"Tapi di detik berikutnya, sakit kepala itu seperti air pasang yang hampir menenggelamkanku. Jiang Laotou melirikku, lalu sesuatu segera dimasukkan ke mulutku. Bentuknya seperti pil, rasanya manis-pahit dengan aroma segar seperti mint, tidak terlalu sulit ditelan."
"Aku berencana mengunyah beberapa kali lalu menelannya. Lagipula aku percaya seratus dua puluh persen pada Jiang Laotou."
"Tak disangka Jiang Laotou melotot sambil berteriak, 'Si bocah bodoh! Pemakan rakus, mau menelannya ya? Taruh di bawah lidah, biarkan meleleh perlahan, baru ditelan pelan-pelan. Lalu kau duduk istirahat!'"
"Teriakannya membuat pil di mulutku nyaris tergelincir ke tenggorokan. Untung aku batuk beberapa kali untuk menahannya. Kupatuhi perintahnya meletakkan pil di bawah lidah sambil duduk beristirahat. Sungguh menegangkan, beristirahat di depan ular raksasa."
"Melihatku mematuhi, Jiang Laotou tak lagi menghiraukanku. Ia menatap ular gaib itu dan berbicara dengan suara aneh. Meski tidak keras, suaranya bergemuruh seperti guntur yang tak putus-putus, membuat bulu kuduk merinding."
"'Kau pergi dari sini sebagai sebab, aku memberimu pengesahan sebagai akibat. Setuju?'"
"Hanya satu kalimat sederhana itu. Telingaku terus berdengung dengan kata 'setuju... setuju... setuju...' Setidaknya sepuluh detik kemudian suara itu baru berangsur menghilang."
Aku tidak berani lagi merasakan emosi detail Roh Ular, namun secara kasar bisa menangkap getaran kerinduan dan kejutan darinya. Ingin kuberitahu Guruku, tapi ternyata dia sudah memejamkan mata. Jelas-jelas dia sedang berkomunikasi langsung dengan Roh Ular.
Aku murka, dalam hati mengutuk: "Dia sendiri melakukannya dengan mudah, tapi malah menyiksa anak kecil malang seperti aku. Tidak tahu malu!" Tapi tak kuberani mengatakannya.
Beberapa saat kemudian, Jiang Laotou membuka mata dan melanjutkan: "Keterikatanmu pada tempat ini telah menabur benih karma. Ketika tribulasi datang, mungkinkah kau hindari buahnya? Tidak takutkah kau pada hukuman petir yang bergulung-gulung? Tidak takutkah kau pada kehancuran dan kesia-siaan di akhir?"
Setelah perkataan Jiang Laotou itu, Roh Ular mulai bergetar gemetar. Tiba-tiba ia mengangguk-angguk, seolah memberi penghormatan atau memohon sesuatu. Emosi spesifiknya tak lagi kurasakan, hanya tahu ia ketakutan dan merengek-rengek.
Jiang Laotou terdiam, menutup mata, seolah merenung atau merasakan sesuatu. Setelah lama, barulah ia membuka mata dan berkata, "Aku akan memberkatimu, tetapi Tribulasi Petir, hari saat kau menjelma naga sungai tak bisa kukendalikan. Tribulasi di hari itu sejatinya ditakdirkan langit. Hanya kuharap kau bisa mengendalikan diri sebisa mungkin, mengurangi penderitaan di dunia. Tapi ingat, jangan sekali-kali menjelma di sini. Sungai besar dan lautan luas tersedia. Meski harus bersusah payah, pergilah ke sana. Di sini kuucapkan sumpah, jika kau langgar perkataku, berkatku akan sirna tak bersisa."
Ular roh itu mengangguk berulang kali, seolah menyetujui perkataan Jiang Laotou.
Aku merasa situasi ini menarik. Bahkan Surou yang biasanya penakut pun tak terlalu ketakutan. Ular besar yang bisa berkomunikasi dengan manusia dan memiliki spiritualitas ini ternyata tak semenyeramkan bayangan.
Beberapa saat kemudian, raut wajah Jiang Laotou tenang kembali. Dari tasnya ia mengeluarkan tiga batang hio, menyalakannya dengan khidmat, lalu menancapkannya di tanah. Setelah memberi sembah beberapa kali, ia menatap ular roh di depannya dan berkata dengan lantang, "Masuk sungai jadi naga sungai, masuk laut jadi naga sejati. Di hari yang ditakdirkan, kau akan mencapai pencerahan sejati."
Ini pertama kalinya. Kemudian ia mengulangi mantra itu delapan kali lagi, total sembilan kali pengulangan.
Entah khayalanku atau tidak, kulihat sorot mata bersyukur di mata dingin ular roh itu. Apakah beberapa kalimat ini layak mendapat respons sehebat itu? Pokoknya aku tak mengerti alasan di baliknya.
Selanjutnya, ular besar itu bergerak, seperti yang kuduga. Dengan mudah ia menarik tubuhnya yang terkubur dalam tanah. Panjangnya melebihi perkiraanku yang semula kira-kira 7-8 meter. Saat seluruh tubuhnya keluar, kusadari ular ini panjangnya minimal 10 meter.
Semua orang tampak ketakutan, kecuali Jiang Laotou dan muridnya Lao Wu Laotou. Saat itu Lao Wu Laotou berbicara: "Ia ingin pindah sarang. Beri jalan dan jangan ganggu."
Pada saat kritis ini, Jiang Laotou dan Lao Wu Laotou menjadi tumpuan harapan semua orang. Begitu kata-kata Lao Wu Laotou selesai, orang-orang segera menyingkir ke kedua sisi.
Ular gaib itu merayap perlahan keluar dari lubang. Tubuhnya yang raksasa memberikan tekanan yang mencekik. Tapi semua orang berusaha tetap tenang, memperhatikan gerakannya yang lamban. Saat mendekati Jiang Laotou, ia tiba-tiba mengangkat bagian depan tubuhnya dan membuka mulut lebar-lebar.
Melihat ini, aku tak bisa menahan teriakan: "Guruku!"
Jiang Laotou hanya menggelengkan tangan tanda tak apa-apa. Ular gaib itu ternyata hanya mengangguk halus ke arahnya sebelum melanjutkan perayapan.
Ajaibnya, ia tidak menyimpang dari jalur yang telah ditentukan tirai. Entah dari mana keberanianku, aku perlahan mengikuti pergerakannya hingga melihatnya merayap turun dari tebing kecil itu dan menghilang.
“Pergi lah, Lao Jiang, urusan selanjutnya aku sudah tak bisa membantu, kau harus tangani sendiri.” Melihat ular roh merayap pergi, Lao Wu tiba-tiba berkata pada guruku.
“Hmm.” Guruku yang jarang terlihat serius, mengangguk pada Lao Wu, lalu menggandeng tanganku dan Surou berjalan kembali.
Saat itu, pil bulat yang dimasukkan guru ke mulutku sudah larut sempurna, tertelan bersama air liur. Harus diakui pil ini sangat manjur, hanya sebentar saja kepalaku sudah tidak sakit lagi. Beberapa saat kemudian, kepalaku diselimuti rasa sejuk yang menyegarkan, nyaman tak terkira.
“Guru, tadi yang kau beri aku makan apa? Sekarang kepala ku enak sekali.” Merasa diuntungkan, aku sengaja merayu sambil memendam rasa penasaran.
“Kau beruntung, barang yang kau makan itu cuma ada satu botol kecil padaku. Itu... itu... pokoknya dibuat oleh kenangan lama. Paling ampuh untuk menenangkan pikiran dan menyegarkan otak. Sekarang sudah sulit dibuat karena bahan baku obat liar berkualitas tinggi yang cukup umur susah dicari.” Jiang Laotou menjawab blak-blakan, meski ada bagian yang samar, tapi aku tak menghiraukannya.
Aku hanya bertanya, “Guru, ternyata bukan buatanmu ya?” Sebenarnya dalam hatiku, Jiang Laotou sudah kupandang sebagai sosok yang serba bisa.
“Bidang keahlian masing-masing, kau kira aku ini dewa? Soal meracik obat, aku tak bisa menandinginya. Dia memang keturunan dari aliran itu.” Jiang Laotou mengakhiri ucapannya dengan bergumam sendiri. Aku tak terlalu memedulikannya, bagaimanapun, sebagai anak kecil aku sangat membenci suntikan, termasuk juga obat-obatan pahit.
Karena tak tertarik, aku pun tak bertanya lagi. Topik itu berakhir di situ. Saat berbincang, kami kembali ke lubang besar itu. Jiang Laotou termenung memandang pintu batu di lubang itu tanpa bicara.
Surou tak tahan dengan keheningan ini. Dia sudah buru-buru mendekati Si Kakak Ding untuk menanyakan hal-hal aneh tentang ular. Sedangkan aku, sebagai murid, tentu tak pantas meninggalkan guruku di saat seperti ini.
Tapi tetap saja aku masih anak-anak. Setelah beberapa menit dalam keheningan, aku pun tak tahan lagi. Tak peduli apakah mengganggu konsentrasi guruku, akhirnya aku bertanya, “Guruku, kenapa kita tak boleh menyebut ular gaib itu sebagai ular?”
“Manusia adalah makhluk termulia di antara segala ciptaan. Mereka yang menempuh jalan kebenaran sangat mendambakan pengakuan dari manusia. Dengan menyebutnya ular, tanpa sadar kau telah mengukuhkannya sebagai ular. Usaha kerasnya untuk menjadi naga akan sia-sia. Jika kalian terang-terangan menyebutnya ular di hadapannya, itu menghina harga dirinya. Murkanya takkan tertahankan oleh manusia biasa.” Jiang Laotou masih memandang pintu batu itu dengan bingung, tapi tetap menjawab pertanyaanku.
Ini adalah pantangan, semakin banyak kau ceritakan padaku akan semakin baik. Aku belajar metafisik, di masa depan pasti akan menghadapi banyak kejadian aneh. Lebih baik kau manfaatkan waktu untuk memberi tahu lebih banyak pantangan.
"Kalau begitu Guru, tadi kau sedang memberkatinya menjadi naga?" Aku penasaran.
"Ya, tapi berkahku hanya faktor eksternal. Menjadi ular naga mungkin masih bisa, tapi menjadi naga sejati sangat sulit. Sebenarnya orang biasa juga bisa memberkatinya, tapi efeknya jauh kalah dengan kita yang menekuni Tao. Lagipula aku sudah memberkatinya sembilan kali, ini mantra penguatan terbesar untuknya. Keberhasilan menjadi naga tergantung usahanya sendiri." Jiang Laotou menjawab terus terang, menjelaskan betapa sulitnya jalan kultivasi.
"Guru, tapi kenapa dia terkubur di tanah? Tidak mati kehabisan nafas?" Akhirnya aku bertanya hal yang paling membuatku penasaran.
