“Kalimat Jiang Laotou itu membuatku tertegun, aku tahu ada banyak barang di gubuk itu, tapi yang agak berharga mungkin hanya giok? Berapa nilai giok ini? Di pikiran kecilku, mungkin tidak seharga satu rumah?”
Waktu itu aku masih naif, kalau sekarang punya pikiran seperti itu pasti aku tampar muka sendiri. Mana aku tahu nilai barang-barang seisi rumah Jiang Laotou waktu itu? Satu rumah itu apa?
“Master Jiang, kenapa kami harus pakai uangmu?” Ayahku panik, buru-buru berkata.
“Master Jiang, tabunganmu juga tidak banyak, kau sudah untuk San Wa'er kami...” Ibu saya juga segera menimpali.
Mereka terharu, mereka juga percaya pada Jiang Laotou. Tapi pemikiran mereka sama denganku, berapa banyak uang yang dimiliki Jiang Laotou? Ingatlah tingkah lakunya sehari-hari di desa, demi makanan enak rela bekerja untuk orang lain...
“Jangan bicara lagi. Memang takdir San Wa'er tidak memiliki ikatan orang tua, tapi aku juga salah satu penyebabnya. Sebagai anak laki-laki, San Wa'er tidak bisa selalu mendampingi orang tuanya. Hatiku juga sesak. Aku sedikit paham ilmu fisiognomi, melihat wajah kalian berdua bukanlah tipe yang tak beruntung di masa tua. Aku harus membantu. Pergilah ke kota kabupaten! Tadi pagi aku bertanya pada seseorang, dalam tiga tahun ke depan, seluruh wilayah Tiongkok... Ah, singkatnya, dalam tiga tahun kebijakan ekonomi negara akan berubah. Manfaatkan kesempatan ini, kalian akan mendapat kekayaan.” Saat mengatakan ini, wajah Jiang Laotou memerah. Waktu itu aku tak mengerti mengapa dia malu, tapi sekarang baru paham.
Selama bertahun-tahun dia hampir tak pernah meminta bantuan orang, juga hampir tak menggunakan ilmu Tao untuk kepentingan pribadi. Tapi demi orang tuaku, dia malah berhutang budi. Memberi tahu mereka informasi itu sama saja dengan mencari keuntungan untuk keluarga muridnya sendiri. Makanya dia merasa malu.
Selain itu, dia diam-diam menyuruh orang menghitung Shio dan delapan karakter orang tuaku, memastikan memang ada titik balik keberuntungan finansial dalam takdir mereka, baru berani memberi tahu. Kalau tidak, kekayaan yang bukan haknya takkan bisa dipertahankan, bahkan bisa mendatangkan nasib buruk seiring habisnya harta.
“Master Jiang, kami tahu Bapak punya kemampuan. Tapi meski ada rezeki, kami cuma petani tak punya keahlian lain. Mana bisa meraihnya? Kami...” Ayahku menghela napas. Seiring tumbuhnya anak-anak, tekanan hidup semakin besar. Uang lebih tentu membantu, tapi...
"Aku sudah memikirkan, kalian beli rumah dekat SMA di kota kabupaten saja, beli bangunan kecil, lantai bawah diubah jadi toko, berdagang barang-barang seperti buku tulis, pulpen, camilan kecil, begitu." Sebenarnya Jiang Laotou tahu lebih detail, dia tahu dalam tiga tahun ke depan, gelombang pertama pengusaha di China akan kaya raya, fengshui bisnis sedang makmur. Tapi Jiang Laotou sendiri tidak punya konsep berbisnis, hanya bisa memikirkan ide ini.
Tapi bagi orang tua saya yang turun-temurun petani, ide ini bagaikan dongeng yang mustahil. Beli rumah di kota kabupaten? Itu pun bangunan bertingkat? Apalagi buka usaha? Tidak berani membayangkan, sungguh tidak berani!
"Master Jiang, ini..." Ayahku sudah bingung mau berkata apa. Terharu memang terharu, tapi dia malu mengungkapkan: Apakah Master Jiang yang terbiasa mengembara ini tidak paham cara hidup? Rencana ini bagus, tapi mustahil terwujud.
Jiang Laotou melambaikan tangan, menyuruh orang tua saya berhenti bicara. Dia hanya bertanya: "Jika aku yang menyediakan uangnya, mau tidak kalian terima?"
"Tidak mau!"
"Pasti tidak mau!" Orang tua saya serentak menjawab.
"Anggap saja sebagai pinjaman. Jika tetap menolak, maka ikatan kita selama ini selesai." Jiang Laotou berkata dengan serius.
Begitu dia bersikap tegas, orang tua saya langsung ciut. Ditambah perkataannya yang bernada ancaman, mereka pun terdiam.
"Cuma Ayahku yang pikirannya lebih lincah. Dari dulu dia sudah curiga dengan identitas Jiang Laotou. Apalagi kali ini Jiang Laotou bahkan bisa menyelesaikan hubungan dengan kota kabupaten. Ayahku semakin curiga. Setelah lama ragu, dia berkata, 'Master Jiang, bisakah Anda ceritakan sebenarnya siapa diri Anda dan pekerjaan Anda? Kadang-kadang hatiku gelisah memikirkannya.'"
"Aku adalah orang yang bekerja untuk negara. Hanya saja tidak banyak hal yang perlu negara menyuruhku turun tangan langsung." Jiang Laotou tidak menyembunyikan apa pun.
"Kalau dulu Anda pergi selama tujuh tahun...?" Kemampuan memahami Ayahku tentu lebih baik daripada diriku yang masih bocah. Dia mengerti maksud perkataan Jiang Laotou ini. Ayahku yakin Jiang Laotou pasti memiliki status yang tidak biasa di negara. Sebagai warga desa yang pernah 'menyaksikan' langsung urusan hantu, mungkin negara diam-diam punya banyak 'urusan genting' yang membutuhkan penjagaan para ahli.
"Tujuh tahun itu, hehe... Aku menjalankan tugas yang cukup sulit. Sejak awal bertugas, aku sudah khawatir tidak bisa kembali. Makanya waktu itu kukatakan mungkin tidak ada jodoh dengan San Wa'er. Nyatanya terbukti kita punya jodoh, haha..." Perkataan Jiang Laotou terdengar santai dan optimis. Tapi selain diriku, semua orang bisa merasakan bahaya yang tersirat. Bahkan ahli sekelas Jiang Laotou sampai khawatir tidak bisa pulang.
Ayahku wajahnya merah padam, lama baru bisa mengucapkan: "Master Jiang, meski nanti San Wa'er juga harus menjalankan tugas, juga harus berkorban, aku rela, asalkan untuk negara."
Ini adalah kata-kata paling tulus dan hati paling ikhlas dari seorang petani. Orang tua saya di generasi mereka mungkin tak berpendidikan, tapi ketulusan dan keikhlasan hati mereka tak tertandingi oleh generasi-generasi setelahnya. Secara spiritual, mungkin mereka lebih kaya daripada kita.
"Aku... aku juga rela." Ibu saya ikut mengucapkan.
Jiang Laotou tersentuh, menepuk bahu ayahku, juga lama baru berkata: "Orang sepertimu pantas kaya. Kebaikan di hidup ini saja sudah cukup menjadi berkah nasibmu, tak perlu karma dari kehidupan sebelumnya."
Pembicaraan sampai di sini sudah mencapai kesepakatan. Setelah makan malam, Jiang Laotou memerintahkan orang tua saya untuk naik ke kota seminggu kemudian mengambil uang, uangnya pasti cukup!
Ucapan ini terdengar sombong, uang pasti cukup!
Dalam hati aku mendengus, guruku ini mulai sok jago lagi. Seperti saat main catur, selalu mengaku jagoan tapi langkahnya payah. Beli rumah di kota...
Tanpa sengaja aku berseru: "Guru, beli rumah di kota, minimal harus 100 yuan ya?"
Mau bagaimana lagi, aku memang orang udik. 100 yuan sudah angka terbesar yang bisa kubayangkan, lebih dari itu sudah di luar imajinasiku!
Jiang Laotou memandangiku seperti melihat orang gila, lalu berkata; "Guawazi! (Bodoh)" Kemudian pergi dengan santai, mengambil pancing dari dalam rumah dan pergi memancing.
Malam itu, lentera minyak menerangi gubuk kecil. Jiang Laotou berjalan mondar-mandir di dalam ruangan sambil menyatukan tangan di belakang punggung, sementara aku asyik memainkan alat-alat ritual di meja. Siapa tahu apa yang sedang dia pusingkan?
"Buku-buku ini adalah literatur kuno, banyak yang edisi langka. Ini hasil koleksi seumur hidup guruku, aku juga sudah menjelajahi separuh Tiongkok... Ada banyak dokumen berharga Taoisme, ah... Tidak boleh dijual!" Dia membalik-balik semua buku di raknya, menghela napas, lalu pergi.
Lalu dia berjalan ke sisi lain, melihat-lihat berbagai benda aneh di rak: "Barang-barang ini... Ah... Semua adalah barang antik terkait sejarah Taoisme kita, tidak bisa dijual!" Katanya sambil menghela napas lagi, lalu pergi.
Kemudian dia membuka beberapa kotak di rak. Aku yang sudah lama penasaran isinya langsung menjulurkan kepala. Apa isinya? Aku kecewa memalingkan muka, kembali memainkan alat ritual di meja, tak lagi tertarik pada kotak-kotak itu.
Ternyata di dalam kotak itu hanya ada bahan-bahan herbal, beberapa tampak sangat jelek seperti gumpalan hitam. Sayang sekali Jiang Laotou menyimpannya di kotak cantik, bahkan ada yang dari giok - benar-benar mubazir!
Tentu saja, baru kemudian aku sadar: Justru sayalah yang mubazir!
“Obat tonik San Wa'er memang sudah menipis, dan beberapa jenisnya baru bisa digunakan setelah dia besar nanti dan punya sedikit kemajuan dalam latihan qigong. Barang-barang ini semakin berkurang setiap kali dipakai. Apa aku harus meminta Er... hm, tidak boleh dijual, tidak boleh dijual!” Sekali lagi dengan desahan yang sama, Jiang Laotou pun pergi.
Hatiku tersentuh, rupanya Jiang Laotou sangat memperhatikanku. Tapi aku semakin yakin bahwa guruku ini adalah guru yang miskin. Kalau obat habis, tinggal beli di toko obat tradisional saja. Nanti ketika aku besar dan punya uang, harus kubelikan banyak untuk orang tua ini agar dia tidak pelit lagi.
Sejak kecil aku terus bertekad seperti ini dalam hati. Untung saat itu tidak kuucapkan, kalau tidak pasti kena marah plus dijitak.
Akhirnya, Jiang Laotou berjalan mendekati beberapa peti besar. Dengan suara 'ciiiit', dia membuka peti itu!
Aku kembali mengulurkan leher penasaran. Dalam bayanganku, peti besar seperti ini cocok untuk menyimpan harta karun. Mungkin juga ada, dalam cerita-cerita Jiang Laotou, Lao Li - eh, guru leluhurku kan tidak mau bertindak kalau imbalannya kurang dari 2 batang emas?
Hmm, sangat mungkin! Hatiku berdebar-debar. Seketika kubuang jauh anggapan bahwa guruku miskin. Aku bersiap silau oleh kilauan harta... Tapi...
Hasilnya, aku sama sekali tidak melihat apa-apa. Tidak ada cahaya permata yang memancar dari peti itu!
Saat aku hendak melihat lebih jelas, Jiang Laotou malah memanggilku: "San Wa'er, kemarilah. Tutup matamu dan bantu pilih satu barang untukku."
"Aku dengan penuh semangat, berlari sambil menimbulkan suara gemerincing, menjulurkan leher untuk melihat. Isi kotak itu adalah kotak-kotak panjang berderet, salah satunya terbuka menampakkan gulungan lukisan!"
Aku tahu Kakek Jiang suka melukis sesekali, tapi biasanya lukisannya langsung dibakar. Dia juga hobi menulis kaligrafi, tapi tulisan itu pun ikut dibakar. Ternyata dia menyimpan begitu banyak karya?!
Sepertinya guruku yang miskin ini sudah kehabisan akal, mau menjual karya seninya sendiri. Ck, ck, menyedihkan sekali!
"Kalau... ambil yang ini saja." Aku tak tahu apa yang harus kupilih, langsung mengambil kotak persegi panjang dan menyerahkannya padanya.
Dengan wajah sedih, dia membuka kotak itu lalu membuka gulungan lukisan dengan hati-hati. Terlihat beberapa bunga teratai yang hidup seakan nyata, sangat indah. Aku tak bisa menjelaskan detailnya, pokoknya cantik sekali.
Selain teratai, ada cap stempel di atasnya, beberapa baris tulisan kecil, dan nama penulis. Tapi nama itu bukan nama guruku.
Oh, tertulis nama Shou Ping di sana!
