Ya, Preta telah muncul! Empat puluh delapan gumpalan cahaya merah darah menyembur ke langit. Salah satunya berwarna merah menyala secara ekstrem, begitu mengguncang jiwa hingga membuat jantung berdebar.
Keempat puluh delapan gumpalan cahaya merah ini semuanya memancarkan aura dipenuhi dendam kesumat yang mengerikan.
Ingin sekali aku melihat wujud Preta. Mengikuti pengalaman sebelumnya, kukonsentrasikan pandangan. Baru sekali melirik, langkahku spontan mundur beberapa kali karena Preta yang kuperhatikan tadi tiba-tiba mengaum ke arahku.
“Wujudnya sungguh mengerikan, sama sekali berbeda dengan relief. Preta di relief bertubuh pendek dan kurus kering, sedangkan roh Preta ini sangat tinggi. Tidak bisa dibilang kekar, tetapi secara alami memancarkan aura mengerikan. Tatapannya garang dan kejam, saat membuka mulut mengaum, taring besar itu sudah biasa, tapi yang mengejutkan adalah mulutnya menyemburkan api.”
“San Wa'er, tutup Mata Ketigamu, minggirlah! Kau takkan tahan dengan hempasan aura energi Preta,” teriak Guruku keras-keras.
Aku langsung membuka mata, menutup Mata Ketiga. Meski begitu, darahku tetap bergolak dan kepala terasa pusing.
Setelah beberapa lama, barulah aku pulih. Kulihat Guruku dengan susah payah membentuk segel tangan, seolah ditarik oleh sesuatu, berusaha mempertahankan posisi.
Inilah bahaya segel tangan terbalik. Pada dasarnya segel tangan mengikuti hukum langit untuk menarik kekuatan alam. Segel terbalik justru melawan hukum langit, wajar jika ada daya tarik yang menghalangi.
Angin kencang bertiup berkali-kali. Kuhitung, tepat 48 kali tiupan sebelum semuanya reda.
Hantu pada dasarnya tak berwujud. Jika manusia bisa merasakan kehadirannya, satu-satunya indikasi adalah angin yang berubah, karena mempengaruhi medan aura energi.
Jiang Laotou letih menghentikan segel tangannya. Aku segera berlari menyangganya: “Guru, apa kau baik-baik saja?”
"Masih bisa bertahan, Hui Jue juga punya tenaga dalam yang kuat. Sayangnya dia tak boleh campur tangan atau bahkan melihat pemusnahan fisik begini, harus menghindar." Jiang Laotou bergumam lesu.
Sebenarnya, menurutku ini sudah luar biasa. Meski keyakinannya berbeda, mereka bisa menjadi teman baik.
Setelah menyimpan jimat ungu itu, Jiang Laotou melipatnya hati-hati menjadi segitiga dan menyimpannya. Kutanya, "Guruku, apakah kita akan menuntun mereka sekarang?"
Wajah Jiang Laotou muram sekali, "Tak bisa dituntun, karena masih kurang 2 ekor!"
"Apa?!" Wajahku langsung berubah pucat.
Di dalam Pondok Bambu, lentera minyak memancarkan cahaya kuning hangat, tapi tak mampu menerangi wajah muram ketiga orang itu.
"Guruku, 48 ekor. Aku tak salah hitung. Kenapa masih kurang dua?" Masalah ini sangat serius, harus kujelaskan.
"Sebuah Gu Zhong seharusnya berisi 49 ekor. Saat Lao Du mengeluarkannya dulu, kulihat tak ada cangkang telur hasil penetasan sebelumnya di dalamnya. Artinya ulat di Gu Zhong itu pasti 49 ekor." Jiang Laotou menjawab letih.
"Guruku, bagaimana cara tahu tak ada yang menetas sebelumnya?" tanyaku.
"Cacing Preta ini jika sudah menetas lebih dari 10 hari, cangkang telurnya akan memerah. Sangat jelas terlihat." Jawab Jiang Laotou.
Hui Jue mengangkat alisnya tanda setuju.
“Guruku, aku tahu pasti kau mengerti apa yang terjadi di dalam makam itu. Tolong ceritakan padaku.” Sebenarnya aku sudah lama menahan banyak pertanyaan, hingga hari ini merasa harus bertanya.
Pak Jiang menatapku sejenak, belum sempat bicara, aku segera menambahkan: “Guruku, aku ini muridmu. Mengajariku lebih banyak ilmu ini juga bagian dari membina murid! Selain itu, Guruku, aku juga ingin tahu konsekuensi dari melanggar dua aturan itu apa?”
Hui Jue mengucapkan mantra Buddha, dengan sikap langka yang tulus menatap Pak Jiang: “Lao Jiang, aku tahu niatmu melindungi murid. Kau terlalu memanjakan San Wa'er. Beberapa hal tak bisa kupaksakan. Jika tak mau cerita, tak usah. Tapi soal hantu kelaparan ini, dia sudah terlibat. Lebih baik kau jelaskan baik-baik.”
Pak Jiang termenung sejenak, tiba-tiba mengangkat kepala memandang Hui Jue dengan keraguan: “Hui Laotou, maksudmu... jangan-jangan kau ingin aku membawa San Wa'er masuk ke Makam Hantu Kelaparan?”
Hui Jue kembali melantunkan mantra Buddha: “Tepat seperti itu.”
“Kau...” Pak Jiang tiba-tiba berdiri, memandang Hui Jue dengan emosi tersulut.
“Jika kelak kau ingin dia mati muda, silakan terus begini. Anak ayam tak bisa selamanya di bawah sayap induknya. Elang kecil pun tak bisa selamanya tak terbang. Masih tak kau pahami?” kata Hui Jue dengan sangat serius.
“Jiang Laotou terlihat gelisah, terus mondar-mandir. Setelah lama, baru duduk sambil berkata 'Baiklah'.”
Aku diam saja, sebenarnya hati sangat bersemangat. Maklum masih remaja, ke suatu tempat tidak memikirkan bahaya hanya ingin petualangan. Takut kalau bicara akan ketahuan kegembiraanku.
Mendengar Guruku berkata "Baiklah", hampir saja aku melompat kegirangan namun berusaha menahannya.
Tiba-tiba aku mengerti perasaan Surou yang terus merajuk beberapa hari lalu. Rupanya rasa penasaran remaja memang naluri, tapi aku sendiri belum tentu bisa turun. Tak punya hak putuskan, jadi tak mungkin janji padanya.
Sebenarnya kegembiraanku mana bisa disembunyikan. Dalam hati berterima kasih seratus kali pada Hui Jue, karena tak disangka Guruku langsung menangkap basah.
“Aku tahu kau senang, tapi tak perlu terlalu jelas memperlihatkannya, bukan?”
Aku menggaruk kepala sambil tertawa getir, tak berani banyak bicara khawatir langsung dicabut hak turun. Tapi Jiang Laotou malah melanjutkan: “Dengarkan baik-baik apa yang akan kusampaikan. Bawah sana penuh bahaya.”
Aku mengangguk dengan serius.
“Tempat yang tak sengaja dimasuki Guo Er kemungkinan adalah ruang gu. Preta sebenarnya termasuk jenis serangga gu, sangat langka. Seharusnya sudah punah di dunia, tepatnya sejak Dinasti Ming. Aku tak menyangka masih ada jejaknya sekarang.” Wajah Jiang Laotou terlihat muram.
“Ya, aku juga mengira hanya beberapa monster tua di perbatasan Miao yang mungkin masih menyimpan satu atau dua telur serangga.” Hui Jue juga berkata dengan berat.
“Sebelum turun ke makam, semua ini sulit dinilai. Baru bisa dibicarakan setelah masuk ke dalam makam. Masalah ini harus dirahasiakan ketat, kalau tidak sampai ke tangan orang yang berniat jahat, akibatnya tidak terbayangkan.” Demikian kata Jiang Laotou.
Hui Jue batuk dua kali, seolah di bidang ini dia enggan membicarakan banyak hal denganku. Jiang Laotou juga diam. Aku menatap mereka berdua dengan bingung, tiba-tiba merasa dunia ini sangat rumit.
“Singkat cerita, selama berkelana dulu aku beruntung mempelajari sedikit tentang ilmu sihir Miao. Menurut aturan, seharusnya ada 9 ruang kultivasi seperti itu di makam, dan di dalamnya pasti ada seekor Hantu Ibu.” Setelah lama terdiam, Jiang Laotou mulai menjelaskan lagi padaku.
“Hantu Ibu?” Aku teringat sesuatu, tiba-tiba merasa merinding. Preta Serangga saja sudah begitu mengerikan, apalagi induknya.
“Kau tak perlu terlalu khawatir. Hantu Ibu sudah menjadi entitas yang matang, justru tidak bisa lama tinggal di dunia manusia. Dia pasti dalam keadaan dorman. Kecuali jika ada kebutuhan untuk merangsang reproduksinya dengan metode khusus. Makam ini buatan manusia, kuduga keberadaannya untuk membudidayakan Raja Preta secara artifisial.”
“Ini sudah pasti.” Hui Jue berkata dengan nada sangat serius.
"Kepalaku pusing sekali, mereka bicara tak jelas ujung pangkalnya, apalagi aku sama sekali tak paham tentang hal-hal ini," kataku. "Guruku, jelaskanlah bagaimana situasi ruang makam itu, dan apa cerita tentang guci itu? Semua yang kaukatakan tak kupahami."
"Ah, setiap mengingat kejadian ini, hatiku jadi gelisah, jadi..." Jiang Laotou yang jarang menunjukkan rasa malu kali ini tersipu, kemudian berwajah serius: "Guci itu dibuat dari tanah liat khusus yang dicampur bahan-bahan tertentu. Aku tak tahu persis bahan apa, karena menyangkut ilmu rahasia suku Miao. Intinya guci itu bisa mengurung ulat Preta sejak menetas. Dugaan ku, mungkin ulat Preta terpikat aroma tertentu dari guci itu, atau mungkin bahan tersebut bisa meredakan siksaan lapar mereka sementara. Tapi ilmu racun serangga Miao itu sangat kompleks, aku cuma bisa menduga-duga."
Hui Jue menyela: "Kau kan tak bermaksud mengajari San Wa'er ilmu racun serangga, ngapain jelaskan panjang lebar? Singkat saja!"
Jiang Laotou melirik sinis ke arah Hui Jue. Khawatir mereka bertengkar lagi, aku buru-buru bertanya: "Guruku, kenapa ada begitu banyak lubang kecil di atasnya?"
