Ayahku juga nggak terlalu bisa baca, tapi angka-angkanya masih bisa dikenali. Dia melirik kertas ujian itu, wajahnya sedikit melunak: "Kapan kamu bisa bikin bangga sih? Waktu seusia kamu, Kakak sulung dan Er Jie nilainya bukan ganda 100, paling jelek juga di atas 95. Untungnya kamu masih tahu malu dapet 80-an, kalo nggak udah kubacok kamu!""
Habis ngomong, Ayahku melempar kertas ujian itu ke aku. Aku dalam hati lega, kali ini akhirnya bisa lolos juga.
Tapi tiba-tiba seseorang keluar dari dalam rumah. Siapa lagi kalo bukan Pak Jiang?
"Kertas ujian San Wa'er ya? Kasih lihat, dapet berapa nilainya?" Kok telinga guru gratisan ini tajam banget sih?
“Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Kalau dia bilang mau lihat, berani aku menolak?” Dengan perasaan seperti naik ke tiang gantungan sekali lagi, aku menghela napas dalam hati dan menyerahkan lembar ujian.
Jiang Laotou menerima kertas ujianku, membukanya dengan santai lalu alisnya mulai sedikit berkerut.
Saat itu aku sangat gugup, tanpa sadar memutuskan untuk 'mengganggu' dia.
“Guruku, kenapa kamu pulang?”
“Sudah selesai urusannya.” Ekspresi Jiang Laotou sedikit melunak.
“Guruku, makamnya sudah dipindahkan semua ya?”
“Hmmm…” Dengan suara panjang bernada lega, senyum tipis muncul di wajah Jiang Laotou.
“Guru, malam ini makan di rumahku ya?”
“Iya…” Jiang Laotou tersenyum lebar.
“Guruku…” Aku hendak bertanya lagi.
Ayahku yang berdiri di samping menyela dengan wajah kesal: “Dasar anak sialan! Kok mulutmu ceplas-ceplos terus?”
Sepertinya Ayah sudah jengkel. Langsung membentak. Karakter Ayahku memang benci melihat anak mengganggu orang dengan banyak pertanyaan. Melihatku terus menerus mengganggu Jiang Laotou, mungkin dia anggap tidak sopan.
“Haha, gapapa.” Jiang Laotou tertawa sambil melipat kertas ujian. Digenggamnya erat tanpa dikembalikan, langsung mencegah Ayahku.
Lalu memanggilku dan Ayahku untuk duduk di samping meja batu di halaman. Dadaku berdebar-debar, hanya ingin segera mengambil kembali jilid ujian itu. Sementara Ayahku kebingungan, bukankah ini waktunya menyiapkan makan malam? Ibu sedang istirahat dua hari ini, urusan makan malam jadi tanggungannya. Kenapa Pak Jiang yang sangat doyan makan ini malah menariknya duduk di sini? Ini mau ngobrol ya?
“San Wa'er……” Jiang Laotou memanjangkan gema, memanggil namaku.
“Eh...” jawabku dengan gemetar ketakutan.
“Manusia itu, semua pernah berbuat salah. Kadang suka bermain-main dan kehilangan waktu untuk urusan serius. Tapi bisa menghadapi kesalahan dengan tenang itu sudah hal yang baik. Apalagi kalau bisa memperbaiki diri setelahnya. San Wa, menurutmu orang seperti apa yang paling menjengkelkan setelah berbuat salah?” Pak Jiang tersenyum penuh kelembutan.
“Nggak usah ditanya! Bebek mati yang ngotot, nggak mau mengakui kesalahan.” Ayahku menegakkan lehernya sambil mengeluarkan kalimat itu. Dia paling jengkel pada orang yang salah tapi masih membantah.
“Itu… ah… maksudnya…” Aku di sampingnya bicara ngelantur tak karuan, telapak tangan berkeringat dingin, ada firasat buruk.
“Menurutku bukan, yang paling tercela adalah orang yang setelah melakukan kesalahan, berpikir untuk kabur, tidak berani menghadapi, dan memilih menipu. Terutama anak laki-laki, kejujuran dan integritas adalah sifat paling berharga. Penipu lebih hina daripada pengecut.” Jiang Laotou berbicara dengan tenang.
“Iya, betul, saya paling benci orang yang berbohong.” Ayahku menyetujui di samping.
Keringat dinginku mengalir deras... dalam hati sudah merencanakan untuk kabur.
Tapi Guruku yang licik itu sepertinya membaca pikiranku, langsung mencengkeram bahuku dan bertanya: “San Wa'er, menurutmu apa kata Guru benar atau tidak?”
“Iya, benar, lebih benar dari guru etika.” Tangan Guru sekuat besi, aku sama sekali tak bisa bergerak apalagi kabur. Lebih baik menjilat sedikit mungkin, mungkin nanti lebih ringan hukumannya. Aku memang orang yang sangat sadar diri.
“Hehe...” Jiang Laotou tertawa, tetap tidak melepaskanku, malah membuka kertas ujianku.
Pertama kertas matematika.
“13+6=16, hmm, bagus.”
“5+7=13, pintar.”
Aku mendengarnya sambil keringat mengucur deras. Sebenarnya aku tak tahu mana yang benar/salah, kalau tahu nilai tak akan semurah ini. Masalahnya, dua mata Jiang Laotou itu terus menatap jawaban salahku.
Sayangnya, sepanen kepintaranku hanya bisa mengubah nilai, tak bisa menghapus tanda silang merah yang memenuhi kertas ujian.
Menaruh kertas ujian matematika di samping, Jiang Laotou mengambil kertas ujian bahasa.
"Mencangkul di siang bolong, keringat mengalir ke sungai. Hehehe..." Tawa Jiang Laotou membuat hatiku gemetar, dalam hati aku mengutuk, Guru X terlalu kejam, apa salahnya keringat mengalir ke sungai?
Aku ingat memang ada kata 'sungai' di situ?
"Isi titik-titik sesuai contoh, (hijau segar), hehe, bagus, kau patuh pada perintah, di belakang mengisi 6 (hijau segar) yang sama!" Sampai di sini, Jiang Laotou meletakkan kertas ujian, menepuk meja, menyambitku dan menekanku ke meja.
"Lao Chen, ambilkan bilah bambu untukku." Jiang Laotou menggerutu marah.
Ayahku sama sekali tak bereaksi, memang, Ayahku tak paham isi kertas ujian bahasa, soal aritmatika SD mungkin bisa dihitungnya, tapi dia juga tak mendengar baik-baik, tak mengerti apakah Jiang Laotou sedang memujiku.
Tapi, mana berani Ayahku menolak perintah Jiang Laotou, apalagi nada Jiang Laotou sangat keras. Sebelum Ayahku sadar, bilah bambu sudah berada di tangan Jiang Laotou.
Jiang Laotou menarik celanaku ke bawah, 'plak' bilah bambu itu menghantam pantatku dengan keras: "Kau benar-benar hebat ya, berani berbohong!"
‘Plak’‘Plak’ bilah bambu terus-menerus menghujam, kekuatannya benar-benar ‘cukup sedang’, setiap kali sama sakitnya. Aku langsung menjerit-jerit. Rasa pedih menyengat ini bahkan lebih menyiksa dibandingkan tinju besi ayahku.
Awalnya ayahku belum bereaksi, tapi begitu mendengar aku berbohong, amarahnya langsung meluap. Dia benar-benar mempercayai Kakek Jiang.
Begitu marah, ayahku langsung bereaksi. Lengan bajunya terlipat, tinjunya sudah siap menghantam.
Melihat itu, aku hampir pingsan menangis. "Sialan! Nggak boleh ‘serangan ganda’ begini!"
Tapi tak disangka, Kakek Jiang dengan satu tangan menghentikan ayahku, sementara bilah bambu di tangannya terus menghujam pantatku: "Jangan buru-buru. Anak nakal ini harus kuhajar dulu, baru kau boleh menghukum. Hukuman guru dan ayah dihitung terpisah. Lima puluh hujaman ‘bilah bambu’ ini wajib dia terima."
Ayahku tampak kesal tak bisa melampiaskan amarah, tapi akhirnya menerima keputusan itu.
Yang sial adalah aku. Dua kabar buruk: pertama, pantatku akan dihajar lima puluh kali. Kedua, setelah ini masih ada hukuman lagi. Seperti kata pepatah, sakit sebentar lebih baik daripada sakit lama. Kalian nggak boleh kejam begini...
Tangisku semakin memilukan, mulutku komat-kamit: "Prajurit Tentara Merah tak takut bahaya, tak takut bahaya, sama sekali tak takut..."
"Ayahku tahu ini kebiasaanku. Saat dipukul sampai kesakitan dan tak bisa kabur, aku akan berteriak memanggil Tentara Merah untuk 'menyemangati' diri sendiri. Ayahku sering dibuat tertawa geli karena ini."
Tapi Jiang Laotou itu tetap tak bergeming. Dia hanya berkata, "Dengan kelakuanmu begini, memalukan masih berani menyebut-nyebut Tentara Merah." Sambil berbicara, bambu yang dipakai memukulku bertambah kencang ritmenya.
Ibu saya, kedua kakak perempuan saya sudah terbangun keributan ini. Mereka semua datang ke halaman. Melihat gaya Jiang Laotou memukulku, mereka tertegun. Ayahku yang 'antusias' itu langsung menunjukkan kertas ujian kepada mereka.
"Master Jiang memukulinya setelah melihat ini, bilang dia berbohong." Sampai sekarang Ayahku masih belum paham masalahnya, tapi itu tidak menghalanginya untuk melapor dengan gaya sok tahu.
Ibu saya tidak bisa melihat masalahnya. Tapi kedua kakak saya bukanlah orang sembarangan. Setelah mengamati sebentar, mereka langsung menemukan keanehan. Melihat tulisan di kertas ujianku, kakak sulung yang blak-blakan langsung tertawa terbahak-bahak, sementara Er Jie hanya tersenyum simpul memperlihatkan lesung pipi yang indah.
"Bu, San Wa'er pantas dipukul. Dia mengubah nilai di kertas ujian. Kesalahan di sini tidak sesuai dengan nilai yang diberikan guru." Setelah tertawa, kakak sulung langsung menyampaikan masalahnya.
Er Jie tetap diam sambil tersenyum. Mungkin dia merasa kesal sekaligus geli dengan perbuatanku ini.
"Apa? Bangsat, berani mengubah nilai?" Begitu mendengar ini, Ayahku langsung naik pitam lagi. Dia hendak menghampiri untuk memukulku, tapi ingat pesan Jiang Laotou, akhirnya menahan diri.
“Akhirnya, Jiang Laotou selesai memukul pantatku lima puluh kali, dengan tenang melempar bilah bambunya. Saat ini pantatku sudah merah bengkak, aku tengkurap di meja batu sambil terisak-isak, tidak mau bergerak sama sekali. Sedikit saja bergerak, pantatku langsung sakit.”
