Aku tidak tahu berapa lama waktu telah berlalu. Yang jelas, meski ketakutan, aku sampai merasa mengantuk. Bangku di bawah pantatku bahkan sudah terasa hangat. Kulihat di halaman sesekali muncul titik-titik merah yang kemudian diikuti kepulan asap. Rupanya orang-orang yang berjaga di sekeliling sudah tidak tahan dengan kebosanan ini dan mulai merokok untuk menghilangkan kantuk.
Di salah satu sudut halaman, Hui Jue si Kakek tua duduk bersila kokoh bagai gunung. Entah sedang bermeditasi atau malah tertidur, aku menduga-duga dengan niat jahat bahwa dia sedang tidur.
Sedangkan Guruku, berdiri di pintu gerbang yang terbuka sedikit, siap siaga untuk menerobos masuk dan membuka altar ritual kapan saja. Tapi mana tahu apakah si Kakek ini malah tertidur sambil bersandar di tembok? Bukankah dia memang hobi tidur siang sambil bersandar di tembok? Di Pondok Bambu tidak ada tembok, jadi dia bersandar di sudut dinding. Sekilas mirip karung tua yang tergeletak di sana.
Kutatap bulan yang sesekali muncul dari balik awan. Aku bingung, apakah aku ingin malam ini cepat berlalu atau justru mengharapkan sedikit kejutan? Tapi kalau terlalu menegangkan takut tidak kuat. Tapi kalau malam ini berlalu, bukankah besok aku harus mengalami siksaan yang sama lagi?
Mungkin angin malam terlalu dingin, aku merasa kakiku agak beku. Menghentakkan kaki beberapa kali, aku cemas melihat sekeliling. Syukurlah, kakiku tidak terbelit oleh sesuatu yang aneh!
Tapi tiba-tiba, Jiang Laotou menerobos masuk sambil menutup pintu dengan kasar. Matanya menyapu ruangan dengan tatapan serius, lalu berteriak: "Mulai!"
Aku terpana, belum sempat bereaksi, segerobak air obat beraroma khas sudah menyiramiku dari kepala sampai ujung kaki!
Lalu kulihat Jiang Laotou menyalakan tiga batang hio dengan gerakan khas, menancapkannya di tungku kecil, lalu berdiri dengan postur khusus sambil bergumam mantra.
Suara Hui Jue kemudian menggema dengan irama unik, merasuk ke dalam telinga.
Tapi aku masih linglung menghadapi semua ini. Tiba-tiba Hu Xueman berdiri sambil berteriak: "San Wa'er, kau lupa pesan gurumu?"
Baru hendak kujawab, sakit menusuk disertai dingin menggigit di paha kanan. Kulihat ke bawah – seekor ulat merah aneh melingkari kakiku! Asap tipis mengepul dari tubuhnya.
Benarkah datang? Begitu saja muncul?
Tak sempat berpikir, apalagi mengamati si ulat. Kukebaskan kursi dengan tendangan. Pisau tajam di tangan kanan langsung kusayatkan ke jari tengah kiri.
Sakit! Aku menarik napas dalam-dalam. Karena terlalu gugup, lukaku terlalu dalam. Luka dalam itu langsung mengeluarkan darah merah segar dalam jumlah besar!
Tapi aku tak punya waktu untuk memikirkannya. Ulat itu merayap dengan sangat cepat, langsung melilit pinggangku. Namun masih banyak hal yang harus kulakukan selanjutnya.
Kudengar teriakan di sekeliling: "Ulat itu terlalu gencar! Siramkan lebih banyak obat cair!"
Juga terdengar teriakan: "Tunggu 10 detik lagi! Jika San Wa'er tak tahan, langsung serbu! Jangan pedulikan aura energi formasi yang rusak!"
Ember-ember dan baskom berisi obat cair terus disiramkan ke arahku. Tapi aku tak bisa diam menunggu maut. Jika gagal menyelesaikan ini, apakah Guruku masih akan menghargaiku?
Kugenggam erat tangan kiri yang berdarah, berusaha agar darah tak tercuci oleh obat cair. Kemudian mataku melotot menatap ulat itu. Pada detik itu, dalam hati sudah kurautkan mantra untuk memusatkan pikiran, aura energi, dan tenaga dalam ke otak!
Lalu kutahan napas dan berteriak keras ke arah ulat itu: "Berani kau!"
Setelah teriakan itu, ditambah dengan efek obat cair, gerakan ulat agak terhenti. Kuambil ulat itu dengan tangan kanan, lalu kularutkan dengan sudut aneh. Ini adalah teknik khusus yang bisa mengumpulkan sebagian besar kekuatan tubuh di pergelangan tangan untuk mengunci ulat itu.
"Sensasi pertama yang terasa adalah dingin menusuk tulang, saat menggenggam tubuh cacing yang licin tak karuan. Aku merasakan kegelisahan yang semakin menjadi, seolah gelombang emosi negatif menerjangku.
"Tenang, jernihkan hati." Aku berusaha menenangkan diri, lalu membacakan mantra penenang dengan lantang. Cepat-cepat aku berjongkok, mengoleskan darah dari tangan kiri ke rune yang sudah digambar sebelumnya. Proses ini harus fokus total—meski Guruku sudah menyiapkan polanya, sekadar meniru goresannya pun jika konsentrasi buyar, Aura Energi akan kacau.
Gerakan berjongkok ini sebenarnya sangat berbahaya, tanpa sengaja memperpendek jarak antara aku dan cacing itu. Kekuatan makhluk itu seperti tenaga gaib yang luar biasa besar. Aku yakin takkan sanggup bertahan bahkan 5 detik.
Tiba-tiba terjadi hal yang lebih mengerikan: tanganku hanya bisa mencengkeram sebagian kecil tubuh cacing. Meski kuberusaha menghalanginya merayap ke wajahku, bagian yang tak tergenggam mulai menipis. Dari sudut mataku, kulihat wajah cacing yang sangat aneh—dengan dua tonjolan di kepala dan fitur wajah yang jelas—pelan-pelan mendekat, semakin kecil (karena tubuhnya menipis), semakin dekat ke hidungku.
Sulit kuungkapkan wujud wajah cacing itu. Bagaimana mungkin seekor cacing memiliki kepala dengan dua benjolan, lalu mata kecil yang memancarkan ekspresi manusiawi? Ini benar-benar pemandangan yang mengerikan.
Dan teriakan tadi menghabiskan terlalu banyak energi mentalku. Teknik teriakan Taoisme sangat rumit, efek yang dihasilkan pun berbeda-beda. Intinya butuh tenaga dalam yang kuat. Sebagai pemula sepertiku, membicarakan tenaga dalam pasti akan membuat orang tertawa terbahak-bahak!
Karena itu kepalaku terus pusing berdenyut-denyut. Tapi saat ini aku harus tetap menahan nafas, memusatkan seluruh konsentrasi pada pola jimat, tidak boleh terganggu.
Itu adalah keadaan meditasi tingkat tinggi. Bahkan di tengah lautan api neraka pun harus tetap tenang. Aku harus menjaga pikiran tetap jernih dan kosong.
Pusat Formasi ini harus menggunakan darah jari tengahku yang kaya energi Yang sebagai media. Pola jimat yang sudah digambar Guruku itu adalah pusatnya. Begitu darahku berhasil melukiskan pola jimat itu sepenuhnya, formasi akan aktif.
Tiba-tiba ada sesuatu dingin menyentuh wajahku. Kurasakan hidungku mulai gatal. Tubuh ulat di tanganku semakin mengecil, seolah merayap perlahan. Tapi aku sama sekali tak boleh kehilangan fokus.
Kurasakan dia hampir masuk jauh ke dalam hidungku, sementara pola jimat baru setengah selesai!
Di saat genting ini, suara Si Kakek Hui Jue yang terus menerus melantunkan mantra tiba-tiba menggema keras seperti genta besar di telingaku.
Ulat itu berhenti bergerak. Seluruh tubuhnya bergetar halus seolah menahan tekanan dahsyat. Tekanan itu juga sedikit menimpaku, membuat tubuhku ikut gemetar.
Tinggal sedikit lagi, tinggal seujung kuku, akhirnya!
Aku hampir menggunakan seluruh tenaga dalam tubuhku, menarik garis hingga ujung terakhir pola jimat. Saat itu, seolah-olah semburan panas muncul dari dasar hati, meledak dalam tubuhku. Aku tahu formasi ini mulai beroperasi.
Dengan suara serak, aku meneriakkan: "Jaga hati nurani tetap jernih, baru bisa teguh bagai gunung!"
Kalimat yang sering diucapkan Guruku inilah satu-satunya motivasi yang menopangku tadi. Hati nurani yang jernih, teguh tak tergoyahkan bagai gunung!!
Saat itu, suara Hui Jue yang sedang melantunkan sutra perlahan mereda. Sebuah bayangan menerjang ke arahku, langsung mencabut cacing dari hidungku. Aku sudah tak sempat merasa jijik, karena aku melihat jelas - bukankah bayangan yang menerjang itu adalah remaja 18 tahun yang terlihat sangat excited melihat guruku?
Perasaan panas di dasar hati semakin menjadi. Kutarik remaja itu untuk lari keluar formasi. Baru sekarang kusadari cacing itu telah membelitnya dengan gila-gilaan, kepalanya menjulang tinggi, sepertinya ingin masuk ke mulut remaja itu.
Remaja itu membuat gerakan segel tangan sambil bergumam, tapi itu bukan teknik segel tangan biasa, melainkan metode khusus untuk melepaskan tenaga dalam. Namun si cacing tak memberinya kesempatan, kepalanya langsung menerobos paksa masuk ke mulut remaja itu!
“Minggir, sialan!” Aku berteriak histeris sambil mencengkeram serangga itu. Belasan orang yang dibawa Hu Xueman juga bergegas mendekat, situasi menjadi sangat kacau. Kulemparkan pandangan ke Guruku, ekspresinya datar tanpa emosi, mulutnya masih komat-kamit mengucapkan mantra. Kaki menjejak berirama mengikuti mantra, sementara tangannya membentuk segel tangan aneh yang tak kukenal.
Pedang kayu persik, jimat-jimat – mataku silau oleh berbagai senjata serangan yang mengarah ke serangga itu. Ternyata mereka semua adalah para Taoist, namun kualitas tenaga dalam mereka tak kuketahui.
Bahkan ada yang menyemburkan darah ujung lidah!
Tanganku masih mencengkeram erat tubuh serangga itu. Meski kini sudah banyak tangan yang menahannya, tetap saja tak bisa sepenuhnya melumpuhkannya.
Tidak mungkin. Ini benar-benar tak masuk akal. Serangga yang hanya memakan seekor sapi, kok bisa sekuat ini?!
Suara bergema Hui Jue kembali terdengar, tapi siapa yang bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi sekarang?!
