi.
Melihatku tak menghiraukannya, Jiang Laotou malas juga memperhatikanku. Langsung berkata pada ayahku: "Hantu jahat yang mengganggu sudah ditangani. Malam ini kita akan memanggil arwah Er Mei. Bawalah meja ikut aku, Xiuyun juga ikut. Kau sendiri yang harus membawa arwah Er Mei pulang."
Ibu saya mengangguk cepat. Tak perlu menyuruh membawa arwah pulang, asal bisa menyelamatkan Er Jie, sekalipun harus membawa hantu jahat pulang, dia berani.
“Aku diam-diam bangun. Sejujurnya, setelah sehari ini, aku mulai benar-benar suka 'nongkrong' dengan Jiang Laotou. Dia membukakan pintu dunia yang begitu ajaib dan memikat bagiku.”
Berempat kami pun berangkat. Aku mengikuti di belakang tanpa bicara. Jiang Laotou menyeringai kepadaku: “San Wa'er, kenapa ikut?”
“Hmph.” Aku mengembungkan pipi dan mengabaikannya.
Jiang Laotou tak ambil pusing, tetap ceria berjalan di depan. Belok kiri kanan tak karuan, entah mau dibawa ke mana.
