Perkataan saya jelas membuat Surou dan Ling Ruyue yakin. Mereka percaya ruang makam sebenarnya ada di bawah terowongan ini. Namun meski begitu, itu bukan alasan untuk turun. Bahaya telah menghilangkan semangat petualangan mereka.
“San Wa’er, meskipun benar, kita jangan turun. Sungguh, menurutku kita tak perlu mengambil risiko lagi.” Setelah berkata demikian, Surou seperti meneguhkan hatinya dan berkata padaku: “Daripada melihat harta karun, lebih baik tidak usah.”
Ling Ruyue menggigit bibir bawahnya diam-diam. Jelas dia juga takut, tapi hatinya masih ingin menjelajah dan melihat-lihat, sehingga mulai ragu-ragu.
“Apa kalian percaya padaku?” Aku bertanya dengan sungguh-sungguh.
“Kenapa nanya begitu?” Surou bingung. Selama ini dia selalu sangat percaya padaku, tak mengerti kenapa aku bertanya demikian di situasi ini.
Ling Ruyue belum lama kenal denganku, belum bisa dibilang percaya atau tidak. Tapi dia memberikan tatapan mantap. Setelah kejadian hantu penghalang, jelas gadis kecil ini mulai bergantung padaku.
“Karena saya merasa Guru saya mungkin ada di dalam makam kuno ini. Jadi saya bersikeras turun untuk mencari mereka.” Aku berkata dengan penuh keseriusan.
"Bahkan celah ini, aku yakin juga itu adalah 'karya masterpiece' Guruku dan teman-temannya."
"Lalu masih ragu apa, ayo kita turun." Surou langsung mengikuti saranku setelah mendengar perkataanku. Sejak kecil dia sering bermain di gunung, dan sudah lama tahu sebuah kepercayaan: indera spiritualku kuat, orang yang indera spiritualnya kuat biasanya firasatnya juga kuat.
Selain itu, dia sangat mempercayaiku.
Ling Ruyue juga mengangguk, berkata: "Aku percaya Kakak San."
Setelah memutuskan untuk turun, kami mulai bergerak. Yang pertama turun adalah Surou. Karena masalah berat badannya, tidak mungkin ada yang bisa menangkapnya jika dia melompat. Akhirnya diputuskan aku yang akan menariknya pelan-pelan ke bawah dulu sebelum melompat.
"Sialan Surou, kalau hari ini kamu makan satu mangkok kurang, pasti bisa ringan 1 kati ya?" Aku memaki keras. Saat ini aku sedang menarik tubuh Surou yang perlahan meluncur turun menyusuri celah, untuk mengurangi ketinggian lompatan dan menghindari cedera.
Sayangnya meski kekuatanku lumayan, tubuh Surou terlalu berat. Sebagai titik tumpu luncurannya, rasanya sangat melelahkan.
"Sudahlah, San Wa'er, lepaskan. Aku akan lompat." Akhirnya suara Surou terdengar dari bawah.
Aku menarik napas lega, melepaskan genggaman perlahan. Terdengar suara 'bruk' berat dari bawah, diikuti rengekan Surou "Aduh!"
"Surou, tidak apa-apa?" Aku menempelkan wajah ke tepi celah, berteriak khawatir. Sungguh aku mengkhawatirkan Surou, apalagi dia yang pertama turun.
“Surou” suaranya baru terdengar dari bawah setelah lama menunggu: “Tidak apa-apa, cuma jatuh dan terhantam sesuatu. Gelap sekali, cepatlah turun dan bawa lampu minyaknya juga.”
Aku menyerahkan lampu minyak ke Ling Ruyue dan berkata: “Aku akan melompat dulu. Nanti kau bawa lampu minyak dan lompat ke bawah, aku dan Surou akan menangkapmu di bawah.”
Lagipula sejak kecil aku sudah terlatih, ketinggian segini kalau hati-hati masih bisa diatasi.
Setelah berkata begitu, aku melompat turun sambil menempel di tepi. Aku tidak bisa menjaga keseimbangan dan menabrak Surou. Surou kaget dan berkata: “Turun tidak bilang-bilang, bikin kaget!”
Aku baru mau menegur Surou, tapi menyadari kegelapan di sini sangat mencekam. Hampir tidak bisa melihat tangan sendiri, hanya cahaya lampu minyak yang sangat redup dari celah di atas. Kalau Ling Ruyue mundur sedikit saja membawa lampu minyak, cahaya itu pun akan hilang.
“Kukira kau lihat aku turun, tak menyangka di sini gelap begini.” Aku berkata sambil lalu, lalu mendengar suara Ling Ruyue dari atas: “Kakak Gendut, San Gege, aku lompat ya. Tangkap aku!”
Baru saja selesai bicara, Ling Ruyue sudah melompat turun. Karena membawa lampu minyak, gerakannya sangat jelas terlihat.
“Bangsat, nona kecil ini nggak kasih waktu persiapan ya?” Surou mengumpat sambil bergegas maju.
Aku juga berpikir sama, langsung mengikuti maju.
Akhirnya Ling Ruyue jatuh terduduk di bahu kami. Karena tidak seimbang, aku harus menariknya.
“Hehe, seru banget.” Ling Ruyue tertawa gembira 'haha', Surou mengerutkan wajah berkata: "Pantatku masih sakit, kau malah menekan bahuku lagi. Kamu seru, bagaimana denganku?"
"Sudah, cepat turun." Aku berkata, lalu bersama Surou menurunkan Ling Ruyue.
Nona kecil itu baru saja menginjak tanah, langsung menjerit kencang setelah meluruskan lentera. Saat itu aku sedang mengamati langit-langit di atas kami, kebiasaanku yang suka melihat ke atas dulu.
Sedangkan Surou sedang menggosok pantatnya, mendengar teriakan Ling Ruyue dia langsung kaget, berteriak kasar: "Apaan sih, teriak-teriak apa?"
Aku malas menghiraukan mereka, hendak mengambil lentera untuk memeriksa langit-langit lebih detail. Dalam cahaya redup lentera, samar kulihat relief di langit-langit tempat ini.
Tapi tiba-tiba Surou juga mulai menjerit-jerit.
Aku mengerutkan alis kesal, berpaling dan melihat Surou dan Ling Ruyue seperti sedang menari-nari, melompat-lompat sambil menunjuk ke lantai, berteriak "sini, sana..."
Apa sih? Aku mendekat dan melihat, napasku langsung tersengal. Banyak sekali tulang manusia berserakan di lantai!
"Berhenti! Jangan teriak!" Aku membentak keras.
Akhirnya mereka diam. Memang tengkorak seperti ini sulit diterima saat pertama kali dilihat. Apalagi di sini... Kuambil lentera dan periksa dengan cermat - jumlahnya sangat banyak!
Wajah Surou sangat pucat, karena ia melihat tengkorak yang pecah. Tengkorak itu jelas hancur karena terinjaknya saat ia melompat turun, padahal tadinya ia mengira ada sesuatu yang mengganjal.
"Kenapa bisa ada begitu banyak mayat dalam satu makam? San Wa'er, menurutmu ini bagaimana?" Surou merasa dirinya terjatuh ke tumpukan jenazah.
Ling Ruyue sudah tenang setelah terkejut awal. Bagaimanapun, gadis kecil ini sehari-hari terbiasa dengan serangga beracun yang jauh lebih menyeramkan daripada tulang-tulang tak bernyawa ini.
Aku diam, karena perhatianku sepenuhnya tertarik pada simbol di dinding. Di bawah simbol itu ada lukisan dinding dan beberapa tulisan.
"San Wa'er, San Wa'er?" Surou memanggil di sampingku.
Dengan wajah muram kukatakan pada Surou: "Jika kau ingin tahu jawabannya, diamlah sebentar. Aku sedang mempelajari ini."
Simbol itu sangat kukenal, persis seperti yang ada pada giok yang kudapat di Sanchakou. Beberapa garis sederhana yang sama, menggambarkan wajah setan - ini jelas simbol yang sama.
Tapi makam ini jelas bukan Makam Hantu Kelaparan, melainkan makam dalam makam dari Makam Hantu Kelaparan. Bagaimana bisa ada simbol yang sama?
Lukisan dinding itu menunjukkan sekelompok orang yang sedang bersujud dengan khidmat, kemudian barisan orang dengan ekspresi fanatik masuk ke gerb-gerbong kereta. Tujuan kereta itu adalah sebuah pintu gerbang - pintu masuk makam.
“Di belakang pintu makam, tergambar seekor makhluk aneh yang tampak seperti ular, namun ada sedikit perbedaan karena di kepalanya terdapat tanduk tunggal dan di perutnya terdapat dua cakar.”
“Apa ini? Seperti naga tapi bukan naga, seperti ular tapi bukan ular. Apakah ini jiao? Bukan, jiao tidak seperti ini.”
“Meski begitu, maksud gambar ini masih bisa kupahami. Orang-orang itu sedang menyembah dan mempersembahkan korban. Orang-orang dengan ekspresi fanatik yang diantar ke kereta itu adalah persembahan, sementara yang memakan mereka adalah makhluk aneh itu!”
“Dan monster itu dipelihara di dalam makam ini!”
“Keringat dinginku langsung mengucur. Aku tak berpikir bertemu monster itu akan menjadi pengalaman yang menyenangkan.”
“Hampir berlari, aku menyambar ke arah lukisan dinding itu karena di bawahnya terdapat deretan karakter kecil. Karena harus banyak membaca kitab kuno, aku memiliki pemahaman dasar tentang tulisan kuno. Tapi Sichuan pada masa itu termasuk daerah terpencil, jika ini tulisan khusus, maka celaka.”
“Syukurlah, tulisan ini hanyalah aksara kuno tradisional biasa yang sangat mudah dikenali. Aku tidak kesulitan membaca dan memahaminya.”
“Namun setelah memahami isinya, hatiku justru semakin gelisah sampai aku membacanya berulang kali.”
“Surou dan Ling Ruyue akhirnya mendekat. Bagaimanapun kami masih anak-anak, di tempat yang penuh tulang manusia ini, lebih aman jika tetap bersama.”
“Nemuin apa, San Wa’er?” Surou bertanya di sampingku.
Aku mengusap keringat dingin di dahi, berkata: "Ini ditinggalkan oleh pencuri makam yang mati di sini. Katanya ini makam dukun besar suku, dia datang mencari sesuatu, tapi bertemu monster yang masih hidup, akhirnya terperangkap sampai mati."
"Apa? Monster apa yang masih hidup?" Surou tampak bingung.
Aku menunjuk monster di lukisan dinding: "Ini dia."
