Tentu saja wajah ini juga membuatku takut, tapi di saat yang sama, sebuah pemikiran aneh muncul lagi, bukankah penampilan Bupati Tua seharusnya tidak seperti ini? Dia...
Aku terkejut oleh pikiran sendiri ini, jangan-jangan aku pernah bertemu Bupati Tua?
Aku hampir tidak tahan, berbagai pikiran aneh, ditambah tubuhku sendiri yang tidak memiliki detak jantung. Di saat seperti ini, malah merasa pernah bertemu Bupati Tua? Siapa yang tidak akan tergila-gila oleh siksaan seperti ini? Justru karena keanehan-keanehan inilah yang membuat orang semakin ingin menyingkap kabut untuk melihat kebenaran!
Tapi apakah ini saatnya untuk menyelidiki? Jelas tidak! Karena sesaat kemudian, dengan dentuman keras yang menggema, pintu gerbang kokoh itu berhamburan berkeping-keping dengan suara 'brak'.
Aku melihat dengan jelas bahwa Bupati Tua yang menendangnya hingga terbuka, bagaimana mungkin satu tendangan memiliki kekuatan seperti itu?
Kemudian, sesosok bayangan memasuki balai leluhur. Sosok seperti apa itu? Seluruh tubuhnya terendam hingga membengkak, sama seperti wajahnya, sebagian daging sudah terlepas, sebagian lagi separuh terlepas masih menempel di tubuh.
Sebenarnya saat itu aku belum berpengalaman, sehingga mengira itu daging yang terlepas. Orang yang paham tahu, jika mayat tenggelam di dasar sungai, akan ada ikan pemakan daging yang menggerogotinya. Pengetahuan ini baru kuperoleh belakangan saat aku mengembara di sungai-danau-laut mencari kebenaran, bahkan sampai ke India, karena saat itu aku sudah melihat langsung ikan mas raksasa yang diberi makan mayat.
"Saat itu, ketika mengingat kembali peristiwa Bupati Tua, seluruh tubuhku merinding. Setelah mati, mayatku diperlakukan seperti apa pun tidak masalah, yang penting aku sudah pergi dan tak bisa merasakan lagi. Tapi melihat diriku sendiri dimakan hidup-hidup, aku pasti akan gila. Mungkin aku bisa memahami mengapa dendamnya begitu besar."
"Singkatnya, di hadapanku berdiri Bupati Tua dalam keadaan compang-camping namun membengkak secara aneh. Dari luka-lukanya mengalir cairan hitam pekat. Ada bagian-bagian aneh lainnya: daging kering kehitaman yang menempel di tubuhnya, dengan jelas kulihat bulu hitam di atasnya."
"Yin-Yang Shuangxiong? Pikiranku tiba-tiba melintas istilah ini, seolah aku sangat paham, tapi detailnya tak bisa kuingat."
"Tapi apakah Bupati Tua sesederhana Yin-Yang Shuangxiong? Setidaknya saat ini, mustahil bagiku memikirkan hal-hal seperti itu."
"Sosok Bupati Tua berdiri di pintu masuk balai leluhur. Tatapannya dingin mengawasi kerumunan orang. Wujud mengerikan itu membuat semua orang bahkan tak berani bernapas leluasa - siapa yang pernah melihat mayat compang-camping berdiri hidup-hidup di depan mereka?"
"Aku... sudah kembali, hehehe..." Suaranya seperti pita suara yang terendam air, parau dan disertai bunyi 'gletuk-gletuk' cairan."
"Yang lebih menakutkan adalah tawa itu, seolah datang dari dasar air."
“Dia kembali dari dasar sungai. Dia adalah iblis yang merayap naik!” Suara parau terdengar, dari mana suara itu berasal?
Orang-orang yang sudah ketakutan hingga hampir histeris pun tak bisa menahan diri untuk mencari sumber suara itu, namun yang mereka lihat adalah pemandangan mengerikan yang membuat banyak orang berlutut sambil menangis histeris, karena situasinya sudah di luar akal sehat.
Suara itu berasal dari perut Bupati Tua. Melihat tatapan penasaran orang-orang, tanpa ragu ia merobek baju atasnya yang sudah compang-camping. Di perut Bupati Tua yang berlubang itu, orang-orang melihat wajah menyakitkan muncul – dialah yang berbicara.
“Dia” ini sangat dikenal warga, yaitu Pendeta Tua desa yang sudah lebih dulu menyusul para leluhur, sang ‘Pendeta Tua’ yang konon sudah dikuburkan dengan damai.
‘Plak!’ Tangan Bupati Tua yang sudah menyembul tulangnya menghantam keras perutnya sendiri. Air hitam muncrat, wajah di perutnya menjerit kesakitan sebelum menyusut kembali.
Balai leluhur bergema dengan jerit kesakitan, hanya beberapa pria terkuat yang masih bisa berdiri tegak.
“Tak ada yang bisa kabur, semua harus mati! Yang pertama pergi adalah dia…” Suara aneh seperti terendam air itu bercerita dengan santainya, membuat bulu kuduk merinding. Tapi tiba-tiba ia menjerit ‘Waah!’ dengan suara aneh, tertawa terbahak-bahak sebelum meraung: “Makanya aku gali mayatnya, aku makan…”
“Bupati Tua yang selama ini menyembunyikan tangannya di belakang tiba-tiba mengeluarkan kepala manusia yang sudah membusuk – itu adalah kepala Pendeta Tua!”
Teror ini seolah telah mencapai puncaknya, tetapi apakah ini benar-benar puncak? Dalam kepanikan ekstrem, beberapa pria yang masih berdiri itu salah satunya mengangkat goloknya sambil berteriak: “Aku akan bertarung habis-habisan denganmu!”
Teriakannya bagai percikan api yang membakar emosi warga. Seketika semua orang histeris berteriak: “Bertarung habis-habisan!”
“Bunuh monster ini!”
Beberapa pria langsung menyerang. Tatapan Bupati Tua berubah: “Ini semakin membuktikan kalian semua pantas mati!”
Entah ini khayalanku atau bukan, tapi aku merasa tatapan tajam Bupati Tua itu tertuju padaku, penuh ejekan. Mengapa aku? Pikiran ini melintas, tapi kuberusaha meyakinkan diri ini hanya ilusi.
Liu Peng di sampingku yang sebelumnya sampai mengompol ketakutan, kini malah ikut menyerang. Mungkin dalam situasi ini, orang-orang yakin satu-satunya jalan selamat adalah bertarung mati-matian.
Aku mengangkat cangkul dengan bingung. Haruskah aku ikut bertarung? Aku merasa tidak punya permusuhan dengan Bupati Tua. Tiba-tiba teriakan mengerikan pertama menggema di malam pekat ini, bergema jauh...
Teriakan kesakitan itu terdengar sangat familiar di benakku, seolah-olah di masa lampau yang jauh, aku pernah mendengarnya di tempat yang tidak terlalu jauh. Atau mungkin bukan aku yang mendengar, melainkan seseorang, dan aku hanya mendengar cerita tentang orang itu...
Pikiranku hampir kacau, namun teriakan itu tetap menarik perhatianku. Seketika, pemandangan berdarah itu memutus kekacauanku. Kulihat lelaki pertama yang maju telah ditangkap Bupati Tua, tangannya mencabik perut hingga organ dalam terseret keluar dengan kejam!
Betapa menyiksanya itu? Jelas kulihat jeroan berantakan melilit di tangan Bupati Tua. Jantungnya masih utuh, bahkan berdenyut beberapa kali.
Darah menetes. Bupati Tua malah menggigitnya sembarangan, lalu melemparkan organ-organ itu ke kerumunan orang.
‘Bruk’ mayat itu terjatuh. Dari dada hingga perut terbuka lubang mengerikan, wajahnya membeku dalam ekspresi kesakitan abadi.
Orang-orang kembali ketakutan. Beberapa yang awalnya maju perlahan mundur, seluruh kerumunan mulai menjauh.
“Wuaaaa...” Tangisan anak-anak pecah memanggil Ayah dan Ibu.
Ada juga yang mulai terkekeh bodoh – pertanda mereka menjadi gila karena trauma.
Tapi Bupati Tua tak buru-buru membunuh. Seiring langkah mundur kerumunan, ia hanya terus melangkah mendekat, tekanan psikologisnya bagai pisau tumpul mengiris daging, begitu menyiksa...
Kebuntuan terjadi hampir satu menit. Orang-orang sudah tak bisa mundur lagi. Kerumunan di bagian dalam sudah menempel ke tembok. Anak-anak yang terjepit di dinding menjerit ketakutan: "Ayah, aku takut! Ayah! Ayah..."
"Ibu, di mana Ibu? Ibu..." Seorang anak lain mulai memanggil ibunya.
Kata "Ibu" yang memuat kasih terbesar di dunia fana ini akhirnya memicu pemberontakan para wanita. Seorang perempuan mengambil obor, tangannya gemetar saat menerobos kerumunan. Tiba-tiba ia berteriak seperti orang gila: "Biarlah aku mati, asalkan Si Bungsu-ku selamat!"
Ia malah berlari ke depan dan melemparkan obor itu ke tubuh Bupati Tua! Obor itu seolah membuat sang Bupati Tua menunjukkan sedikit ekspresi kesakitan. Orang-orang mulai melihat secercah harapan.
Mungkin karena secercah harapan itu, atau mungkin keberanian wanita tadi membangkitkan semangat mereka, meski sesaat kemudian kepala wanita itu sudah dipuntir tanpa ampun oleh Bupati Tua, perutnya diinjak hingga pecah!
Orang-orang kembali menyerang. Kali ini banyak yang membawa obor. Ada yang menyalakan api unggun di tengah halaman, ada yang memeluk tubuh Bupati Tua sambil berusaha mati-matian menyeretnya ke dalam kobaran api...
Tapi ini hanyalah pembantaian tak seimbang.
"Tempat ini telah berubah menjadi neraka di Dunia Manusia, aku melihat darah berceceran, organ dalam yang hancur, bahkan daging dan darah beterbangan. Seketika, bau amis darah yang pekat memenuhi tempat ini. Tidak ada yang lebih menakutkan dan menyedihkan daripada pemandangan ini."
Awalnya aku sudah mati rasa akibat terstimulasi berlebihan, awalnya aku memiliki pikiran mendalam sebagai orang luar. Tapi kali ini, aku tidak tahan lagi dengan stimulasi ini, mengangkat pacul dan berlari maju.
"Jangan! Begitu maju, karma akan membelit dan tak bisa lagi keluar." Tepat saat darahku mendidih, suara seperti guntur menggema di benakku.
