Setelah langkah Gang selesai, aura Guruku mencapai puncaknya. Saat suku kata terakhir mantra terucap, terdengar teriakan "Buka!", kulihat tubuh Guruku berhenti tepat di tengah formasi.
Tiba-tiba kesadaranku menjadi linglung. Dunia sekitar mulai berubah menjadi jaringan aliran energi, namun warna dominannya adalah hitam pekat yang tak terurai. Titik cahaya kuning muda yang merepresentasikan nyawa kita, terlihat begitu lemah dan tak berdaya di tengah lautan energi hitam ini.
“Gunung besar di depan mata mulai berubah menjadi gasifikasi. Cahaya hijau adalah pepohonan, di dalamnya terdapat banyak titik cahaya hitam bercampur kuning, bagai bintang-bintang yang menghiasi gas kekuningan gunung yang menguap. Entah mengana, terasa sebuah keagungan yang tak terduga.
Seperti lensa kamera film yang zoom in, kulihat sebuah area hitam seperti lubang hitam di alam semesta tak berujung. Bentuknya bulat, lebih tepatnya oval, rapat tanpa celah.
Inikah dunia dendam Bupati Tua? Mengurung roh-roh malang dari langit hingga bumi?
Aku tak bisa melihat jelas. Tak kulihat bagaimana kondisi warga di dalamnya. Dalam situasi ini, kecuali aku membuka mata spiritualku sendiri dan menggabungkan dengan kecenderungan Guruku, baru bisa melihat jelas keadaan di dalam. Tapi mungkin lebih baik begini. Aku tak ingin melihat situasi di dalam, juga tak boleh membuka mata. Indera spiritualku yang kuat harus bekerja sama dengan tenaga dalam untuk melakukan hal lain.
Membuka mata, aku membisikkan mantra penenang untuk melawan kecenderungan ini. Tak ada cara, aku tak boleh menghabiskan terlalu banyak energi sekarang. Harus tetap dalam kondisi terbaik. Sambil berpikir, kugenggam sebuah pil di tangan - pil penyegar otak dan penguat roh.
"Indera spiritualmu bagai samudera, tapi otakmu hanya bisa menahan gempuran sungai kecil. Inilah keterbatasan." Ini adalah kelemahanku yang dirangkum Guruku. Tapi potensi manusia juga bisa ditingkatkan. Untuk aksi hari ini, aku harus mengerahkan segala kemampuan.
Waktu berlalu detik demi detik. Dengan pengulangan mantra penenang yang terus-menerus, perasaanku akhirnya tenang bagai permukaan danau yang tak beriak.
“Hui Jue, Yuan Yi, naik gunung! Yang lain tetap di posisi masing-masing. Cheng Yi, ikuti komandoku nanti untuk memulai.” Guruku berteriak keras, tiba-tiba menghentikan kondisi mata spiritualnya, namun nada suaranya tak bisa menyembunyikan gejolak emosi.
Variabel tak terduga benar-benar muncul!
Hui Jue dan Yuan Yi berada sekitar 500 meter dari guruku. Dengan tenaga dalam yang mumpuni, mereka punya cara sendiri untuk menahan aura. Saat guruku mulai ritual, mereka tak perlu mundur terlalu jauh. Begitu guruku meneriakkan perintah bermuatan energi, kurang dari setengah menit kemudian Yuan Yi dan Hui Jue sudah berlari kencang ke arah sini.
Ilmu bela diri Buddhisme dan Taoisme ini memang bukan sekadar omong kosong belaka.
Guruku, Hui Jue, dan Yuan Yi telah naik ke gunung. Di sekitar lokasiku, para prajurit bersenjata juga sudah bersembunyi. Lapangan kosong ini sengaja dibuat sebagai pusat lingkaran pengepungan, agar Bupati Tua tak punya tempat bersembunyi jika benar-benar muncul.
Suasana begitu mencekam. Kudengar salah satu Taoist di belakangku berbisik gemetar pada yang lain: “Apa Bupati Tua benar-benar akan muncul?”
Lima menit berlalu. Semuanya tenang. Perlahan ketegangan sedikit mengendur.
Tiba-tiba, kami menyaksikan pemandangan mengerikan: Kabut tebal di puncak gunung mulai bergulung-gulung seperti makhluk hidup. Dadaku serasa tercekat. Khawatir pada guruku karena titik cahaya yang merepresentasikannya tiba-tiba berhenti bergerak.
Taoist juga orang biasa, titik cahaya itu tidak misterius dan tidak ada kaitannya dengan hal-hal supranatural. Itu hanya karena Guruku membawa senter kuat yang sangat mencolok di lingkungan gelap di gunung, bahkan kabut tebal berlapis pun tak bisa menghalanginya.
Beberapa menit pertama, kami semua bisa melihat titik cahaya itu naik gunung dengan cepat. Karena terburu-buru, ketiga orang termasuk Guruku menggunakan ilmu bela diri asli untuk mendaki, tentu saja lebih cepat. Tapi ketika kabut mulai bergulung-gulung, tiba-tiba berhenti. Ada apa sebenarnya?
Di momen tegang ini, alam seolah ingin menambah keramaian. Tiba-tiba dari gunung terdengar suara hantu merintih pilu yang membuat bulu kuduk merinding. Gabungan banyak suara itu seperti ribuan hantu yang menjerit bersamaan.
Orang-orang di sini semua berpengalaman, ketahanan mental mereka jauh melebihi orang biasa. Tapi aku mendengar dengan jelas: napas semua orang berubah menjadi pendek dan berat - ini efek dari ketakutan.
Tidak boleh mengganggu Guruku di saat seperti ini. Aku berteriak keras: "Bersemangat! Ini cuma dendam, tidak ada yang perlu ditakuti!"
Teriakanku berhasil memperbaiki suasana. Titik cahaya yang mewakili Guruku mulai bergerak lagi, meski kecepatannya tidak secepat sebelumnya.
“Begitulah, aku baru merasa sedikit tenang. Tapi tak disangka, kabut pekat di puncak gunung mulai menyebar ke bawah dengan kecepatan yang sangat tinggi. Ini...! Mataku melotot, teringat malam terakhir Zhao Jun kabur dalam cerita, kabut juga bergerak seperti makhluk hidup yang mengejarnya tanpa henti.
Tapi jika kabut waktu itu secepat ini, aku yakin bahkan dengan empat kaki pun Zhao Jun takkan bisa lolos.
“Hui Gen, apa yang ingin kau lakukan?” Suara seorang penjaga terdengar, memanggil Hui Gen.
Bocah kecil ini disukai semua orang. Entah kenapa hari ini Biksu Hui Jue mengizinkan Hui Gen datang ke sini, ditemani penjaga di area luar lingkaran pengepungan yang relatif aman.
Tapi kenapa dia membuat masalah sekarang? Aku menoleh kesal ingin memarahinya, tapi Hui Gen berkata: “Biarkan aku. Guruku bilang, di saat genting aku harus membantu. Aku punya bakat spiritual. Mantraku sangat manjur.”
Hatiku berdesir. Seperti aku yang diterima guruku karena indera spiritualku kuat, pasti Hui Gen punya keunikan sehingga dihargai Biksu Hui Jue itu. Orang dengan akar kebijaksanaan dalam memiliki kekuatan pikiran kuat. Mungkin benar katanya.
Aku berteriak: “Bawa Hui Gen ke sini! Jangan ditahan!”
Sementara itu, kabut telah mencapai kaki gunung dan mendekat dengan kecepatan mengerikan. Kabut bisa turun gunung?
Tapi sekarang bukan saatnya untuk berpikir lebih jauh, aku merasakan suara tangisan hantu yang awalnya masih jauh, sekarang hampir terdengar di telinga, terutama aku melihat bayangan-bayangan terhuyung tersembunyi dalam kabut, mendekati kami.
Dendam yang sangat kuat, sampai bisa memanifestasikan esensi dendam! Ini efek yang sama dengan dendam di bawah gunung, dendam ini mengandung pikiran tidak rela warga yang mati mengenaskan, jadi wajar jika dendam yang terkumpul sampai level tertentu bisa memanifestasikan pikiran-pikiran ini.
Tapi, meski aku anggap wajar, orang lain belum tentu bisa menahan. Yang mengerikan dalam dendam ini bukanlah manifestasi pikiran dendam, melainkan aura energi orang biasa yang memang tidak sekuat praktisi spiritual. Jika kehilangan kendali pikiran, dendam masuk ke tubuh akan berbahaya.
Perlahan, kabut sudah sangat dekat dengan kami. Sekitar kami mulai muncul kabut tipis seperti asap rokok. Kulihat bayangan Hui Gen berlari ke sini, tak kuasa berteriak: "Hui Gen'er, cepat!"
Kedua kaki kecil Hui Gen terus melangkah cepat, tapi ketika dia sampai di sampingku, kami tiba-tiba dikepung kabut tebal. Sekeliling mulai tak jelas, kami semua terperangkap dalam kabut, apalagi melihat kondisi Guruku.
Bayangan-bayangan dalam kabut sangat jelas, semuanya adalah warga yang mati mengenaskan. Mereka berjalan perlahan dengan wajah pucat mendekati kami.
Aku tak bisa melihat reaksi orang sekitar, juga tak tahu posisi mereka. Tapi kudengar suara orang yang ketakutan sampai menangis.
“Hmm…” Hui Gen berlari dan duduk di depanku, dengan ekspresi meremehkan.
Bocah ini mengeluarkan kitab suci dari dalam bajunya, dengan khidmat memasang tasbih di leher, memegang rosario di tangan, lalu meletakkan kitab tersebut di hadapannya. Tanpa terengah-engah, ia menutup mata dan mulai melantunkan mantra.
Suara kekanak-kanakan itu menggema di tanah lapang. Namun betapapun muda, tak bisa menyembunyikan aura welas asih dan keagungan yang memancar darinya.
Saat melantunkan mantra, wajah Hui Gen memancarkan kesakralan bak patung dewa, penuh kesungguhan.
Aku berpikir: sering dengar legenda biksu senior berusia belasan tahun – mungkinkah Hui Gen salah satunya?
Tapi apakah ritualnya akan berpengaruh?
Nyatanya, Hui Gen kecil ini sungguh luar biasa. Begitu mantranya dimulai, hatiku langsung diliputi ketenangan aneh, menerima segala situasi dengan damai.
Makin lama seseorang bertapa, makin sulit pengaruh eksternal mempengaruhinya. Jika aku saja begini, pasti yang lain lebih merasakan efeknya.
Tapi Hui Gen masih menyimpan kejutan lebih besar…
Versi realistik Chen Cheng Yi saat kuliah, sekitar 50% mirip. Terima kasih untuk istri Xiao Yu yang bisa melukis sedemikian bagus.
