Aku dilarang ikut serta. Menurutku ini sudah keputusan final. Sejak rapat aksi tanggal 5 malam itu, Jiang Laotou dan Hui Jue bertingkah misterius, hampir tiap hari keluar rumah, seringkali pulang larut malam.
Aku tidak tahu apa tujuan mereka pergi keluar, tapi selama beberapa hari ini ke sekolah, aku mengetahui satu hal.
Yaitu area sekitar rumpun bambu di Tempat Angker yang dulunya merupakan Area Pengumpulan Energi Yin itu dikarantina. Disebut karantina, sebenarnya ada pasukan kecil yang berjaga-jaga di sana. Katanya ditemukan makam kuno yang memiliki nilai arkeologis sangat tinggi, sehingga dilarang mendekat.
Tentu saja, ada satu hal kecil lagi, yaitu dibangun tembok rendah setinggi tiga li di sekitar makam kuno itu, hanya menyisakan pintu besi kecil.
Warga biasa tidak keberatan, toh penemuan makam bawah tanah ini wajar jika pengamanannya diperketat. Hanya saja mereka tidak tahu kondisi di balik tembok rendah itu.
Aku pernah beruntung masuk sekali, karena 'menangkap' guruku di jalan pulang sekolah dan memaksa ikut masuk.
Begitu masuk, langsung kulihat setidaknya delapan alat ritual penuh energi spiritual. Aku belum mulai belajar tentang formasi, jadi pengetahuanku terbatas. Tapi aku tahu formasi biasa hanya butuh satu alat ritual untuk mengunci pusat formasi, sementara titik-titik lainnya bisa diganti dengan kerikil hitam-putih.
Tapi formasi ini punya delapan alat ritual! Di antaranya kulihat koin tembaga guruku, dan sepotong jade.
"Guruku, ini formasi apa?" Begitu masuk, selain terkesima, rasa ingin tahuku juga muncul.
"Mirip dengan Jimat Jaring Langit dan Bumi, tapi dalam bentuk formasi! Kekuatannya bisa disesuaikan, yang kali ini termasuk level menengah." Jiang Laotou tidak pelit ilmu dalam hal-hal seperti ini. Setiap pertanyaanku selalu dijawabnya.
“Preta begitu kuat, kenapa tidak dipasang yang kelas atas?”
Baru saja aku selesai bicara, Jiang Laotou langsung memandangiku seperti melihat orang gila, disusul tamparan: "Kelas atas? Kau enak saja ngomong! Nggak ngerti apa-apa, cuma bisa ngasih pendapat sembarangan."
Aku dimarahi habis-habisan oleh Jiang Laotou, tapi sudah kebal. Sambil melirik ke sekeliling, aku berdecak kagum. Selain formasi itu, dinding juga dipenuhi jimat-jimat. Benar-benar persiapan mega.
"Jangan sembarangan sentuh jimat-jimat itu. Semuanya mematikan untuk makhluk spiritual dan energi yin. Indera spiritualmu terlalu sensitif, jimat-jimat ini bisa melukaimu. Nanti kalau indera spiritualmu rusak, jangan nangis ke aku." Jiang Laotou berjalan di belakangku sambil tangan disilangkan di punggung.
"Guruku, telur-telur preta itu ada di bawah, kenapa persiapan ini dilakukan di luar?" Aku benar-benar tidak paham. Kenapa fokusnya di luar?
"Apaan sih kau ini! Ini antisipasi. Makam ini bukan cuma ada Ibu hantu dan telur-telur itu. Kalau tiba-tiba ada makhluk lain kabur dan mengganggu warga? Saat formasi ini diaktifkan, jimat-jimat ini akan bekerja. Ini upaya meminimalisir risiko, ngerti?!"
Aku menjulurkan lidah: "Guruku, Ibu hantu dan segudang telur preta saja belum cukup serem? Masih bilang aku meremehkan."
"Jiang Laotou" menatapku sebentar, tiba-tiba berkata: "Ibu hantu dan telur cacing ini kemungkinan besar sengaja dipelihara orang dengan memanfaatkan kondisi alam. Makam ini mungkin merupakan makam dalam makam."
"Apa?" Aku terkejut, maksudnya Makam Hantu Kelaparan ini hanyalah cangkang dari makam lain? Situasi seperti apa ini?
"Telur Hantu Kelaparan sendiri memang benda berenergi Yin sangat jahat. Ibu hantu lebih spesial lagi. Untuk memelihara mereka, mana mungkin tidak mencari tempat yang dipenuhi energi jahat dan Yin menyelimuti langit?" Begitu penjelasan Jiang Laotou.
Tiba-tiba aku teringat bahwa tempat ini dulunya adalah Tanah Berkumpulnya Yin! Karena energi Yin-nya sangat kuat, bahkan menarik kedatangan ular roh.
Orang macam apa ini? Begitu besar upayanya. Apa tujuan dia memelihara Hantu Kelaparan?
Membayangkan berbagai kemungkinan ini, aku memandang Guruku dengan ngeri. Beliau hanya berkata datar: "Yang kamu pikirkan, aku dan Hui Jue sudah lama memikirkannya. Kami sudah khawatir akan hal ini sejak lama. Sekalipun tidak ada Operasi Nomor 5 ini, secara pribadi kami pun akan turun memeriksa. Waktu itu Guo Er dan kawanannya sudah kuperiksa diam-diam, Bazi mereka kuat, apalagi empat pria dewasa. Coba kalau orang lain, energi Yin jahat di dasar makam saja sudah bisa membuat orang gila. Hebat mereka bisa bertahan begitu lama."
"Guo Er dan kawanannya katanya cukup tangguh ya?" Candaku.
“Ini hanya salah satu kemungkinan saja, kondisi di bawah makam saat ini tidak jelas bagi siapa pun. Guo Er dan kawanannya tidak terlalu jauh masuk, jadi sulit dikatakan. Aku curiga ini, makanya diam-diam memeriksa Bazi mereka. Tapi... Ah, tidak jelas.” Jiang Laotou menggelengkan kepala, matanya tampak bingung.
Aku kesal dengan kebiasaannya ini, "Tapi apa? Jelaskan sampai tuntas dong!"
Setelah kudesak, Jiang Laotou hanya mengeluarkan satu kalimat: "Tapi menurut pengaturannya, tingkat keganasan energi yin jahat di bawah seharusnya tidak hanya segini. Guo Er dan kawanannya seharusnya tidak bisa bertahan."
Setelah mengobrol denganku, Jiang Laotou langsung mengusirku. Dari raut wajahnya, jelas dia tidak akan mengizinkanku ikut Operasi Nomor Lima.
Sudahlah, aku saja tidak diizinkan, apalagi Surou.
Operasi Nomor Lima bagai cakaran kucing, sesekali membuat hatiku gatal. Rasa penasaran dan antisipasiku semakin membesar setiap hari. Tapi dua hari sebelum liburan sekolah, aku sudah tidak sempat memikirkannya lagi.
Karena ujian akhir semester sudah di depan mata.
Tekanan akademikku sangat besar. Jiang Laotou mendidikku begini: "Sekarang si gadis berbakat Liu Chunyan sudah sekolah di tempat lain. Kau ini, hm... sudah tidak ada patokan pembanding. Jadi setiap ujian pertahankan peringkatmu di 10 besar tingkat."
"Guruku, apa waktu kecil kamu belajar tidak baik, lalu menggunakan aku untuk mewujudkan mimpimu? Guruku, tindakanmu ini salah, ini penyakit hati, harus diobati." Seperti kata pepatah, di mana ada penindasan di situ ada perlawanan, aku harus melawan bukan?
Tapi yang kudapatkan adalah serangkaian 18 hantaman telapak tangan, disertai teriakan: "Anak sialan! Cuma masuk 10 besar di SMP pasar desa saja sudah begini, masa depanmu akan seperti apa? Kurasa otak orang tuamu habis diberikan ke kakak sulung dan Er Jie saat melahirkan mereka, sampai melahirkan babi dungu sepertimu."
Baiklah, babi dungu. Di bawah kekuatan 18 hantaman telapak tangan, aku menyerah. Aku terima syarat harus masuk 10 besar! Dibandingkan tinju besi ayahku waktu kecil, jurus telapak tangan Kakek Jiang benar-benar lebih dahsyat.
Karena itu, ujian akhir semester ini menyita seluruh perhatianku. Aku tak sempat memikirkan Operasi Nomor Lima lagi.
Dua hari ujian berlalu cepat, berarti masa liburan musim dingin tiba. Di tengah hari-hari penuh gejolak ini, aku juga melewati ulang tahun ke-15. Sejak usia sembilan tahun, Kakek Jiang memang tak pernah merayakan ulang tahunku, aku sudah terbiasa.
Setelah ujian selesai, baru kusadari: "Dengan segudang kejadian belakangan ini, ternyata usiaku sudah melewati 15 tahun?"
"Apa ini saatnya berpisah?" Hatiku terasa sedih.
Tapi ketika teringat urusan Makam Hantu Kelaparan, aku tahu mungkin masih ada waktu beberapa lama sebelum kepergian.
Ini sedikit menghibur hatiku. Jika bisa ditunda lebih lama, mungkin aku masih bisa merayakan Tahun Baru Imlek bersama orang tua dan saudara perempuanku.
“Aku tidak tahu berapa lama persiapan yang dilakukan guruku dan yang lain, tapi malam itu aku dengar mereka sedang menunggu seseorang. Tapi sampai sekarang orang itu belum juga muncul.”
Sepanjang jalan aku terus memikirkan hal itu. Saat kembali ke pondok bambu, kupikir hari ini akan sama seperti biasa—pondok itu akan sepi tanpa kehadiran siapa pun. Tapi ternyata guruku ada di sana, sedang ‘menerkam’ semangkuk nasi di dapur, membuatku yang berencana memasak langsung kaget setengah mati.
Setelah tenang, kulihat mangkuknya. Cuma nasi kuah biasa dengan beberapa potong acar lobak. Astaga, guruku yang doyan daging ini kok bisa sampai makan seperti orang miskin begini?
“Guru, kenapa makan ini? Mau murid masakin sesuatu?” candaku sambil bersiap menyalakan api.
Sejak kecil, aku dan Jiang Laotou hampir tidak pernah berpisah. Belakangan dia sering menghilang begini, aku sebenarnya sangat merindukannya.
“Tidak perlu. Aku masih ada urusan, sebentar lagi harus turun gunung. Aku kembali untuk memberitahumu, liburan musim dingin ini aku tidak bisa menjagamu. Pulanglah ke rumah orang tuamu.” Jiang Laotou menelan suapan terakhirnya.
“Hah?” Aku bingung. Biasanya selama liburan musim panas maupun dingin, aku selalu di gunung ini. Keluargaku yang datang menjenguk. Kecuali saat Tahun Baru Imlek, aku dan Jiang Laotou akan pergi ke kota kecamatan. Ini semua agar Jiang Laotou tidak mengganggu ‘tugas harian’-ku.
Tapi tahun ini kenapa...?
