Di tengah kekacauan ini, Hu Xueman mengeluarkan senjata sambil berteriak, "Minggir semua."
Aku terkejut melihat Hu Xueman. Apa serangga ini bisa dilawan dengan senjata? Tapi yang lain seperti sudah tahu prosedur, langsung menyingkir. Aku masih diam, sampai seseorang menarikku paksa.
"Pelurunya khusus, harganya selangit. Kayaknya Kapten Hu sudah kehilangan kesabaran," bisik seseorang di telingaku.
Aku melirik ke arah Guruku, dia sepertinya sedang mencapai momen kritis. Wajahnya memerah tidak wajar, tubuhnya gemetar halus. Kulihat lagi ke tengah formasi, cacing masih melilit tubuh anak itu. Karena orang-orang telah mundur, cacing itu kembali berusaha masuk ke mulut anak. Hu Xueman mencengkeram bagian tubuh cacing, menempelkan moncong senjata ke tubuhnya, lalu tanpa ragu menarik pelatuk.
‘Bang!’ Suara tembakan nyaring bergema di rumah kecil berpagar ini. Entah mengganggu anjing tetangga mana, tiba-tiba terdengar sahutan gonggongan anjing berantai.
Tubuh cacing langsung kaku, lalu mulai diam tak bergerak. Hu Xueman berteriak, "Berdiri saja buat apa? Ikut aku keluar!"
Anak itu merobek cacing dari tubuhnya, baru saja berdiri sudah ditarik Hu Xueman keluar dari lingkaran formasi, berdiri di posisi yang relatif aman di antara kerumunan.
Begitu berdiri, anak itu langsung meludah berkali-kali ke tanah. Siapa yang tidak jijik menghadapi hal seperti ini?
Apa cacingnya sudah ditaklukkan? Aku bingung menatap makhluk besar yang tergeletak diam di tengah halaman. Baru kusadari ukurannya sebesar lenganku, panjangnya sekitar satu meter.
"Kapten Hu, peluru jenis ini kan jumlahnya terbatas?" Seseorang di samping berbicara.
Hu Xueman berkata dengan santai: "Aku sudah melapor ke atasan, kali ini diizinkan menggunakan dua peluru, pikirkan akibatnya! Benda yang membantai desa ini! Lagipula ini pasar desa, desa berjejeran, dua peluru itu apa artinya?"
Tiba-tiba, Biksu Hui Jue berhenti membaca mantra, berdiri 'huo' dengan gesit, wajahnya sangat serius: "Apakah aku harus turun tangan sendiri?"
Orang-orang bingung, bukankah serangga sudah ditaklukkan? Tapi serangga yang tergeletak di tengah halaman mulai bergerak, tepatnya semakin mengerut hingga membentuk bola oval.
'Ding!' Suara nyaring bergema di halaman. Hu Xueman berubah pucat—itu bukan kepala peluru yang baru saja ditembakkannya?
"Sialan!" Hu Xueman memasang muka masam, mengeluarkan peluru baru dari sakunya dan bersiap mengisi senjata.
Hui Jue melangkah dua langkah ke depan, melirik guruku, lalu menghela nafas: "Sudahlah, urusan membunuh serahkan pada Lao Jiang. Jangan isi senjata, percuma. Ia akan segera bertransformasi."
Saat itu kulihat pemandangan paling mengerikan dalam sepuluh tahun terakhir—benda oval itu mengembang dengan wajah manusia yang jelas sedang menggeliat kesakitan, kulit yang membungkusnya hampir transparan.
'Pekik!' Suara berat terdengar. Kulihat tangan keriput mencuat dari kulit. Lalu 'pekik!' lagi—tangan satunya menyembul!
Preta! Preta akhirnya akan berubah wujud, aku seolah mendengar detak jantungku yang berdebar kencang, merasa seluruh jantung hampir melompat keluar tenggorokan. Larva Preta di fase awal saja sudah begitu menakutkan, apalagi yang sudah bertransformasi?
Dia adalah jenis Preta paling ganas!
Guruku, apa yang sedang Guruku lakukan? Sudah lima menit berlalu sejak awal, tapi Guruku belum juga bertindak. Beliau tidak pernah melakukan ritual sepanjang ini sebelumnya?!
Kulemparkan pandangan ke arah Guruku, kudapati beliau telah berhenti melantunkan mantra. Kaki beliau tiba-tiba dihentakkan ke tanah dengan keras, seolah seluruh halaman rumah kecil ini bergetar. Lalu kulihat pipi Guruku mengembung seperti akan muntahkan darah. Ingin kuberteriak khawatir, tapi tiba-tiba tangan dingin menggenggamku—tangan itu masih gemetar. Kuterkejut, kulihat Si Kakek telah berdiri di sampingku. Giginya gemertak sambil berkata, "San Wa'er, kepalanya sudah muncul... kepalanya sudah keluar."
Sekilas kulihat, kepala abu-abu kebiruan memang telah menembus kulit. Wajahnya persis seperti ukiran Preta di pintu gerbang Makam Hantu Kelaparan: tatapan mata garang, hidung bengkok seperti elang yang besar dan menonjol, mulut mirip celah yang terbuka sedikit, empat taring samar terlihat.
Anehnya, rambut tipis dan jarang masih menempel di sekeliling ubun-ubunnya dengan rapi.
“Apa yang kalian tunggu? Gunakan semua kemampuanmu, tunda waktu untuk Kakek Jiang.” Hui Jue berlari ke tepi formasi lingkaran kecil itu, duduk bersila. Kali ini kulihat Hui Jue mengeluarkan sebuah moktak kayu berwarna aneh, dan mulai memukulnya tepat setelah duduk.
Suaranya tidak keras, tapi menimbulkan perasaan aneh. Seolah bisa melihat gelombang suara seperti air yang merambat keluar, membuat hati setiap orang bergetar.
“Surou masuk ke rumah, tutup pintu. Kalian masing-masing lakukan mantra pembersihan hati yang diajarkan guru, lalu bantu aku.” Setelah berkata demikian, Hui Jue menutup mata dan mulai melantunkan mantra yang tidak kupahami. Setiap beberapa kalimat, moktak itu dipukul sekali, suaranya membuat seluruh jantungku bergetar seolah gunung besar menindihku.
Aku tak berani menunda lagi. Mulai membisikkan mantra pembersihan hati yang diajarkan guruku. Baru kemudian merasa pikiran menjadi jernih. Yang memalukan, kusadari orang-orang di sekitarku termasuk anak kecil itu sudah lama rileks. Lebih mengejutkan lagi, mereka semua mengeluarkan berbagai alat!
Hu Xueman memegang lonceng berteriak: “Semua keluarkan ilmu penindasan warisan guru masing-masing, stabilkan Formasi Yang Mengunci Yin!”
Lalu kulihat mereka mulai membentuk segel tangan dengan gerakan berbeda-beda, menggerakkan alat ritual, melangkahkan langkah Gang... Berbagai metode berbeda tapi sama-sama dikerahkan sepenuhnya!
Bahkan anak kecil itu pun membentuk segel tangan dengan susah payah, mencoba menggerakkan tenaga dalam.
Ini sekelompok Taoist!
Aku merasa agak frustasi menyadari betapa tidak bergunanya diriku? Aku meraba cakar harimau yang tergantung di leher, berpikir mungkin aku harus mengorbankan cakar ini dengan menyerangnya lagi?
Saat itu Preta telah keluar dari kulit tipisnya, seluruh tubuhnya basah kuyup dengan tinggi hanya 70-80 cm. Ia melirik orang-orang di sekitarnya dengan tatapan ganas, tiba-tiba mengeluarkan suara aneh yang berirama.
Hanya Tuhan yang tahu apa yang diucapkannya!
Kulihat kakinya gemetar, matanya seperti mencari-cari sesuatu. Tiba-tiba ia berlari ke arah Hui Jue yang sedang duduk bersila. Ekspresi Hui Jue tetap tenang, tangannya membentuk segel tangan anah di depan dada. Saat suara mantra yang dibacanya mengeras, Preta itu mundur terhuyung-huyung.
Kebetulan aku tak ada kerjaan, saat membuka Mata Ketiga, kulihat suara dari mulut Hui Jue berubah menjadi rangkaian karakter '' emas yang menghantam Preta berkali-kali!
Seolah menyadari sesuatu, Hu Xueman yang berdiri di sampingku terkejut memandangku, berteriak: "Mata Ketiga?! Kau bisa membukanya dengan mudah seperti ini!"
Apakah ini hal yang aneh? Teriakan Hu Xueman mengeluarkanku dari kondisi Mata Ketiga. Saat hendak berbicara, tiba-tiba terdengar teriakan: "Cepat bantu! Ia mau kabur lewat sini!"
"Hu Xueman tidak sempat berkata apa-apa, hanya bergumam 'pantas saja' lalu lari ke posisi lain. Kulihat Preta sudah meninggalkan area Kakek Hui Jue, berusaha menerobos dari sisi lain."
"Dia cuma ingin kabur!"
"Kuberkas pandang ke arah Guruku. Matanya terpejam, seluruh tubuhnya masih gemetar seolah menahan beban. Di saat yang sama, Hu Xueman mengumpat: 'Kita mana bisa menyaingi Master Hui Jue? Dia mau keluar, kita tidak sanggup tahan.'"
"Kupandang ke atas, Preta memang sedang berlari memutar ke arah itu seperti lalat tak berkepala. Kurasai usahanya yang berat! Tapi sorot matanya sama sekali tidak bimbang, malah jernih dan ganas."
"Saat tak sengaja tatapannya bertemu denganku, hampir saja aku terjatuh. Dorongan untuk mengeluarkan Taring Harimau dan bertarung hidup-matipun muncul, kakiku bergerak tak terkendali mendekati formasi."
"'Mundur!' Suara keras mengguntur di telinga. Seketika aku sadar, ternyata sudah berdiri di tepi formasi, hanya lima langkah dari Preta."
"Preta itu menatapku dengan mata berapi, deretan gigi putihnya terlihat sangat mengerikan."
"Keringat dingin mengucur deras. Setelah menoleh, kulihat Guruku sudah sadar dengan pedang kayu persik di tangannya!"
