Sebenarnya aku adalah orang yang kulit wajahnya tipis, dan sejak kecil Guruku selalu mengajarkan bahwa segala sesuatu memiliki karma, jangan mengambil barang orang secara gratis, setiap keuntungan pasti memerlukan pengorbanan. Jadi saat Guruku berkata seperti itu, wajahku memerah karena malu.
Tapi aku selalu patuh pada perkataan Guruku. Entah ada keuntungan atau tidak, memanggil paman seperguruan tetaplah kewajiban. Dengan penuh hormat aku membungkuk kepada Paman Liren dan memanggil dengan tulus: "Paman Chen."
Paman Liren tertawa bahagia beberapa kali, lalu mengeluarkan botol keramik dari sakunya: "Sudah kusiapkan dari tadi, terimalah. Bukan barang ajaib kok, cuma pil penambah darah biasa."
Mana berani aku membiarkan Paman Liren menyerahkan langsung. Cepat-cepat kuhampiri dan kuterima dengan kedua tangan. Baru mau kumasukkan ke saku, Guruku langsung merebut botol itu. Dibukanya botol, dikeluarkannya pil berwarna kuning cerah yang menyenangkan, memberi kesan hangat. Guruku mengendus-endus di hidungnya: "Lumayan tidak pelit. Aroma ginsengnya asli, mungkin sudah berumur seratus tahun. Ditambah obat lain untuk menetralkan sifat keras ginseng. Hehe..."
Setelah itu Guruku mengembalikan pil ke botol, lalu menyodorkannya padaku sambil berkata: "Aku tidak akan berkomentar banyak, toh kamu ahlinya. Tapi ingat, jika pil ini tidak kamu berikan mantra pengobatan spiritual, aku tidak akan mengakuinya."
Paman Liren seperguruan tersenyum pahit: "Barang yang kuberikan untuk keponakan seperguruan, mana berani tidak serius. Ingat, akar ginseng sifatnya keras. Saat diminum, sebaiknya setengah pil, campur dengan air. Bisa pakai kuah kaldu juga, utamakan rasa ringan. Jangan ditambah bahan tonik lain. Jangan sampai dipakai untuk merebus ayam, kalau kelebihan tonifikasi malah tidak baik."
"Mengerti." Guruku tersenyum tipis, seolah menggerutu atas keketiran Paman Liren.
Setelah menyapa Paman Liren, aku dengan sama hormatnya menyapa Paman Lipu seperguruan, memanggil dengan tulus: "Paman Wang."
Tak disangka, baru saja selesai bicara, Paman Wang langsung geleng-geleng tangan: "Sudahlah, aku tidak punya hadiah untukmu."
"Memang semakin kaya orang, semakin pelit." Guruku mendengus tidak puas dari hidung.
Paman Wang kembali membuat ekspresi 'menderita': "Mana berani aku pelit? Hadiah harus berupa benda? Ilmu fengshuiku terlalu rumit, tapi aku akan ajari keponakan ini membuat formasi feng shui. Yang rumit tidak berani jamin, tapi yang sederhana dan efektif pasti kuajarkan. Nanti dia berkeliaran di dunia persilatan, tidak perlu khawatir kelaparan. Mengajari orang memancing lebih baik daripada memberi ikan. Pamanmu ini sudah cukup dermawan."
"Baiklah, kau lolos kali ini. Kalian kan tahu, orang Aliran 'Gunung' menderita - ah." Guruku memanjangkan suaranya. Beberapa paman seperguruan serentak batuk-batuk kecil.
"Daripada begitu, bagaimana kalau kamu yang mewarisi cabang ramal dan takdir ini, sementara aku mewarisi aliran gunung? Kamu bilang menderita, lihat rambutku ini, mau gantian?" Baru saja Guruku selesai bicara, Paman Li tiba-tiba menyambung dengan kalimat yang membuat dua paman seperguruan lainnya batuk-batuk.
Sebenarnya aku juga ingin ikut batuk. Sudah lama kuperhatikan, meski penampilan Paman Li seperti Guruku tidak terlihat tua, rambutnya sudah sepenuhnya putih tanpa sehelai hitam pun.
Guruku pura-pura tak mendengar, melanjutkan perkataannya padaku: "Cheng Yi, para paman sudah dipanggil. Para adik seperguruan juga perlu saling berkenalan."
Usai bicara, ia memalingkan kepala ke Paman Li: "Generasi kita sudah kacau, jangan sampai anak-anak muda ini merusak aturan Guru."
Paman Li mendengus dengan wajah tidak puas, tapi akhirnya tidak membantah: "Baiklah, saling berkenalan juga bagus. Cheng Qing, mulailah darimu."
Pemuda yang selama ini berdiri di belakang Paman Li akhirnya maju. Setelah memberi salam hormat pada para paman, ia berkata: "Mu Chengqing. Karakter 'Qing' diambil dari makna 'jernih hati, jernih mata, melihat karma dengan jelas'. Mengikuti Guru sejak usia 4 tahun, kini sudah 20 tahun."
Setelah selesai bicara, Mu Chengqing mundur kembali. Ucapannya sangat sederhana, namun aku harus mengatakan bahwa Paman Li memberi kesan berwibawa, sedangkan Mu Chengqing justru terlihat sangat kalem dan intelek. Alisnya rapi, matanya jernih, bibir merah dengan gigi putih. Jika mengenakan jubah panjang, mungkin akan terlihat seperti cendekiawan tampan zaman kuno.
Namun ada satu kekurangan yang mengganggu. Rambut Mu Chengqing agak panjang, hampir mencapai bahu, terurai alami. Tapi rambutnya sudah mulai memutih di usia 24 tahun. Di antara helai hitamnya, terlihat gumpalan-gumpalan kecil uban yang membuatnya tampak lebih tua.
Mengapa ahli cabang ramal dan takdir selalu seperti ini? Ada masalah dengan rambut mereka?
"Cheng Yi, kau yang perkenalkan." Guruku berkata dengan suara berat seolah sedang kesal. Aku tak tahu sumber amarahnya, tapi merasa ada keanehan. Di sini permukaannya terlihat rukun, tapi keanehan itu ada pada sebutan-sebutan.
Guruku dan Paman Li sama-sama memanggil dua orang lain sebagai adik seperguruan, tapi saling memanggil nama asli. Ini membuat kami generasi muda tidak bisa memanggil mereka Paman ke-sekian, harus menyertakan nama.
Antara Guruku dan Paman Li, selalu terasa ada ketegangan tersembunyi. Sedangkan dua paman seperguruan lainnya justru terlihat menghindar dan seperti pasrah.
"Ingin tahu sih, tapi hal-hal seperti ini bukan urusan kami para junior untuk ditanyakan dalam forum seperti ini." Aku maju ke depan dan berkata, "Chen Cheng Yi, karakter 'Yi' diambil dari makna 'sepenuh hati menerima Jalan Suci' dan 'bertekad mencari Tao'. Mulai belajar di bawah Guruku sejak usia 6 tahun, kini sudah 15 tahun."
"Cheng Yi, nama yang bagus. Memang pantas untuk Aliran 'Gunung'. Bukankah penerus Jalan Suci pada akhirnya adalah kalian?" komentar Paman Li.
Guruku diam saja, sibuk menuangkan teh lagi untuk dirinya sendiri sambil bergumam, "Da Hong Pao premium. Katanya bisa diseduh sembilan kali masih beraroma. Jangan sampai mubazir. Aku harus minum sembilan kali."
'Pfft' suara tertahan terdengar. Seorang pemuda di belakang Paman Wang tak bisa menahan tawa. Baru kusadari dengan keringat dingin - ini bukan adik seperguruan laki-laki, tapi perempuan!
Melihat adik seperguruan perempuan itu tertawa, Paman Wang segera menegur, "Muridku, kenapa kau tertawa? Kakek Jiang benar. Harus diminum sembilan kali. Barang bagus jangan disia-siakan."
Semua orang terdiam!
Mungkin Paman Chen merasa malu. Dua senjata tua ini benar-benar tak tahu malu. Di depan semua junior, malu sekali. Dia berkata, "Cheng Xin, kenapa belum memperkenalkan diri?"
Kemudian, seorang pria yang terlihat sangat tampan keluar. Dalam hati aku menghela napas, inilah yang disebut lembut dan halus seperti giok. Adik seperguruanku ini benar-benar personifikasinya. Cheng Qing memiliki aura intelektual dengan alis yang indah, namun karakternya lebih condong ke scholar yang dingin. Sedangkan Cheng Xin, jika dilihat bagian wajahnya satu per satu mungkin tidak terlalu mencolok, tapi saat digabungkan tercipta kesan kelembutan yang mengalir – seperti giok indah yang berdiri di hadapanmu, baik dari segi temperamen maupun penampilan. Pasti sangat disukai perempuan, pikirku agak kecut.
Memikirkan ini, hatiku tak tahan lagi mengutuk Paman Wang. Kenapa nasibku harus selalu menginginkan tapi tak mendapat, mendapat tapi tak lancar?
"Su Cheng Xin. Karakter 'Xin' (hati) diambil dari makna 'hati welas asih tabib'. Guru bernama Ren (welas asih), aku bernama Xin (hati), mengandung makna pewarisan yang berkesinambungan. Sejak usia 7 tahun mengikuti guru, mulai dari membedakan obat-obatan, kini sudah 14 tahun." Setelah berkata demikian, Su Cheng Xin tersenyum lagi, senyuman yang terasa seperti angin semi menyapu relung hati.
Aku merasa gerahamku asam. Dalam hati bergumam: "Gaya-gayaan sok menawan."
"Sudah, sudah. Kalian ini tidak tahu mengalah ke satu-satunya perempuan. Muridku yang baik, kita telan saja emosi ini. Lagipula sekarang wanita bisa menopang separuh langit." Paman Wang langsung mengeluarkan kata-kata sarkas. Mungkin hanya dengan guruku dia bisa seimbang dalam bertarung kata. Oh iya, ada satu lagi yang ku lupa – Biksu Hui Jue itu.
Bagaimana efeknya kalau ketiganya berdebat? Tiba-tiba aku ingin tertawa.
Lalu, saat aku masih menahan tawa, Guru Wang kembali berbicara kepada adik seperguruan yang sudah berdiri di tengah aula.
"Murid kesayangan, perkenalkan diri dengan lantaran! Kau cantik begini, untung mereka bisa melihat. Tapi jangan biarkan mereka pamer. Suaramu harus mengalahkan mereka!" Usai bicara, ia menggelengkan kepala sendiri: "Membaca wajah itu susah. Orang jelek seperti kotoran babi pun harus kau perhatikan baik-baik, tak boleh muntah. Makanya cari murid cantik buat hiburan mata."
Seketika riuh suara batuk bergema di aula. Hanya guruku yang tetap tenang, menimpali: "Benar! Aku juga menyesal kenapa dulu terima Cheng Yi si bocah nakal ini. Alhasil sekarang cuma bisa ngubek jalanan cari cewek cantik."
'Braak!' Paman Chen menyemburkan teh dari mulutnya. Paman Li wajahnya menghitam sambil mendengus: "Tak pantas!"
"Guruuu..." Adik seperguruanku yang manja di tengah aula sudah merah padam mukanya. Mana ada guru yang memuji diri sendiri seperti pedagang melon tua ini?
"Ngapain manggil? Duit tak ada. Perkenalkan diri saja." Guru Wang menyembunyikan lehernya, berlagak menderita dan mesum.
"Ji Chengzhen. Huruf 'Zhen' diambil dari makna 'membuang kepalsuan untuk mempertahankan kebenaran', melihat esensi sejati. Mulai usia 9 tahun mengikuti guru, ehm... mengembara di dunia persilatan sebagai dukun gadungan. Sudah 12 tahun sekarang." Adik Chengzhen bersuara jernih.
“Siapa dukun gadungan? Nona kecil ini malah merusak reputasi sendiri? Kami ini master, master!” Paman Wang tak puas, kali ini bahkan Guruku menahan tawa.
Saudari Chengzhen menjulurkan lidah nakal lalu kembali berdiri. Gadis ini memang cantik, tapi bukan kelemahan yang rapuh, melainkan punya aura gagah perkasa yang sangat menarik.
Aku teringat Ling Ruyue si nona kecil itu. Dia punya pesona unik yang lincah. Entah sekarang sudah dewasa, apakah akan semakin cantik? Bagaimana dibandingkan dengan Saudari Chengzhen?
Setelah perkenalan, Guruku tiba-tiba berkata: “Bagus, mulai sekarang Cheng Yi jadi kakak seperguruan. Kau harus menjaga adik-adik seperguruan ini.”
Paman Li menatap Guruku, berujar; “Aturan master tak boleh dilanggar. Tapi jika hal serupa terulang, posisi kakak seperguruan ini harus diganti.”
Suasana mendadak tegang.
