Desa ini pernah dikunjungi Guruku sebelumnya, jadi dia masih hapal jalan masuknya. Tapi sebelum masuk, dia melepas kain hitam yang menutupi mata dan telinga Ma Le dan Ma Xiao, lalu mengambil air jernih dari tasnya. Dengan kain yang dibasahi air itu, dia membersihkan simbol Vermilion di wajah dan tubuh mereka.
Setelah sekitar setengah menit, kedua bersaudara ini membuka mata mereka dengan kondisi masih linglung. Guruku berkata: "Jangan bicara dulu, minumlah air dan istirahat sebentar."
Kedua bersaudara itu menuruti perintah. Sekitar lima menit kemudian, Ma Le akhirnya berbicara: "Master Jiang, ini luar biasa. Aku merasa seperti tertidur lalu tiba-tiba sudah sampai di sini. Saat bangun semuanya terasa seperti mimpi, pandangan kabur dan kepala masih pusing."
"Ini tindakan darurat. Menutup lima indera sangat membahayakan tubuh, tapi lebih baik daripada kalian mengalami trauma." Guruku menjelaskan dengan penuh tanggung jawab.
Ma Xiao segera menambahkan: "Tidak apa, Master Jiang. Lebih baik ditutup. Aku lebih memilih ini daripada harus melihat hal-hal yang tidak seharusnya kulihat."
"Hal-hal yang tidak seharusnya dilihat?" Guruku melirik ke arah desa yang sudah di depan mata, lalu berkata: "Sepertinya kita tidak bisa menghindarinya."
※※※
Aku terkadang benar-benar mengagumi ingatan Guruku. Meskipun kejadian di desa ini sudah puluhan tahun lalu, beliau masih hafal betul jalannya, membawa kami masuk ke desa itu dengan sangat familiar.
Berbeda dengan desa lain, desa ini tidak diselimuti kabut putih seperti yang kami bayangkan. Semua pemandangan terlihat sangat jelas, tapi terasa tidak nyata.
Mengapa dikatakan tidak nyata? Pertama, meski musim panas dengan langit cerah, langit di desa ini terlihat suram. Bukan mendung yang akan hujan, tapi kesuraman yang menekan. Matahari tak terlihat, seolah ada yang menutupi desa ini seperti tudung.
Kedua, saat berjalan di pinggiran desa, semuanya terlihat seperti dilapisi kain kuning. Aku lama memperhatikan, mencoba mencari kata untuk menggambarkan perasaan ini. Baru ketika Ma Le dan Ma Xiao (saudara Ma) memasang alat survei seperti kamera, aku mendapat ilham. Ya! Melihat desa ini seperti melihat foto lama yang rusak.
Tanpa perlu penjelasan lain, dua hal ini saja sudah membuat seluruh desa terlihat sangat tidak nyata.
Ma Le dan Ma Xiao sibuk melakukan survei di desa. Mereka mengukur sesuatu sambil mencatat dan menggambar. Sebagai profesional, mereka tidak hanya membuat peta topografi biasa, tapi peta yang memenuhi standar militer.
Ini adalah kebiasaan para agen khusus.
Melihat mereka sibuk bekerja, Gao Ning berkata pada guruku: "Pak Jiang, hari ini kita akan masuk ke desa?" Ekspresi Gao Ning menunjukkan keengganan untuk masuk.
Guruku melihat jamnya lalu berkata: "Ngapain panggil Pak Jiang? Panggil saja Master Jiang. Desa memang harus dimasuki, tapi tidak boleh terlalu dalam. Waktu kita terbatas, kita berangkat jam 8 pagi, sekarang hampir jam 12. Dan antara pukul 12 siang sampai 12.30, kita sama sekali dilarang masuk desa. Sebelum jam 2 siang kita harus sudah keluar."
Wajah Gao Ning berubah mendengar perkataan guruku. Ia terbata-bata lama sebelum berkata: "Aku tetap panggil Pak Jiang saja. Kemampuanmu layak mendapat sebutan itu. Pak Jiang, maksudku... bukan takut. Sejak belajar Tao, sudah banyak yang kusaksikan. Tapi... desa ini memberiku perasaan yang sangat... sangat berbahaya, juga... menekan. Firasatku mengatakan... kita semua takkan berguna di sini, akan..."
Guruku menepuk bahu Gao Ning: "Aku tahu. Tidak akan masuk jauh. Kita hanya butuh peta."
Aku tak terlalu mempedulikan itu. Setelah meneguk air, kutanya guruku: "Guru, kenapa harus keluar sebelum jam 2?" Jam 12 sampai 12 siang aku tahu, energi yin terlalu kuat, tak cocok untuk kita masuk. Tapi mengapa harus sebelum jam 2? Aku tidak paham.
Guruku berkata, "Menurutmu, apakah masih ada jalan selamat jika kita tetap di gunung setelah pukul 6? Setelah pukul 6, Energi Yang mulai melemah, sementara aktivitas ulat-ulat itu semakin gencar. Bahkan bubuk obat pengusir seranggamu takkan mampu menghentikan mereka. Lagipula, kita berangkat pukul 8 dan butuh lebih dari 3 jam sampai ke sini. Siapa tahu ada kejadian tak terduga saat pulang nanti. Lebih baik menyiapkan waktu yang longgar."
Guruku bicara secara samar, mungkin khawatir akan sesuatu. Aku mengerti maksudnya - Bupati tua mengizinkan kita masuk, tapi siapa yang tahu apakah dia akan menghalangi jalan pulang? Atau mungkin menjebak kita di desa ini?
Pikiran ini membuatku gelisah. Tapi Guruku malah berkata, "Tahu kenapa aku tenang membawa lima orang untuk survei lokasi? Karena waktunya belum tiba, jumlah orang belum cukup. Kita takkan celaka di desa ini."
Waktu apa yang belum tiba? Jumlah orang yang belum cukup? Aku bingung! Guruku bicara seperti teka-teki.
Guruku tak berniat menjelaskan. Ia duduk menyendiri sambil menghisap rokok lintingan. Aku mengeluarkan sebatang rokok dari tas, menyandarkan punggung ke batu besar sambil menengadah menghisapnya. Inginnya bersantai, tapi batu yang kujadikan sandaran terasa dingin menusuk, membuat tak nyaman.
Setelah lama menunggu - sekitar lewat pukul 12 - barulah Ma Le dan Ma Xiao menyelesaikan pekerjaan. Mereka melipat peta lalu datang duduk di sebelah Guruku.
“Peta ini kira-kira butuh waktu berapa lama untuk selesai digambar?” tanya Guruku.
“Kalau kami berdua terus melakukan pengukuran, mungkin masih butuh tiga hari lagi. Selain itu, harus masuk lebih dalam ke desa agar bisa menggambar peta yang memenuhi syarat,” jawab Ma Le sambil meneguk air.
“Tiga hari? Masuk ke dalam desa?” Guruku merenung sejenak, lalu merogoh-rogoh tas kain kuningnya dan mengeluarkan seikat hio yang dibungkus kertas Fu kuning. “Sepertinya ‘Petunjuk Dewa’ ini tidak bisa dihemat,” ucapnya.
Aku tahu benda ini, sejenis hio yang dibuat dari bahan khusus. Asapnya tidak mudah buyar meski diterpa angin kencang. Dipadukan dengan kertas penunjuk jalan yang membungkus hio ini, benar-benar sesuai dengan nama ‘Petunjuk Dewa’.
Menggambar kertas penunjuk jalan tidaklah mudah, bahkan Guruku pun tidak bisa. Menurut penjelasannya, teknik ini hampir punah. Sekarang hanya tersisa dua tiga orang yang bisa menggambarnya. Tentang dari mana Guruku mendapatkan ‘Petunjuk Dewa’ ini, aku memang tidak tahu.
Tapi dari ekspresi Guruku, terlihat dia agak menyesal menggunakannya.
Sebenarnya, kalau tersesat, dia bisa memintaku untuk membuka mata spiritual! Guruku juga bisa melakukannya. Tapi mengingat konsekuensi setelah membuka mata spiritual, lebih baik pakai ‘Petunjuk Dewa’ ini saja.
Setelah berbincang sebentar dan menyantap makanan ringan, rombongan bersiap masuk ke desa. Tentunya lokasi yang akan dituju di desa itu sesuai permintaan dua bersaudara Ma Le dan Ma Xiao.
Mau masuk ke desa yang persis seperti di foto ini? Tiba-tiba aku merasa panik tanpa alasan, tapi ini bukan pilihan. Aku tetap mengikuti.
Tak lama kemudian, kami sampai di bangunan pertama di pinggir desa. Rumah itu memancarkan aura kebusukan yang tak terungkapkan, sungguh aneh dan mengerikan.
Berbeda dengan desa lain di mana rumah-rumah yang ditinggalkan lama biasanya runtuh karena tak terurus. Itu hal biasa.
Tapi rumah ini seolah baru ditinggalkan pemiliknya. Tidak terlihat kumuh atau rusak, namun menyimpan kesan busuk layaknya makanan yang terlalu lama di kulkas - mengerut, menghitam, dan membusuk di dalam.
Apakah rumah ini sudah terlalu lama terkunci dalam foto? Pikiranku tiba-tiba melayang ke ide aneh semacam ini!
Indera spiritualku yang tajam bisa merasakan keanehan. Guruku pasti juga merasakannya. Ia menepuk dinding rumah sambil berkata kalimat membingungkan: "Ini lagi-lagi misteri yang belum terpecahkan."
Hah? Rumah ini di mata guruku sampai disebut misteri tak terpecahkan?
Yang lain tak berani banyak bicara. Mereka tidak merasakan keanehan rumah ini, hanya merasa tidak nyaman secara instingtif dengan desa ini.
Dan tanpa sengaja aku menemukan satu masalah lagi, yaitu tanaman di bawah kakiku seolah-olah menggunakan desa ini sebagai batas, tumbuh dengan perbedaan yang mencolok. Daun-daunnya masih hijau, tapi seolah-olah warna putih telah dicampurkan ke dalam cat hijau, membuat hijaunya terlihat pucat. Yang lebih jelas, pinggiran daun bahkan memiliki lingkaran putih pucat.
Hal semacam ini sudah tidak layak disebutkan lagi di desa ini. Bahkan jika melihat sesuatu yang aneh di desa ini, aku rasa aku tidak akan terkejut.
Kami berjalan melewati rumah ini menuju ke dalam desa, tapi tak disangka tiba-tiba mendengar suara "kreek", suara pintu gerbang yang terbuka.
Angin yang meniupnya? Tapi ketika aku menoleh, aku melihat pemandangan mengerikan yang tak akan pernah kulupakan seumur hidupku.
