Aku langsung terkejut, tidak hanya Guruku seorang? Apakah maksudnya aliran kami punya banyak anggota? Tapi selama ini selain Guruku, aku tidak pernah melihat siapa-siapa?
Guruku melihat ekspresiku langsung tahu aku penuh pertanyaan, "Jangan banyak tanya, nanti akan kuceritakan perlahan. Sekarang bukannya menyeduhkan 2 cangkir teh?"
Aku segera mengangguk, setelah sibuk beberapa saat, akhirnya menyajikan 2 cangkir teh hijau.
Dalam kepulan uap teh panas yang mengepul, Guruku mulai membentangkan kisah masa lalu aliran kami bagaikan lukisan misterius.
Guruku lahir tahun 1912 asal Hunan, tapi lokasi pastinya di Hunan mana pun Guruku sendiri tidak tahu. Di era penuh gejolak itu, negara masih dalam kesengsaraan, banyak anak yatim piatu tanpa orang tua, dan Guruku adalah salah satunya.
Tanpa orang tua, bahkan tidak tahu siapa sanak saudaranya, sejak lahir Guruku sudah dibuang di sebuah desa kecil. Keadaan seperti itu umum di masa itu. Beruntung Guruku ditemukan oleh seorang orang tua itu yang bekerja sebagai penggembala sapi.
orang tua itu hidup sebatang kara, termasuk tipe yang kalau sudah kenyang sendiri berarti seluruh keluarga kenyang. Dengan mengangkatnya sebagai anak angkat, cocoklah keduanya.
Hidup sangat sulit karena orang tua itu sangat miskin. Makanan untuk Guruku hanya air tajin. Tapi Si Kakek tetap bertahan hidup. Dua orang yang saling bergantung ini meski miskin, hidupnya tenang.
Tapi langit punya awan tak terduga, di tahun Guruku berusia delapan tahun, orang tua itu yang menggembalakan sapi mati, dan mati dengan tragis, dipukuli sampai mati oleh orang, alasannya hanya karena sapinya tak sengaja memakan sehelai sayuran di ladang.
Awalnya ini hanya hal sepele, Si Kakek juga cepat mengusir sapinya, tapi takdir menentukan bahwa orang tua itu harus melewati malapetaka ini, karena inilah dia dipukuli sampai mati, bahkan satu-satunya sapi kuning tua juga dirampas orang.
Alasannya hanya karena ladang itu milik Liu San si 'penguasa' desa, dan kejadian ini kebetulan dilihat oleh Liu San.
Liu San adalah seorang preman, malas dan jahat, sehari-hari hidup dari mengemis makanan dan mencuri ayam-kucing, kemudian karena kemalasannya tidak bisa bertahan di desa kecil ini, akhirnya memutuskan pergi 'menerjang dunia'.
Apa yang terjadi pada Liu San di luar, warga desa tidak tahu, hanya tahu ketika kembali dia menjadi cacat, sebenarnya cacat bukan masalah, kebanyakan warga masih punya simpati pada orang seperti itu, tapi Liu San tidak butuh simpati, dia 'pulang membawa kejayaan'.
Karena dia diantar pulang oleh satu pasukan tentara, saat itu banyak perampok, banyak panglima perang, tentara apa, tentara apa, rakyat biasa tidak bisa membedakan, intinya rakyat takut pada mereka.
Jadi dengan diantar pasukan tentara pulang, Liu San dianggap pulang membawa kejayaan.
Konon dia menjadi cacat karena menyelamatkan tugas penting seorang panglima, sebagai balas budi mereka.
Setelah kembali, pasukan itu memberi tahu seluruh desa bahwa Liu San adalah orang mereka. Jadi siapa pun di desa yang berani tidak menghormati Liu San akan ditembak. Mereka juga merampas banyak tanah warga dan merebut rumah tuan tanah kecil untuk Liu San.
Mereka memaksa orang-orang yang tanahnya dirampas untuk bekerja di lahan keluarga Liu San. Dengan cara ini, Liu San berubah dari preman kecil menjadi penguasa desa. Tidak hanya menjadi tiran, dia juga mendapat reputasi sebagai tokoh terpandang dan dikatakan punya koneksi dengan pejabat kota.
Orang-orang desa mana berani melawan? Menghadapi kelaliman Liu San, mereka hanya bisa memendam kemarahan dan menahan diri.
Si orang tua penggembala sapi itu hanya seorang kakek kesepian yang baik hati. Mana mungkin dia berani melawan Liu San?
Memakan sayuran dari ladang Liu San, pasti harus membungkuk-bungkuk minta maaf tanpa harga diri. Tuntutan ganti rugi juga tak terhindarkan. Liu San yang tamak ini bahkan akan menuntut satu pikul kayu bakar untuk sehelai rumput yang diambil.
Menghadapi sikap merendah si kakek, Liu San malah tak berterima kasih. Tanpa rasa iba atau hormat pada orang tua, dia mengincar sapi si kakek! Dia bersikeras sapi itu harus jadi ganti rugi.
Orang seperti ini tak bisa diajak berunding. Apalagi dia punya alasan: Sapi itu satu-satunya harta si kakek penggembala yang hidupnya tergantung pada menggembalakan sapi warga. Mana mungkin kakek itu rela?
Apalagi kerbau tua itu sudah hidup bergantung dengannya selama 7 tahun, sudah timbul ikatan emosional. Di musim sibuk bertani, saat menggiring kerbau untuk bekerja, jika melihat kerbau lelah, Si Kakek penggembala akan meneteskan air mata karena merasa iba.
Liu San ini ingin merebut kerbaunya, itu sama saja merampas nyawanya. Memohon tidak ada gunanya, berlutut pun tak berpengaruh. Orang lemah pun punya batas kesabaran, Si Kakek penggembala itu akhirnya marah dan berkata: "Kamu sudah begitu kaya, mengapa masih ingin merampas satu-satunya kerbau milikku?"
Ini satu-satunya perlawanan Si Kakek, dan karena satu kalimat itu, Si Kakek harus membayar dengan nyawanya.
Liu San yang sudah lama berkuasa di desa, kapan ada yang berani bicara seperti itu padanya? Apalagi hanya seorang kakek tua yang keluarganya (termasuk dirinya) cuma 2 orang? Maka para bawahan Liu San pun bertindak, memukuli Si Kakek habis-habisan. Hingga akhirnya Liu San masih merasa kurang puas, lalu menginjak dada Si Kakek beberapa kali dengan keras. Injak-an itulah yang menyebabkan Si Kakek tewas mengenaskan.
Melihat ada korban jiwa, para bawahan Liu San agak ketakutan. Tapi Liu San justru berteriak seperti tak terjadi apa-apa: "Takut apa? Waktu perang dulu sudah banyak mayat kulihat! Biarkan dia di situ, pasti ada yang mengurus jenazahnya. Kerbaunya, bawa pulang!"
Tentu ada yang akan mengurus jenazah, orang itu adalah Guruku. Saat warga desa memberitahu Guruku tentang hal ini, Guruku hampir tidak percaya, Ayah yang begitu jujur ternyata dipukuli sampai mati oleh Liu San. Itu adalah satu-satunya keluarga yang dimilikinya di dunia ini.
Warga desa mengasihani Guruku. Mereka membantu sedikit sehingga orang tua itu bisa dikuburkan dengan peti kayu sederhana, lalu menyerahkan pekerjaan menggembala sapi kepada Guruku, memberi anak kecil itu mata pencaharian untuk bertahan hidup.
Namun benih kebencian tak terelakkan mulai tertanam di hati Guruku.
Di tengah semua ini, patut dicatat bahwa sapi yang dibawa pulang Liu San itu, pada hari yang sama merobohkan kandangnya, menanduk tiga orang hingga luka parah, dan menginjak satu orang sampai tewas.
Yang menakjubkan, korban-korban itu semuanya adalah orang yang memukuli orang tua itu hari itu.
Akhirnya Liu San memerintahkan untuk menyembelih sapi itu, dagingnya dimakan, sisanya dijual di pasar kota.
Setelah mengurus pemakaman orang tua itu, Guruku diam-diam pergi ke pintu belakang rumah Liu San, menangisi nasib sapi itu dan membakar kertas sembahyang. "Dibilang binatang, binatang, tapi binatang masih punya perasaan. Ada manusia yang lebih hina dari binatang. Liu San adalah orang seperti itu!"
Dua tahun berlalu tanpa perubahan berarti. Kehidupan Guruku tetap miskin dan sibuk. Satu-satunya perubahan adalah kebenciannya pada Liu San yang semakin mengakar dalam.
Guruku bersumpah akan membalas dendam ketika dewasa, namun dalam dua tahun terakhir, kehidupan Liu San semakin makmur dan pengaruhnya terus meluas, bahkan merambah ke desa tetangga.
Benarkah orang baik tidak berumur panjang, sedangkan penjahat hidup seribu tahun? Guruku mulai meragukan dunia ini. Ia berencana, setelah menginjak usia 18 tahun dan memiliki tenaga lebih besar, akan mencari kesempatan untuk mengakhiri hidup Liu San bersamanya.
Orang tua itu telah berjasa besar pada Guruku. Bagaimana mungkin tidak membalas budi? Guruku hanya merencanakan hidupnya sampai usia 18 tahun.
Jika mengikuti alur sejarah normal, akhir terbaik bagi Guruku hanyalah tewas bersama Liu San. Namun daya tarik sejarah sering terletak pada kejutan tak terduga. Setahun kemudian, datanglah beberapa orang ke desa yang menjadi titik balik penting hidup Guruku.
Tepatnya pada hari itu, tiga orang datang ke desa: dua pemuda dan Si Kakek. Mereka diundang oleh keluarga terhormat lain di desa yang pernah melahirkan Ju Ren (lulusan ujian provinsi), sehingga memiliki status sosial yang baik.
Berbeda dengan Liu San, keluarga ini berasal dari kalangan terpelajar, memiliki kekuasaan dan harta namun tidak sombong. Malah sering membantu warga desa, termasuk menyumbang paling banyak untuk pemakaman kakek tua itu.
Ironisnya keluarga baik ini terus diteror kejadian aneh yang mengacaukan rumah tangga mereka, sementara Liu San hidup bebas tanpa gangguan. Inilah yang membuat Guruku menjadi sinis terhadap dunia saat itu.
Singkat cerita, ketiga orang yang dipanggil ini katanya adalah orang yang 'melihat urusan' untuk keluarga itu. Tapi bagaimana hubungan mereka dengan Guruku?
