Warga desa yang mendengar ini mulai diliputi keraguan. Baik itu proses menjelma naga sungai maupun Dewa Sungai yang marah, keduanya pertanda buruk. Hati semua orang seperti menggantung.
Orang tua itu setelah bersujud, berbalik pergi dengan wajah penuh kesedihan.
Kepergiannya membuat banyak orang di tepi sungai ragu-ragu. Beberapa malah ikut pergi meninggalkan lokasi. Ini bukan berarti mereka tidak bermoral - menghadapi krisis hidup-mati, siapa yang bisa tetap tenang?
Hanya segelintir orang yang tetap di tepi sungai. Mereka adalah keluarga dekat penumpang kapal. Ikatan darah membuat mereka tak bisa pergi meninggalkan sanak saudara.
Situasinya agak buruk, tapi belum sampai titik putus asa. Setidaknya sekarang angin mulai mereda, hujan berkurang, bahkan petir tak lagi menyambar. Ini berarti jika mendayung lebih cepat, perahu bisa sampai ke tepian tepat waktu.
Orang di tepian mengerti hal ini, begitu juga orang di perahu. Semua mendayung sekuat tenaga ke arah darat. Saat ini, setiap detik adalah kesempatan untuk menyelamatkan diri sendiri.
Bupati tua juga berusaha keras mendayung perahunya. Tapi berbeda dengan yang lain yang saling mendahului, dia masih memperhatikan keadaan orang lain. Jika ada yang tertinggal, dia akan mendorong dengan dayungnya. Bukan karena dia hebat, hanya satu pemikiran: jangan sampai ada yang tewas di depan matanya.
Tapi persis di saat ini, bupati tua merasakan keanehan. Kaki terasa dingin menusuk. Saat menunduk, dia menemukan sesuatu yang membuat bulu kuduknya merinding: perahunya bocor parah. Kenaikan air hampir terlihat jelas dengan mata telanjang, melonjak cepat.
Dengan kecepatan seperti ini, jangankan sampai ke tepian, bisa bertahan satu menit tanpa terbalik saja sudah harus bersyukur pada Dewata.
Bupati tua menengadah putus asa, berteriak ke perahu terdekat: "Perahuku bocor! Tolong bantu aku!"
Tak ada jawaban. Perahu itu terus melaju. Meski angin mereda, tiupan masih kuat. Dayungan terasa sangat berat. Ombak besar semakin mendekat...
Bupati Tua memandang sosok di depan dengan rasa tidak percaya. Orang itu adalah warga desa yang sangat dikenalnya, hubungan mereka cukup baik, bahkan dia pernah menolong orang tersebut.
Bupati Tua yang lugu berpikir mungkin orang itu tidak sadar sedang dipanggil, lalu berteriak lebih keras: "Li Yuan, perahu saya bocor, tolong bantu saya!"
Masih tidak ada respons. Orang itu bahkan tidak menoleh sedikitpun.
Bupati Tua menelan air liur, sorot matanya menyiratkan kesedihan. Air di perahunya sudah mencapai lutut, badan perahu mulai miring. Dari 10 lebih perahu yang berlayar, dia termasuk yang terdepan karena semasa muda dia ahli memancing.
Setelah mengumpulkan emosi, Bupati Tua melihat perahu lain di belakang hampir menyusul. Dengan suara parau dia berteriak: "Bangzi, perahu saya bocor, tolong bantu saya."
Bangzi yang biasanya jujur dan baik hati, seharusnya mau menolongnya?
Tapi Bangzi hanya menghentikan dayungan sejenak, lalu melanjutkan mendayung ke tepi dengan cepat. Saat perahu mereka bersimpangan, matanya bahkan tidak menoleh.
Ada apa dengan semua ini? Kesedihan di mata Bupati Tua semakin pekat!
Dia tahu, saat ini tak ada yang mau berhenti karena semua ingin hidup, termasuk dirinya sendiri.
Lagipula, meski kematian mungkin tak berarti, tapi siapa yang mau mati menghadapi keberadaan mengerikan yang tidak diketahui ini?
Bupati tua berusaha memahami semua orang, lalu dia melihat beberapa perahu melintas di sekitarnya. Dia berteriak memanggil beberapa orang lagi, namun kenyataannya sangat memilukan—tak seorang pun menghiraukannya. Perahunya hampir terbalik, sebenarnya bahkan tanpa teriakannya, orang yang berpengalaman pasti bisa melihatnya, tapi...
Akhirnya kilasan kemarahan muncul di mata bupati tua. Tapi situasi tidak memungkinkan dia untuk menunda lagi, karena saat perahu terbalik akan muncul daya hisap yang kuat di air—alias pusaran air. Nanti bahkan jika monster tak dikenal itu tidak datang, dia akan terseret pusaran ke kedalaman sungai dan tewas.
Saat ini, tak ada waktu untuk marah atau bingung. Bupati tua juga orang yang tegas. Dia meninggalkan perahu dan melompat ke air, berenang sekuat tenaga menjauhi perahu kecil yang akan tenggelam. Tapi ke mana harus berenang? Ke tepian...?
Bupati tua menoleh melihat ombak besar di belakang—tinggal kurang satu kilometer lagi. Jika hanya mengandalkan berenang biasa, mustahil baginya mencapai tepian.
"Aku harus menyelamatkan diri sendiri!" Bupati tua mengeratkan gigi. Melihat sebuah perahu mendayung mendekat, dia berenang ke arah itu. Tiba-tiba dia menyadari kebenaran: di hadapan maut, semua orang egois. Berteriak pun percuma.
Kemampuan berenang bupati tua cukup baik. Dengan cepat dia mencapai sisi perahu itu dan memegang tepinya. "Jika kalian tidak mau berhenti membuang waktu, biar aku sendiri yang naik perahu ini, bagaimana?"
Perahu ini asalnya memang jenis yang sangat kecil, sempit dan ramping. Begitu bupati menarik tepi perahu, perahu pun miring tak terhindarkan. Orang di atas perahu itu tak tahan melirik tajam ke arah bupati. Sekarang siapa yang masih mau ikut campur?
Bupati tiba-tiba merasa bersalah tanpa alasan, bergumam menjelaskan: "Perahuku terbalik, aku..."
Namun, kejadian di luar dugaan bupati pun terjadi. Orang itu malah mengangkat dayung setinggi-tingginya dan menghantamkan keras ke tangan bupati yang sedang memegang tepi perahu.
Sorot mata bupati tiba-tiba dipenuhi keputusasaan, hatinya sakit. Saking perihnya, rasa sakit di tangannya pun terabaikan! Tiba-tiba dia merasa orang di perahu itu sangat asing. Bukankah ini warga desa yang selalu diperhatikannya, dibantu dengan tulus?
Ataukah ini Warga Desa yang dulu manis dan akrab itu?
Dia mencengkeram tepi perahu dengan erat, tak mau melepaskannya.
"Bupati, maafkanlah aku. Kau tahu kalau perahu ini muat dua orang, kecepatannya... Jangan tarik aku untuk mati bersama!" Setelah berkata demikian, dayung orang itu kembali menghantam keras.
Rasa sakit yang menusuk tulang akhirnya membuat bupati melepaskan genggamannya. Dia tak sanggup lagi bertahan!
Tapi dia belum sepenuhnya putus asa. Dia tidak percaya, tidak percaya warga desanya akan seperti ini. Dengan pandangan dalam dia memandang punggung orang yang menjauh tanpa ampun itu, nekad berenang menuju perahu berikutnya...
Tidak sampai dua menit, mungkin hanya satu menit, Pak Bupati Tua mendapatkan jawaban. Jawabannya adalah kedua tangannya yang sudah berlumuran darah dan terpelintir bentuknya. Orang-orang itu terlalu kejam, bahkan tangannya dipukul sampai patah!
Ia melirik ke tepi pantai. Beberapa orang sudah bersemangat menyambut keluarga mereka, lalu tanpa melihat situasi di sini sama sekali, menarik tangan keluarga mereka dan langsung lari.
Sepertinya tepi pantai sangat ramai, tapi ia tak mendengar satu pun orang yang berseru untuknya, membela keadilannya. Di desa, ternyata ia hanya seorang kakek tua tanpa istri maupun anak! Di saat seperti ini, siapa yang akan mengkhawatirkannya?
Tapi mungkin masih ada harapan terakhir? Pak Bupati Tua melihat perahu keponakannya mendayung ke arah sini. Keponakannya itu seorang pemuda yang belum mahir mengoperasikan perahu kecil, jadi yang paling lambat.
Pak Bupati Tua menyiapkan mental, menahan sakit di kedua tangannya, dan berusaha berenang ke perahu keponakannya. Saat ini, ia sudah memutuskan untuk tidak jadi bupati lagi. Jika keponakannya menyelamatkannya, ia akan hanya baik pada keponakannya saja ke depannya.
Kan keluarga sendiri, seharusnya percaya pada kekuatan ikatan darah?
Pak Bupati Tua sampai di sisi perahu keponakannya. Tangannya yang sudah lemah tak mampu menggenggam tepi perahu. Ia memandang keponakannya dengan tatapan memohon, berharap ditarik naik.
Tapi mata keponakan itu menyiratkan kesedihan. Dengan suara lirih ia berkata: "Paman Tua... Aku masih muda..."
Dia tidak menggunakan dayung untuk memukul Si Kakek Bupati, hanya mendorongnya dengan dayung karena sudah tidak perlu meremukkan kedua tangan tua itu - tangan yang sudah tak ubahnya gumpalan daging busuk.
Memandang punggung keponakan yang menjauh, hati Si Kakek Bupati membeku menjadi sebongkah es. Tiba-tiba dia meledak, berteriak ke arah tepian: "Tolong aku! Tolong! Kita sesama warga desa!"
Tak seorang pun turun ke air, tak satu pun!
Saat itu, riak ombak telah menggulung datang. Seorang di perahu tak kuasa menoleh, menyaksikan tubuh Si Kakek Bupati yang perlahan tenggelam dan tatapan mata yang akan melekat di ingatannya seumur hidup!
Keputusasaan yang menggores tulang, serta kebencian yang membuat langit pun gentar!
Selanjutnya, mimpi buruk akan segera dimulai di desa ini!
※※※
Sepuluh hari telah berlalu. Tak ada yang mengusulkan menguburkan jenazah Si Kakek Bupati, bahkan menyebut namanya pun dihindari. Saat anak kecil bertanya, orang dewasa segera mengalihkan pembicaraan karena kenangan ini terlalu memalukan.
Manusia memiliki psikologi burung unta - ketika menghadapi hal yang sulit diterima, terutama tentang diri sendiri, secara insting akan memilih lari.
Namun sampai suatu hari, orang-orang sadar tak bisa lagi lari. Sebab seseorang menemukan sepasang sepatu di tepi sungai.
