Akhirnya sampai di platform, kulihat ada beberapa orang berdiri di atas. Selain dua orang yang tidak kukenal, sisanya pernah kulihat - prajurit-prajurit yang bermalas-malasan di halaman kecil itu.
Tidak pernah melihat dua orang itu, seorang tua dan seorang muda. Yang tua mengenakan baju Tang abu-abu berkancing depan, bajunya terlihat lusuh bahkan ada tambalan, kepala dibalut kain sewarna, diam-diam menghisap rokok tembakau sambil mengerutkan kening seolah memikirkan sesuatu.
Adapun yang muda, pakaiannya cukup normal - seragam tentara kuning yang sudah memudar, topi tentara kusut di kepala, sedang meniup seruling bambu kecil hijau pirus dengan pipi kembung. Mungkin tekniknya payah, suara serulingnya tak terdengar, wajahnya merah padam dan urat leher menonjol.
Aku bahkan malas merendahkannya. Ingat, aku San Wa'er, cukup sehelai daun bambu bisa dibuat suling yang bunyinya nyaring.
Melihat ekspresi Surou, mungkin si bocah juga punya pemikiran yang sama.
Saat itu, gerombolan ular mulai gelisah. Kulihat ke belakang, ternyata orang yang tadi menyampaikan pesan untuk guruku masuk. Melihat ekspresi semua orang yang tak acuh, aku pun tak ambil pusing. Kutarik lengan guruku dan bertanya, "Guruku, kenapa kau di sini?"
"Basa-basi, aku pasti harus di sini. Terakhir kali aku menemukan tempat ini adalah area pengumpulan energi yin. Jika dibiarkan selama puluhan tahun lagi, mungkin seluruh desa akan terkena dampaknya. Nanti mungkin sulit ada penghuni. Kalau tidak kulihat ya sudah, tapi setelah melihat, bisa tidak peduli?" Guruku mengangkat dagunya, seolah kesal karena aku bertanya hal bodoh seperti itu.
Sementara Surou di samping terlihat bingung. Lahir di era Tiongkok baru, tumbuh di bawah bendera merah, meski percaya hantu, dia pasti tidak bisa menerima konsep area pengumpulan energi yin atau ancaman kepunahan penduduk dalam waktu singkat.
Aku cepat tanggap, segera bertanya: "Guru, jadi keributan besar itu ulahanmu?"
"Hah, ada masalah?" Pak Jiang menyelipkan tangan ke lengan baju, wajahnya penuh kesombongan. Sepertinya menunggu pujian dariku. Begitulah dia, bahkan pujian anak kecil sangat dia perhatikan.
Tapi aku malah mengerutkan kening, menunjukkan ekspresi khawatir untuknya.
"San Wa'er, kenapa kau begini?" Alih-alih pujian, Pak Jiang malah melihat wajahku yang cemas. Kini dia penasaran.
"Guru, aku tahu maksudmu membantu warga desa. Tapi bagaimana nanti? Kau bohong bilang ada poin kerja, kalau ternyata tidak ada gimana? Poin kerja bisa ditukar makanan. Bagaimana kita akan menggantinya?" Kekhawatiranku wajar. Tumbuh di desa, aku sangat paham pentingnya poin kerja.
Begitu kata-kataku selesai, semua orang di atas panggung mulai tertawa terbahak-bahak. Bahkan sesepuh yang tadinya serius menghisap rokok lintingan itu pun tersenyum lebar, keriput di wajahnya seperti kulit kayu.
Pemuda yang sedang meniup seruling bambu itu juga ingin tertawa, tapi berusaha menahan. Matanya menyipit seperti bulan sabit, wajahnya semakin memerah.
"Dasar anak sialan..." Muka Jiang Laotou memerah karena malu. Tangannya terangkat tinggi-tinggi seolah ingin menampar, amarahnya begitu besar sampai hampir muntah darah.
Aku mengkerutkan leher, yakin tamparan itu takkan terelakkan. Bahkan mungkin pantatku akan dipukul. Tapi anehnya, tamparan itu tak kunjung datang. Alih-alih, tangan itu justru mengelus lembut rambutku.
"Sudahlah. Kau masih memikirkan gurumu. Bilang 'kita' saja, berarti kau tak anggap gurumu orang luar. Hari ini aku tak akan menghajarmu." Ekspresi Jiang Laotou terlihat aneh, seperti tersentuh tapi berusaha keras menyembunyikannya.
"Lao Jiang, kau punya murid yang baik. Selalu mengingat gurunya. Lihatlah murid tololku ini." Suara sesepuh penghisap rokok itu serak seperti gesekan dua batu.
"Murid apaan? Belum diajari ilmu apapun. Bisa-bisa tak kalah dengan muridmu, Lao Wu Tou. Lihat Xiao Ding yang rajin itu." Jiang Laotou berpura-pura merendah, tapi tawanya terdengar mesum. "Hehehe..."
“Lupakan, lihatlah betapa bodohnya dia. Ular-ular kecil ini saja tidak bisa diusir, ilmu andalanku ini mungkin akan punah.” Si tua yang disebut guruku sebagai Lao Wu Tou'er itu memang jago mencaci muridnya.
Pemuda bernama Xiao Ding itu menoleh, memandangi kami lalu melihat gurunya. Kedua matanya dipenuhi rasa tidak adil.
Dadaku serasa membeku. Guruku yang murah hati ini belum mengajarkanku ilmu. Jika nanti dia mengajariku dan aku gagal, apakah nasibku akan sama seperti Xiao Ding ini?
Tapi Kakek Jiang tidak tahu isi hatiku. Langsung menarikku seperti menarik kentang dari ladang – menarik satu rantai. Di belakangku masih ada Surou yang menggantungkan ujung bajuku!
“Lao Wu, ini muridku Chen Cheng Yi, panggil saja San Wa'er. Si gendut di belakang ini...” Guruku tak tahu nama Surou, menoleh memandangnya.
Surou yang lihai segera tersenyum lebar mendekat, “Nama saya Su Lai Fu, nama panggilan Surou. Guru bisa panggil saya Surou saja.”
‘Pak’ kepala Surou juga kena tepuk. Kakek Jiang menatapnya, “Panggilan guru jangan sembarangan. Kalau kamu baik, panggil... hm, panggil saja Kakek Jiang. Lai Fu, Lai Fu, memang cocok, wajahmu penuh keberuntungan.”
“Surou tidak mengerti serangkaian ucapan mistis Guruku, dia hanya tahu memegangi kepala sambil terus memanggil 'Pak Jiang', benar-benar tidak punya prinsip, seperti pengkhianat. Tapi si Jiang Laotou justru senang dipanggil begitu, senyumnya sangat menggoda.
"Baiklah, San Wa'er, Surou. Kakek Wu di depan kalian ini adalah teman baikku yang kukenal beberapa tahun lalu di sini. Kemampuannya sangat hebat, dia ahli ular. Tidak ada ular di dunia ini yang tidak bisa dia tangani." Guruku memperkenalkan pria tua itu padaku dan Surou.
Aku dan Surou segera memanggil "Kakek Wu". Si Lao Wu Tou itu terkekeh-kekeh, suaranya yang sangat parau berhasil membuat bulu kuduk kami berdiri.
"Dua anak kecil yang lihai. Kakek kasih kalian hadiah kecil." Begitu kata Lao Wu Tou sambil menyodorkan sebuah tabung bambu kecil pada kami berdua.
Setelah kami terima, kulihat tabung bambu itu disegel rapat. Di salah satu tutupnya ada beberapa lubang kecil, mirip botol lada zaman sekarang. Saat kuhirup, bau menyengat langsung menusuk hidung. Di badan tabung terdapat lubang kecil dengan tali, jelas untuk dikaitkan di pinggang.
“Barang kecil, tidak perlu disebutkan. Biasanya diikat di pinggang, bisa menghindari ular dan serangga, terutama ular. Dalam keadaan darurat, buka tabung bambu dan tuangkan sedikit bubuk di dalamnya, efeknya lebih baik.” Lao Wu Tou menjelaskan dengan santai beberapa kalimat.
Aku dan Surou langsung terkejut, ini terlalu ajaib! Barang bagus! Kami segera menyimpan tabung bambu itu seperti harta karun.
“Cepat ucapkan terima kasih pada Kakek Wu!” Pak Jiang berteriak di samping. Aku dan Surou langsung mengucapkan terima kasih, terutama aku yang penasaran, tak tahan mengeluarkan tabung bambu lagi untuk memainkannya.
Pak Jiang mengabaikan kami, langsung berjongkok di sebelah Lao Wu Tou. Dengan wajah khawatir ia memandangi ular-ular di tanah: “Aku tak menyangka daerah terpencil ini punya perangkap seperti ini. Makhluk yang dipelihara di bawah sini sangat berbahaya, sulit ditangani.”
Lao Wu Tou menjawab: “Aku tidak paham hal-hal ini, kau yang ahli. Yang kuketahui, tanah yin terkumpul ini bahkan menarik roh ular. Ini luar biasa. Ular suka yin, roh ular biasanya menghindari permukiman. Jarang muncul di dekat manusia. Makam ini dekat permukiman, tapi dia datang kesini untuk berlatih. Ini membuktikan tanah yin ini istimewa. Jika ada yang sengaja membuatnya, tujuannya tak tertebak.”
Jiang Laotou menghela napas dan bertanya, "Lao Wu, apakah kau yakin bisa mengusir roh ular itu? Dia menghadang di pintu rumah yin, entah sudah kena jebakan atau belum?"
Lao Wu baru hendak menjawab, tiba-tiba Xiao Ding menoleh sambil meletakkan seruling bambu hijau di tangannya. Dengan logat utara dia berkata, "Guruku, aku tidak punya cara lagi."
Awalnya aku ingin bertanya pada guruku apa itu roh ular, makhluk apa di bawah tanah yang lebih hebat dari hantu jahat dendam Li Fengxian? Tapi melihat Xiao Ding sudah berkata demikian, aku urung bertanya. Biarkan mereka menyelesaikan masalah dulu.
Tidak punya cara lagi? Mungkin karena seruling bambu itu tidak berbunyi? Dengan kepala kecilku yang masih bingung, saat itu aku benar-benar tidak mengerti alasannya.
"Sudahlah, adanya roh ular membuat ular-ular berkumpul tak mau bubar. Kemampuanmu masih kurang, harus lebih banyak berlatih." Hei, meski Lao Tou sering memarahi muridnya, di saat seperti ini dia tetap menyayangi Xiao Ding.
Setelah berkata demikian, dia mengambil seruling bambu dari tangan Xiao Ding dan duduk di posisi muridnya itu. Ditiupnya seruling itu, tapi sama sekali tidak berbunyi.
Xiao Ding tersenyum legah padaku. Pemuda tampan bermata besar dengan lesung pipit dalam, hanya agak pemalu.
“Ding Wawa, kemarilah.” Guruku melambaikan tangan pada Xiao Ding, lalu Xiao Ding pun mendekat dan duduk di sebelah guruku. Wajahnya memerah malu, sedikit menunduk tak tahu harus berkata apa.
“Sekilas lihat sudah tahu ini anak jujur, tidak seperti kamu dan Surou, monyet gunung tak tahu malu!” Ternyata di mata Jiang Laotou, prajurit gagahku ini cuma dianggap monyet gunung?
“Kenapa kamu sebodoh ini? Sampai suling bambu pun tak bisa ditiup?” Aku mendekati Xiao Ding, bertanya tanpa sungkan.
“Iya, iya, makanya aku suruh dia main suling bambu.” Surou ikut menyemprot. Kami berdua merasa kasihan Xiao Ding sudah lama mencoba tapi tak berbunyi.
Jiang Laotou cekikikan, memandangi kami seperti melihat orang idiot, tanpa penjelasan.
