"Lihat orang itu berjalan mendekat, hatiku tiba-tiba dipenuhi ketegangan aneh bercampur kegembiraan. Apakah dia mau berbisnis dengan kami? Bagaimanapun juga, segala hal yang tak dikenal bagi anak kecil seperti aku penuh daya tarik."
"Berbeda dengan kegembiraanku, Jiang Laotou justru terlihat sangat tenang. Matanya bahkan tidak beralih dari pandangannya ke luar jendela, hanya mengangkat cangkir dan menyesap teh perlahan."
"Pemuda itu mendekat dan duduk, membuat wajah lucu padaku yang membuatku terkekeh. Kupikir meski penampilannya seperti preman kecil, ternyata dia tidak jahat."
"Pak, kasusmu ini jarang terjadi ya, bawa anak kecil jalan-jalan cari bisnis." Pemuda itu bersemangat menyapa, langsung berbasa-basi sambil mengeluarkan sebungkus Hongtashan dan menawarkan sebatang ke Jiang Laotou.
"Hongtashan! Rokok mahal! Meski berasal dari pegunungan, aku masih punya pengetahuan ini. Di kampungku, orang baru berani merokok Hongmei saat hari raya. Kalau ada yang tiba-tiba mengeluarkan Hongtashan untuk dibagi-bagikan, pasti jadi bahan perbincangan warga selama satu dua hari, menebak-nebak 'cerita' di baliknya."
"Kupikir Jiang Laotou akan menerimanya. Bukankah dia sesekali merokok tembakau biasa? Tapi ekspresi Jiang Laotou tak berubah sama sekali. Ia menahan tangan pemuda yang menawarkan rokok itu, lalu mengeluarkan pipa tembakaunya sambil berkata, 'Tidak usah, aku sudah terbiasa dengan ini.'"
Wajah pemuda itu menunjukkan sedikit kecanggungan, sejenak tak tahu harus berkata apa, hanya bisa diam memandangi Pak Jiang menyalakan rokok tembakau. Tak lama, aroma khas daun tembakau kering yang sudah sangat kukenal mulai mengepul perlahan di ruangan ini.
Mencium aroma itu, pemuda itu justru mengenduskan hidungnya beberapa kali dengan aneh, menarik napas dalam-dalam, lalu berkata dengan nada terkejut: "Paman, daun tembakaumu ini tidak biasa ya. Dari aromanya saja sudah terasa kekentalannya, ada wangi obat-obatan juga. Apa ditambahi rempah khusus?"
"Kau paham soal ini?" Ekspresi guruku baru kali ini menunjukkan perubahan.
Pemuda itu menggaruk-garuk kepala, menjawab: "Nggak juga sih. Guruku juga suka ngerokok beginian. Karena sering mencium dan mendengar penjelasannya, jadi agak ngerti sedikit. Sebenarnya rokok tembakau ini lebih nendang daripada rokok filter, asal daunnya bagus..."
Aku malas bersandar di meja. Jadi pemuda ini cerewet ya? Lihat orang lain, cuma butuh beberapa kalimat singkat untuk memutuskan mau transaksi atau tidak.
"Mau coba?" Pak Jiang menyodorkan pipa tembakaunya.
Tanpa sungkan, pemuda itu menerimanya lalu langsung menghisapnya 'praktak-praktak' dua kali, ekspresinya sangat menikmati.
Pak Jiang mengambil kembali pipa tembakaunya, berkata datar: "Dari tadi kulihat kau terus menelan ludah."
“Hukh... hukh...” Begitu dengar, si pemuda langsung tersedak. Aku sendiri sudah terbiasa. Kalau soal kemampuan lain guruku mungkin biasa saja, tapi keahliannya mengeluarkan ucapan yang bikin orang sakit hati sampai mati kehabisan napas benar-benar jempolan.
Setelah pemuda itu selesai batuk, Jiang Laotou baru bertanya: "Gurumu siapa?"
"Ma Ronggui, julukannya Ma Dudu. Kakek pernah dengar? Ngomong-ngomong, aku belum perkenalkan diri. Aku marga Cao, panggil saja Cao Er. Aku murid kedua guruku." Ternyata nama pemuda itu Cao Er.
"Ma Dudu? Si mata satu yang lebih 'lihai' menilai giok daripada mata dua. Hm, boleh juga dianggap orang yang paham giok." Jiang Laotou menghisap rokok tembakaunya, wajahnya tetap tenang saat menyebut nama itu.
"Kakek benar-benar kenal guruku?" Cao Er terkejut, bergumam: "Metode menilai orang ala guruku memang akurat. Baru sekali pakai fisiognomi langsung ketemu kolektor yang paham. Kalau begitu, Pakde, kita tidak perlu basa-basi lagi. Aku malas tanya soal kualitas warna atau asal barang. Mari kita keluar lihat barang?"
Jiang Laotou menggeleng, menghembuskan asap rokok dengan santai: "Tidak usah. Barangku ini takkan kau pahami. Pergilah."
"Pakde, jangan lihat aku masih muda. Sudah 12 tahun aku berguru. Barang bagus yang lewat tanganku, kalau tidak seratus, delapan puluh pasti ada." Cao Er tak mau menyerah. Sebagai orang licin di dunia persilatan, beberapa kalimat saja sudah membuatnya yakin si kakek mungkin menyimpan harta luar biasa.
“Aku malas bohong padamu, benda di tanganku ini bahkan gurumu tak bisa mengenali asal-usulnya. Pergilah.” Jiang Laotou sama sekali tidak bergeming.
Cao Er di samping tampak gelisah, menggigit gigi lalu berkata: "Paman, janganlah bicara demikian. Beginilah, anggap ini permohonan tak pantas dariku. Tolong simpan barang itu, aku akan panggil guruku. Tak sampai setengah jam pasti sampai."
Jiang Laotou tidak membenarkan maupun menyangkal.
Cao Er bergegas keluar. Aku yang awas melihat beberapa pelayan kedai teh di bawah terdiam heran, satu orang lainnya buru-buru naik ke lantai atas.
"Guruku, kita tunggu gurunya di sini?" Aku pun tak tahu rencana apa yang disembunyikan Jiang Laotou.
"Sudah kukatakan, gurunya takkan bisa melihat apa-apa. Ini sedang memancing ikan besar. Barang yang kutawarkan sendiri berbeda nilainya dengan yang mereka incar. Tunggulah saja." Jiang Laotou berkata penuh teka-teki.
Sok misterius, batinku bergumam. Akhirnya kuputuskan untuk tak bertanya lagi.
Dua puluh menit berlalu cepat. Anehnya, sejak Cao Er berbicara dengan kami, meja kami tiba-tiba ramai dikunjungi. Hampir tiap dua menit ada orang yang mendekat.
Pertanyaannya itu-itu saja: "Barang mentah? Berwarna? Selundupan? Baru? Batu kasar?"
Apapun pertanyaan awal mereka, Jiang Laotou selalu mengusir dengan satu kalimat: "Barang ini tak layak kalian nilai."
“Adegan tadi membuat semua orang di kedai teh memperhatikan kami, bahkan beberapa pedagang mulai bertanya-tanya pada orang lain, siapa sebenarnya aku dan Jiang Laotou ini, barang apa yang kami bawa?”
“Saat itu, Cao Er juga kembali, terengah-engah. Sampai di depan kedai teh, dia tidak buru-buru masuk, malah menunggu dengan hormat di pintu sambil memberi jalan pada seseorang yang masuk terlebih dahulu.”
“Orang yang masuk adalah seorang kakek berambut tipis yang disisir rapi menempel ke kulit kepala, mengenakan kacamata berwarna yang langka pada masa itu, dan baju pendek bergaya Tang dari sutra putih yang memberi kesan sarjana tua.”
“Begitu dia masuk, suasana kedai langsung hening. Para 'makelar' yang tadi sibuk menawar barang hampir semua diam, memandangnya dengan penuh hormat.”
“Baru setelah dia duduk di meja kami bersama Cao Er, bisikan-bisikan kecil mulai terdengar di sekitar.”
“Ye Du sendiri yang turun tangan, kejadian yang mungkin tidak terjadi lagi dalam satu dua tahun ini.”
“Sudah kuduga si kakek itu membawa 'barang berharga'.”
……
……
“Guruku, inilah tuan yang kumaksud. Katanya barang yang dibawanya tidak bisa kubaca, bahkan mungkin Guru juga tidak bisa. Makanya aku mengundang Guru ke sini.” Cao Er mengipasi Ma Dudu dengan sigap sambil berbicara.
Ma Dudu tidak marah, hanya menatap Jiang Laotou sambil berkata: "Mungkin barangmu benar-benar tidak bisa kuperiksa, tapi aku ini orang yang suka hal aneh-aneh. Ada pepatah mengatakan 'hidup sampai tua, belajar sampai tua'. Aku ingin mengundang Yang Mulia ke lantai dua, biarkan barangmu kulihat sebentar untuk bahan pembelajaran, bagaimana?"
Perkataan Ma Dudu terdengar sopan, tapi nuansa ketidakpuasan dalam ucapannya sangat kental. Bagi orang-orang yang berkecimpung di dunia ini dan berdiri di industri ini, reputasi adalah segalanya.
Di saat yang sama, seorang pria paruh baya berpenampilan biasa-biasa saja turun dari tanggan dengan panduan pelayan kedai teh, lalu berjalan langsung ke meja kami.
Jiang Laotou bergumam: "Bangsat, tidak turun lebih awal atau lebih lambat, baru turun sekarang. Bikin Aku duduk selama lebih dari satu jam. Gengsi ini lebih besar daripada pantat."
Suaranya tidak keras, tapi semua orang di meja mendengarnya. Ma Dudu hanya berkata dengan wajah masam: "Masih ada yang berani mencegat? Tampaknya dengan adanya barang bagus, tempat ini tidak peduli aturan lagi."
Ma Dudu boleh bersikap begitu, tapi Cao Er malah tersedak ludah sendiri sampai batuk-batuk. Ucapan Jiang Laotou mungkin tidak dipedulikan gurunya karena 'posisi di dunia persilatan' yang dimilikinya. Tapi bagi Cao Er yang mendengarnya, ini sangat mengejutkan. Orang yang turun itu adalah pemilik kedai teh ini - sosok legendaris di bisnis barang antik Sichuan, mantan piaobazi (pemimpin) di bisnis bawah tanah, satu-satunya putra Yun Bao Chun alias Yun Baozi - Yun Xiaobao.
"Cuma tokoh seperti ini, Kakek ini benar-benar tidak menghargai orang lain, bahkan berani mengejek bahwa muka mereka lebih besar dari pantat? Sungguh berani ya."
Saat Ma Dudu masuk dan duduk, orang-orang masih berani berbisik-bisik. Tapi ketika pria paruh baya ini turun tangga dan duduk di depan kami (tempat yang diberikan Cao Er), semua diam seribu bahasa, hanya pandangan penasaran yang terus mengarah ke sini.
