Dalam kabut kesadaran, kurasakan diriku terbaring di tempat yang hangat. Meski pandangan masih gelap, hatiku merasa tenang. Kurasakan tubuhku diturunkan perlahan, bersandar di suatu tempat. Lalu sesuatu menyentuh betisku, disusul nyeri yang menusuk.
Rasa sakit itu begitu jelas, membuat keringatku langsung bercucuran. Lalu, ada sesuatu yang dingin dan berkilau dioleskan di kakiku. Baru saja aku menarik napas lega, tiba-tiba datang lagi rasa sakit yang lebih dahsyat.
"Sss..." Aku tak bisa menahan erangan. Kemudian kudengar suara familiar bergema di telingaku: "Dia akan segera sadar."
Guru, itu suara Guruku! Hatiku dipenuhi sukacita. Kucoba membuka mata tapi kelopak terasa berat, betis sakit luar biasa. Tiba-tiba seseorang membuka mulutku, menuangkan cairan dingin ke dalam. Seketika kesadaranku pulih, dan dengan susah payah akhirnya bisa membuka mata.
Penglihatanku masih buram. Terlihat beberapa siluet mengelilingiku. Lama kelamaan baru kusadari, aku bersandar pada Surou, Ling Ruyue jongkok menangis di sampingku. Sedangkan di depan berdiri Guru dan Nenek Ling Qing.
Melihatku sadar, Guru mendengus keras lalu membalikkan badan. Ribuan kata tertahan di tenggorokan, tak tahu harus bagaimana memulai. Aku tahu telah membuat masalah besar.
Tak berani bicara pada Guru, juga tak sanggup menghadapi Nenek Ling Qing yang terlihat sangat serius. Kuputar kepala ingin bertanya pada Surou, tapi gerakan ini menyentak luka di kaki. Rasa sakit tajam membuatku menarik napas dalam.
“Kamu pelan-pelan, San Wa'er, kamu nggak tahu betapa mengerikannya kakimu yang bengkak tadi.” Surou menggoyang-goyangkan kepalanya sambil berkata, tubuh dan dadanya sudah dibalut seadanya. Mungkin karena masih pusing, dia tak bisa berhenti menggeleng-gelengkan kepala.
“Racun yang menyerangmu adalah 'Hei Man'. Aku berikan racun lain sebagai penawarnya. Sekarang sudah tidak apa-apa.” Nenek Ling Qing berkata sambil melototi Ling Ruyue dengan tajam.
Ling Ruyue menundukkan kepala takut bicara. Aku melihat sekeliling, kami masih di terowongan makam, tepat di tikungan tempat aku dan Surou bertempur melawan Raja Preta. Ingin sekali bicara dengan guruku tapi tak berani, akhirnya kutanya Surou: “Raja Preta mana?”
“Mati, dibunuh Pak Jiang dan Nenek Ling.” Jawab Surou santai.
“Gimana ceritanya?” Bagaimana mungkin Raja Preta yang begitu sakti bisa dikalahkan guruku dan Nenek Ling?
“Waktu kamu digantung Raja Preta, kupikir tamatlah kita. Tapi saat kau tempelkan dua jimat di kepalanya, Raja Preta seperti kesakitan lalu melemparkanmu. Dia menjerit sambil memegangi kepala, lalu langsung menyerangmu...” Surou berkata gugup, terlihat kejadian itu masih membekas hingga sekarang.
"Aku juga bisa membayangkan betapa murkanya Raja Preta. Jika dia menerjang, pasti aku akan tercabik-cabik dan masuk ke perutnya di detik berikutnya?"
Tapi aku selamat. Aku sangat penasaran bagaimana caranya, lalu bertanya ke Surou: "Kamu yang ceritakan bagian pentingnya!"
"Bagian pentingnya adalah seekor ulat raksasa tiba-tiba terbang datang. Aku tidak tahu itu apa. Tiba-tiba langsung menyerang mata Raja Preta, menggigit matanya! Raja Preta mencoba menepisnya, tapi ulat itu menghindar dan terbang ke ubun-ubunnya. Wuih... Luar biasa! Langsung menggigit lubang berdarah di kepala Raja Preta," kata Surou dengan semangat.
Aku justru bingung. Ulat? Apakah itu bayangan aneh yang kulihat samar-samar sebelum jatuh pingsan?
Apa aku diselamatkan ulat? Atau ada makhluk aneh lain yang kebetulan lewat, lalu kebetulan membenci Raja Preta sehingga mereka bertarung?
Apakah di dunia ini ada kebetulan seperti itu?
"Hmph, ulat? Karena ulah kalian, Ling Qing terpaksa menggunakan Benming Gu (ulat nasib) sebelum waktunya! Jika dia tidak mengirim Benming Gu lebih awal, kau sudah mati terkubur!" Guruku akhirnya menoleh ke arahku dan berkata dengan sangat marah.
"Aku berjuang untuk berdiri, tapi mendapati seluruh tubuhku tak bertenaga. Surou awalnya ingin menahanku, tapi aku bersikeras untuk bangkit. Akhirnya Surou terpaksa menyangga tubuhku. Setelah susah payah berdiri tegak, aku membungkuk hormat dengan sungguh-sungguh pada Guruku sambil berkata: 'Guru, aku salah!'"
"Saat berdiri, kepalaku langsung pusing berkunang-kunang. Baru kusadari kepalaku dibungkus rapat-rapat, kaki juga sudah diperban."
"Sudahlah." Guruku tak tahan menyangga tubuhku, lalu menyuruhku duduk. "Sejak umurmu 15, kau harus menghadapi batas usia 16. Anak suci yang menghadapi angka 3,6,9 memang selalu berat. Takdirmu jatuh pada angka 6 dan 9. Saat melewati 6 dulu lancar, tapi takdir buruk itu menimpa Er Jie-mu. Saat melewati 9, jasa kebajikan yang kubrikan jadi penebus. Tapi kau tak bisa selamanya digandeng orang. Ini juga bagian dari takdirmu."
"Sialan, kalau dipikir aku juga termasuk anak suci dong!" Surou berkomentar di samping.
Guruku melotot: "Apaan sih anak suci! Dia kena takdir, kau yang nempel terus, ya wajar kau ketularan sial. Anak suci segede ini, bisa-bisa kuil Tao habis dimakanmu!"
Surou menunduk bergumam lirih: "Pak Jiang mendiskriminasi orang gemuk..."
Nenek Ling Qing menyela: "Cukup. Ayo segera ke tempat Hui Jue. Masih banyak urusan. Tiga anak ini sudah sampai sini, mustahil ditinggal. Bawa mereka bersama."
Guruku mendengus seakan menyetujui, lalu menghampiri dan hendak menggendongku. Hatiku terasa hangat, rupanya meski marah, Guruku tetap mau menggendongku. "Tadi aku merasa tenang berbaring, ternyata karena digendong Guru."
"Guru, apakah Raja Preta sudah mati? Bolehkah aku melihat?" Aku masih penasaran dengan Raja Preta. Surou bilang makhluk itu mati, tapi aku ingin memastikan sendiri.
"Kau masih memikirkan Raja Preta itu! Kau tak sadar telah mengacaukan rencana kami. Mana mungkin dia mudah mati? Cuma tertahan sementara. Kalau mau lihat, silakan!" Sambil berbicara, Guruku mulai menggendongku menuju lorong makam.
Aku melotot tajam ke Surou, maksudku jelas: "Berani kau menipuku?"
Surou tak tahan berseru: "Sudah separah itu, Raja Preta belum mati? Ini benar-benar tak adil!"
Guruku dan Nenek Ling Qing serentak menggeleng. Nenek Ling Qing menggandeng Ling Ruyue: "Kau kira Raja Preta sayur kol? Itu makhluk unik hasil ribuan telur serangga. Kalau semudah itu diatasi, kami tak perlu berhati-hati begini."
Saat kami berbicara, Guruku sudah menggendongku sampai ke lorong makam. Sekilas kulihat tubuh raksasa Raja Preta terbaring dengan luka-luka menganga, mengucurkan darah hijau pekat.
"Keadaannya benar-benar mengenaskan, pantas saja Surou bilang Raja Preta sudah seperti itu tapi masih belum mati!"
Tapi saat kulihat lebih seksama, aku tidak tenang lagi. Kulihat cakar harimau-ku menancap di dahi Raja Preta. Aku berteriak, "Guruku, kenapa cakar harimauku ada di situ?"
"Kalau kau mau Raja Preta ini langsung segar bugar, silakan cabut cakar itu." Guruku berkata dingin. Aku hanya mengernyit.
Sebenarnya sejak masuk ke makam, cakar harimau ini sudah kulepas dan kugenggam. Tapi kemudian teringat kata Guruku saat membasmi cacing preta dulu, bahwa cakar ini terbuang percuma dan butuh 6-7 tahun latihan, akhirnya kukenakan lagi dengan hati-hati.
Cakar harimau ini sudah menemani sejak kecil, bahkan pernah menyelamatkan nyawaku. Aku sangat terikat dan menjaganya baik-baik. Meski saat melawan Raja Preta pun, tak kugunakan karena takut rusak. Tapi nyatanya Guruku...
Seolah membaca pikiranku, Guruku menjelaskan, "Cakar ini adalah alat ritual Pusat Formasi terbaik, karena mengurung roh harimau buas di dalamnya. Dengan ini, aku sementara menahan Raja Preta. Masalah sebenarnya ada di belakang, belum sempat kuhadapi sekarang."
Kuperhatikan benar, di keempat anggota tubuh Raja Preta tertempel jimat biru. Di bagian dada terpasang papan kayu persik, dengan banyak simbol mantra di sekujur tubuhnya.
"Ternyata Guruku menggunakan tubuh Raja Preta ini sebagai medan, mengatur formasi untuk menekannya."
Saat ini, 'itu' menutup kedua matanya, terbaring di sini seperti mayat, mana lagi kegagahannya tadi?
"Guruku, bagaimana kau bisa mengalahkannya?" tanyaku penasaran. Bukankah Raja Preta bukan orang bodoh yang bisa dibiarkan Guruku memainkan ini di tubuhnya?
Guruku mendengus tanpa bicara, tapi Nenek Ling Qing berkata: "Bicarakan di perjalanan. Hui Jue dan rombongan masih menunggu kita. Masih banyak makhluk berbahaya di makam ini, selain Ibu Hantu, mungkin juga ada si..."
