Hujan musim dingin selalu turun rintik-rintik, seluruh rumpun bambu diselimuti kabut hujan, membuat seluruh pegunungan terlihat samar-samar.
Di serambi panjang Pondok Bambu, aku dan Ling Ruyue duduk berhadapan di meja, saling menatap dengan mata besar, suasana sangat tegang.
"Terakhir kukatakan, mau makan atau tidak? Kalau tidak, aku tak akan peduli lagi." Aku hampir gila. Guruku dan yang lain berangkat pagi-pagi menuju Makam Hantu Kelaparan, meninggalkan aku dengan Ling Ruyue. Sebelum pergi Guruku berpesan harus merawatnya baik-baik, aku tak berani melanggar.
Merawat berarti memasak untuknya, mengawasinya. Tentu jika Guruku lama pergi, aku juga harus mencuci baju.
Menurutku ini cuma sebuah makam, Guruku tak akan lama pergi. Tapi tinggal bersama si nona kecil ini sungguh menyiksa. Sudah susah payah masak siang, dia cuma mencicipi sekali lalu mencemoh, tak mau makan!
Ling Ruyue menatapku: "Aku tak mau makan. Dibanding masakan Nenek, masakanmu sangat tidak enak. Masakan Nyonya Kim pun seratus kali lebih enak dari punyamu."
“Kalau tidak mau makan, terserah.” Aku malas meladeninya, dari mana datangnya nona kecil ini, sikapnya seperti anak orang kaya.
Apakah masakan ini jelek? Menurutku sudah cukup enak, ada sup ayam hutan dengan rebung musim dingin, sayur sawi, dan tumisan pucuk ercis dengan daging asap. Lagipula, ayam hutan itu sudah lama ditangkap guruku tapi tidak dimakan karena sekarang semakin sulit menangkapnya. Kalau bukan karena kedatangan nona kecil ini, guruku pagi ini tidak akan bersusah payah membersihkan ayam itu untukku supaya kubuatkan sup untuknya.
Dia masih saja mencela!
Aku makan lahap sayuran, nasi, dan minum sup dengan gegas. Sudah kuputuskan, kalau si nona kecil tidak mau makan, biarlah dia kelaparan. Lagi pula bukan aku yang tidak memberinya makan, dia sendiri yang menolak.
Selain itu, sekarang aku sama sekali tidak takut padanya. Sebelum pergi, Nenek Ling Qing sudah menyita semua barang aneh dari tubuh si nona kecil ini. Aku tidak khawatir dia akan menggunakan benda-benda aneh itu untuk menggangguku.
Melihatku makan dengan lahap, Ling Ruyue menelan ludah.
Aku pura-pura tidak melihat dan tetap tidak mempedulikannya.
Setelah beberapa saat, tiba-tiba Ling Ruyue berkata padaku: "Supnya lumayan, aku mau minum sedikit. Kak, tolong ambilkan semangkuk untukku, ya?"
"Ambil sendiri." Aku bukan 'pelayan', mau minum suruh aku yang ambilkan. Lagipula aku bukan Si Kakek Jiang, sama sekali tidak terpengaruh oleh 'bujukan manis'-nya.
"Kamu yang ambilkan!"
"Ambil sendiri!"
Lalu, kembali saling menatap dengan mata lebar.
"San Wa'er, San Wa'er..." Saat aku dan Ling Ruyue saling menatap, suara Surou terdengar dari luar rumpun bambu.
Bocah itu sudah melihatku kembali dua hari lalu, baru hari ini ingat mencariku.
Kuletakkan mangkuk nasi, berkata pada Ling Ruyue: "Aku mau menjemput temanku. Kalau mau minum sup ambil sendiri, kalau kelaparan bukan urusanku."
Tanpa menghiraukan Ling Ruyue yang memanggilku pelit di belakang, aku bergegas menjemput Surou.
Surou berdiri di luar rumpun bambu mengenakan baju baru. Melihatku turun, dia langsung berlari seperti bola daging menggelinding, memeluk bahuku: "San Wa'er, waktu liburan kamu tidak ada, bosan sekali rasanya!"
"Bukannya beberapa hari lalu aku ada di kota kabupaten? Kamu bisa main ke sana."
"Orang tuaku mengajakku silaturahmi, tidak kasih uang ke kota kabupaten. Nah, sekarang kamu kembali, aku cari alasan keluar main sama kamu."
Kami berdua mengobrol sambil berjalan menuju rumpun bambu. Saat tiba di pondok bambu, Ling Ruyue sedang menikmati sup dengan anggun.
"San Wa'er, nona kecil ini lucu sekali, tidak seperti yang kamu ceritakan." Surou langsung mendekat, melihat makanan di meja tanpa sungkan mengambil mangkuk dan duduk.
"Kakak gendut yang baik." Ling Ruyue tersenyum manis.
“San Wa'er, nona kecil ini benar-benar manis.” Surou mengunyah daging ayam hutan sambil memuji Ling Ruyue. Apa yang kubicarakan dengannya di rumpun bambu sudah dianggapnya seperti awan berlalu, benar-benar 'teman sejati'.
Aku malas menanggapi, hanya fokus makan. Hanya berharap guruku cepat kembali dan membawa pergi nona kecil ini.
“Kakak Gendut, bawa aku ke Makam Hantu Kelaparan ya.” Tiba-tiba Ling Ruyue mengeluarkan permintaan itu.
Aku tersedak hingga kuah di mulut menyembur ke wajah Surou. Surou menatapku dengan wajah polos, lalu setelah mencerna kata-kata Ling Ruyue, matanya berkilat antusias - dasar si pengacau.
“San Wa'er, apa Pak Jiang pergi ke Makam Hantu Kelaparan?” Tak peduli baju barunya, dia mengusap wajah lalu bertanya padaku.
“Kau jangan berencana macam-macam.” Aku waspada memandang Surou.
Surou diam, tapi Ling Ruyue berkata: “Di sini membosankan. Tidak ingin lihat Makam Hantu Kelaparan? Aku sudah penasaran sejak dengar cerita nenek di perjalanan.”
Surou menatapku dengan sorot mata berapi-api. Aku juga mulai gatal. Sejak kecil sudah tahu makam itu. Mustahil tak penasaran, tapi... betapa berbahayanya Makam Hantu Kelaparan, aku...
Ling Ruyue malah berkata seolah ingin memperkeruh suasana: "Kalian bilang ulat Preta itu, aku dengar dari Nenek Jin di kampung, di tempat kami disebut ulat Raja Hantu, juga termasuk jenis gu yang paling berbahaya. Tapi jarang ditemukan, hanya kepala suku dari kampung gu tertentu yang punya, ya…"
Rasa penasaranku yang memang besar tak tertahankan lagi, aku menatap Ling Ruyue: "Kamu kenal ulat Preta?"
"Tahu dong, cara menaklukkannya juga aku tahu." Ekspresi Ling Ruyue polos, tapi cara bicaranya tentang ulat Preta seperti membahas ulat biasa.
"Mereka begitu hebat, kamu bisa menaklukannya?" Surou tak percaya.
"Hebat? Masih kalah sama Hua Feifei-ku." Ling Ruyue menyeringai meremehkan.
"Hua Feifei?" Surou sama sekali tak paham apa itu Hua Feifei.
Tiba-tiba Ling Ruyue membalikkan tangannya dengan gesit, seekor laba-laba sebesar telapak tangan manusia langsung muncul di meja. Aku tak tahu bagaimana dia mengeluarkannya.
"Ini Hua Feifei, imut kan?" Penampilan Ling Ruyue yang manis dan polos sama sekali tak cocok dengan laba-laba besar ini. Aku sulit menerima pemandangan ini - dia bilang laba-laba itu imut!
Aku ini tidak takut langit maupun bumi, satu-satunya yang kutakuti adalah laba-laba. Ketika laba-laba besar itu muncul di atas meja, tubuhku langsung kaku, tidak berani bergerak sama sekali. Bukannya Nenek Ling Qing sudah menyita semua benda aneh dari tubuh Ling Ruyue? Kok masih ada laba-laba besar ini?
Wajah Surou juga pucat. Dia tidak takut laba-laba, anak desa mana yang belum pernah lihat laba-laba besar? Tapi yang ini benar-benar mengerikan, sebesar telapak tangan orang, bulu-bulu di tubuhnya terlihat jelas, apalagi corak warna-warni yang aneh itu. Aku bersumpah belum pernah lihat jenis laba-laba seperti ini.
"Apakah dia tidak lucu?" Tidak mendapat jawaban dariku dan Surou, Ling Ruyue tidak puas dan terus bertanya.
Sambil bicara, dia mengulurkan tangan kecilnya yang putih dan malah menyentuh laba-laba itu dengan lembut. Surou sampai gemetar lemak di pipinya. Meski seluruh tubuhku tegang, aku tetap mengingatkan: "Hati-hati, beracun, jangan disentuh!"
Ling Ruyue meledekku dengan membuat muka lucu dan mencibir: "Pengecut!"
Kemudian dia mengulurkan tangan, laba-laba itu malah merayap ke tangannya. Laba-laba sebesar itu, seukuran tangan pria dewasa, sementara tangannya masih kecil, tidak sampai separuhnya.
“Aku tentu tahu ini beracun, Feifei kan pemberian Nenek Jin, raja racun dari sekumpulan serangga gu. Tapi dia sangat patuh, racunnya bisa mematikan bahkan untuk hantu.”
Aku benar-benar tak tahan lagi, seorang gadis manis dan polos bagai bulan di langit, memegang laba-laba sambil bilang racunnya bisa membunuh hantu... Benar-benar...
Lagipula, hantu kan makhluk spiritual, racun apa yang bisa mempengaruhinya?
Surou akhirnya sadar kembali, bertanya dengan gemetar: "Kenapa namanya Hua Feifei? Kalau soal motifnya yang warna-warni, aku setuju. Tapi kenapa disebut Feifei?"
Ling Ruyue tersenyum bak bidadari, mengangkat laba-laba itu: "Feifei, terbangkan untuk mereka."
Tiba-tiba laba-laba itu terbang di udara dengan cara yang aneh, melesat cepat ke langit-langit koridor. Setelah merayap sebentar, Ling Ruyue mengeluarkan peluit kecil. Begitu ditiup, laba-laba itu langsung terbang ke arahku dan mendarap di bahuku.
Aku terjatuh dari kursi dengan suara 'plak', pantatku mentok di lantai.
