Hari-hari yang tenang mengalir bagai air, setahun pun berlalu dengan cepat.
Tahun ini aku naik ke kelas empat SD. Badanku tidak tumbuh banyak, tapi sedikit lebih matang dibanding anak lain. Hidupku sangat sibuk namun sangat bermakna.
Orang tuaku bertambah setahun lebih tua. Kerutan di wajah Ayah semakin dalam, rambut beruban Ibu juga semakin jelas terlihat.
Kakak-kakak perempuanku semakin cantik, mulai terlihat seperti gadis setengah dewasa.
Surou semakin gemuk, bentuk tubuhnya semakin mendekati persegi sempurna.
Adapun Jiang Laotou, hmm... dia makhluk aneh, penampilannya tak berubah sama sekali.
Musim dingin kembali tiba, tapi kali ini merupakan musim dingin yang hangat yang langka di pegunungan tempat tinggalku.
Masih di hari ulang tahunku, tapi tak ada perayaan seperti tahun lalu. Guruku bilang, perayaan besar hanya untuk ulang tahun kesembilan, tahun-tahun lainnya biasa saja.
Namun hari itu kebetulan akhir pekan yang langka, keluarga saya tetap naik ke atas sekali, jalan-jalan di gunung ini sebagai piknik. Jiang Laotou bilang tidak ada acara khusus, tapi keluarga saya bersikeras tidak mengadakannya. Aku merindukan kue krim tahun lalu, tentu saja aku hanya bisa melihatnya dalam mimpi.
Orang tua saya melihat tanaman Jiang Laotou di padang rumput, setelah hidup bersama selama dua setengah tahun, aku sudah tahu bahwa yang ditanam Jiang Laotou di padang rumput adalah tumbuhan obat. Tapi orang tua saya merasa sangat baru dan sering memetik beberapa untuk dibawa turun.
Kedua kakak perempuan saya juga tidak peduli cuaca dingin, bermain dengan gembira di tepi kolam.
Aku seperti orang tua kecil, duduk bersama Jiang Laotou di beranda panjang rumah bambu, masing-masing memegang secangkir teh tawar, di tengah ada papan catur, bermain 2 ronde catur.
Kehidupan di gunung tidak punya banyak hiburan. Jiang Laotou mengajariku bermain catur, jadi guru-murid sering main beberapa ronde. Jiang Laotou jago dalam hal lain, tapi skill caturnya benar-benar 'tidak karuan'. Setelah setahun belajar, aku sering 'mengalahkannya' sampai babak belur. Tapi si tua ini tidak tahu diri, sering kabur dengan alasan mau pipis lalu tidak kembali, atau bilang aku harus latihan kungfu, atau dia tidak lihat jelas gerakan - itu hal biasa.
Yang paling keterlaluan, dia sering menendang meja sampai roboh lalu menyalahkan kaki meja yang tidak stabil.
Tapi dia kan Guruku? Aku hanya bisa makan hati, mau tidak mau harus terus menemani. Kalau tidak mau main pun tidak bisa, dia kan guru, suruh main ya harus main.
“Jiang Laotou kembali menggerakkan bidak dengan buruk, sementara aku melakukan langkah bagus. Kukira dia akan main akal, jadi kubiarkan kedua tangan tersembunyi di dalam lengan baju, menunggu dengan tenang sambil dia mencari-cari alasan.”
Tapi justru ini menjadi dalih bagi Jiang Laotou untuk mengomel: "Kelihatan seperti apa kau ini? Baru sepuluh tahun sudah sok dewasa, sembunyikan tangan di lengan baju? Keluarkan! Hmm, melihat tingkahmu ini, aku putuskan hari ini kau harus dihukum. Salinlah _Dao De Jing_!"
Dengan wajah pasrah, kukeluarkan tangan dan berpura-pura sopan. Memang salahku sendiri. Sudah menang melawan Jiang Laotou, masih juga bersikap seperti ini. Pantas dia marah.
"Guruku, kenapa pertumbuhanku tidak cepat? Liu Chunyan tahun ini sudah lebih tinggi dariku." Sikap sopan saja tak cukup, harus alihkan topik.
"Kau tahu apa? Laki-laki itu bagai bambu - lambat tapi pasti. Kau sangat 'lambat tapi pasti'! Jangan sia-siakan ramuan tonikku. Pergi salin _Dao De Jing_!" Jiang Laotou tak mau berkompromi.
"Guru, hari ini ulang tahunku..." Menyalin _Dao De Jing_ memang bermanfaat. Setidaknya kemampuan bahasaku meningkat pesat sampai bisa mengerti istilah 'lambat tapi pasti'. Tapi salin tiap hari, tiap bulan? Apalagi hukuman tambahan. Kugunakan ulang tahun sebagai tameng.
"Jangan banyak bicara! Salin _Dao De Jing_ sekarang!" Jiang Laotou mendengus, tak tergoyahkan.
“Guruku, hari ini aku berusia sepuluh tahun. Kau pernah bilang setelah usia sepuluh ini akan memberitahuku beberapa hal. Kapan kau mau cerita?” Tiba-tiba aku teringat ini, dalam kepanikan kupakai sebagai tameng.
“Salin 《Dao……” Jiang Laotou tiba-tiba berhenti, diam sesaat lalu berkata: “Malam ini datanglah ke kamar kecil, akan kuceritakan.” Usai bicara, Jiang Laotou tak lupa mengacak-acak papan catur.
Tapi aku malas mempermasalahkannya. Kamar kecil! Guruku memanggilku ke kamar kecil!! Aku terkejut.
Sebenarnya pondok bambu ini tidak besar. Ditambah ruang utama total hanya tiga kamar. Toilet dan dapur dibuat terpisah di gubuk bambu.
Dari tiga kamar itu, satu kamarku tempat tidur, satu kamar Jiang Laotou, dan satu lagi kamar kecil yang selalu terkunci di balik kamar tidur Jiang Laotou. Kami menyebutnya kamar kecil.
Lagipula perabotan di pondok bambu ini biasa-biasa saja. Ruang utama cuma ada meja panjang dan beberapa kursi.
Kamar Jiang Laotou cuma ada ranjang bambu, peti rotan, plus bantal duduk.
Kamarku lebih lengkap: ranjang kayu, meja tulis kayu, kursi, plus lemari kecil untuk pakaian.
Jadi, ketika membahas pergi ke kamar kecil, aku sangat terkejut. Karena setelah dua setengah tahun di gunung ini, aku sama sekali belum pernah melangkahkan kaki ke dalam kamar kecil itu. Namun, Jiang Laotou sering berada di dalamnya, dan selalu menutup pintu rapat-rapat. Aku benar-benar penasaran sekali dengan apa yang ada di dalam kamar kecil itu!
Bagaimana mungkin aku tidak terkejut? Hari ini Jiang Laotou malah menyuruhku pergi ke kamar kecil!
Setelah makan malam dan mengantar orang tuaku turun gunung, ketika kembali ke atas sudah malam. Tapi latihan malam tidak boleh ditinggalkan. Setelah menyalin "Dao De Jing", aku berlatih Ba Jin Duan sebentar. Walaupun Wu Qin Xi sudah sangat kukuasai, Jiang Laotou tetap menyuruhku berlatih Ba Jin Duan. Tidak ada cara lain.
Kemudian, seperti biasa ada tonik kesehatan dan mandi air harum. Hal-hal yang biasanya sangat kusukai, hari ini kulakukan dengan terburu-buru karena ingin segera ke kamar kecil. Bahkan rasa kantuk yang biasanya muncul di saat-saat seperti ini pun hilang.
Jiang Laotou adalah orang yang tegas dan tidak pernah mengingkari janji. Begitu selesai mandi, dia benar-benar mengajakku ke kamar kecil.
Saat pintu yang terlalu misterius bagiku itu terbuka, jantungku berdebar kencang sampai terasa mau copot.
Tapi yang terlihat hanyalah kegelapan. Karena terlalu kecewa, aku spontan berteriak "Ah!".
“Lampu saja belum dinyalakan, kau berharap melihat apa? Mengira diri kucing? Masuklah, anak bodoh.” Jiang Laotou terkekeh sambil menarikku masuk ke kamar kecil, lalu dengan cekatan menyalakan lentera minyak.
Di bawah cahaya lentera, seluruh isi kamar kecil terpapar di mataku. Aku memandang sekeliling dengan takjub, tak menyangka isi kamar ternyata seperti ini.
Sebuah rak bambu besar menutupi satu dinding penuh, bentuknya mirip rak display modern dengan petak-petak kecil berisi aneka benda acak-acakan, kebanyakan kotak-kotak.
Beberapa peti besar berdiri di samping rak bambu, isinya tak diketahui.
Di dinding seberang, rak buku kecil berjejer buku-buku jilid benang yang tampak sudah berusia tua.
Dinding terakhir memiliki jendela kecil, di bawahnya meja bambu lebar dengan berbagai alat: pedang kayu persik Guruku, kotak cinabar, benda-benda ritual, dan beberapa potong giok dengan bentuk beragam.
Tempat ini bagaikan harta karun!
“Sudah lihat cukup? Ini semua harta milik gurumu. Yang paling berharga di sini adalah buku-buku dan beberapa benda warisan leluhur guru kita. Selebihnya biasa saja. Dulu aku tidak mengajakmu masuk ke kamar kecil ini karena takut kau menyentuh sembarangan dan merusak benda-benda terlarang. Tapi sudah dua setengah tahun kau di sini, rajin membaca 《Tao Te Ching》, dan semakin dewasa. Ditambah aku akan mulai mengajarkan hal-hal penting tentang aliran kita, tak masalah membawamu ke sini.” Jiang Laotou menjelaskan sambil tetap tenang, berbeda dengan aku yang terkesima.
“Guruku, benda-benda apa saja ini? Bolehkah aku melihatnya?” Aku benar-benar terpikat oleh benda-benda di ruangan ini. Sebagai anak kecil, wajar saja ingin tahu hal baru.
Namun Jiang Laotou tiba-tiba melotot, “Apa yang kuajarkan padamu? Selain hati nurani, semua benda duniawi ibarat awan berlalu! Jika hati adalah permata, maka benda hanyalah jerami. Lihat sikapmu! Lagipula, jika bukan untukmu, untuk siapa lagi harta milikku ini? Bandingkan dengan koleksi orang-orang itu, barang-barangku ini tidak ada artinya!”
Aku mengangguk-angguk, sebenarnya tidak paham. Hanya tertarik pada hal baru. Jika di zaman sekarang yang semua orang paham konsep barang antik, masuk ke ruangan ini pasti bikin deg-degan. Hanya Jiang Laotou yang tetap tenang, meski tahu nilai beberapa benda di sini.
“Aku ingin bicara serius. Aliran kita sebenarnya tidak hanya ada satu orang!” Jiang Laotou tiba-tiba berkata.
