Tentang jawaban yang kuinginkan, Guruku dan Kakek Hui Jue tidak pelit memberitahuku. Sambil menggigit rokok lintingan, Guruku mulai bercerita.
“Saat sampai di gunung kami langsung merasa ada yang tidak beres. Semua hanya terlihat mengerikan secara penampakan, tapi tidak ada penghalang nyata. Aku tidak percaya Bupati Tua tidak mengetahui kaburnya Zhao Jun. Kami hanya bisa terus maju sambil waspada.”
Dalam pengamatan yang sangat hati-hati, semuanya berjalan lancar. Ritual memanggil arwahku berkoordinasi baik dengan aksi Guruku dan yang lain. Roh Zhao Jun telah dibawa melewati puncak gunung. Saat itulah Guruku dan yang lain menemukan dendam yang menyembur ke langit.
Mengenai dendam ini, Guruku berkomentar: "Seumur hidupku bertemu hantu jahat tak terhitung, tapi hantu jahat dengan dendam sebesar ini bisa masuk tiga besar yang pernah kuhadapi."
Dendam ini tak diragukan lagi berasal dari Bupati Tua. Kemudian hantu jahat yang berasal dari Bupati Tua bertemu dengan indera spiritualku...
"Jadi dia sama sekali tidak berniat merebut Zhao Jun dengan susah payah. Dari awal dia sudah berencana menahan rohmu sebagai pengganti Zhao Jun." Hui Jue meneguk sup jahe sambil menjelaskan.
Aku merasa ngeri. Bupati Tua ternyata memiliki kecerdasan dan perhitungan seperti itu.
Guruku menghembuskan asap rokok lintingannya: "Tapi yang tidak dia perhitungkan adalah, di detik-detik terakhir rohmu berhasil menghancurkan ilusi bahwa kamu adalah Zhao Jun yang dipaksakannya. Keganasannya yang menyembur ke langit memanggil roh harimau."
"Benar. Dengan Mata Dewa ajaran Buddha, aku membangun hubungan denganmu. Langsung menggunakan teriakan singa untuk berkomunikasi dengan rohmu, ingin mengingatkanmu jangan terjebak dalam reinkarnasi. Tapi aku juga tidak yakin bisa membangunkanmu sepenuhnya. Pada akhirnya, indera spiritualmu sendiri yang kuat sehingga bisa bangkit di momen paling krusial." Hui Jue menambahkan.
"Mengapa dirimu bisa meledakkan energi jahat yang menyembur ke langit, itu karena kamu telah sadar. Kamu tahu dirimu bukan Zhao Jun, tidak ada dendam lama dengan Bupati Tua, berbeda dengan warga desa. Ketidakrelaanmu itulah pemicu energi jahat itu. Pada akhirnya memancing keluar Roh Harimau yang bersimbiosis denganmu!" Guruku menatap nyala api sambil berkata.
"Roh Harimau yang bersimbiosis?" Bagian inilah yang paling tidak kupahami. Sebenarnya di masa kecilku, aku pernah melihat samar-samar roh harimau itu sekali, waktu itu tidak terlalu jelas, hanya mendengar jelas raungan gagah sang harimau.
Aku sangat paham, raungan itu berasal dari cakar harimau. Saat berada di balai leluhur yang mengerikan itu, kondisiku adalah roh, tidak mungkin membawa cakar harimau. Karena itu aku tidak mengerti dari mana asal Roh Harimau itu. Tak kusangka jawaban Guruku ternyata Roh Harimau yang bersimbiosis.
"Benar, Roh Harimau yang bersimbiosis. Kau tahu, cakar harimau ini berharga bukan hanya karena energi jahat dan hawa angkara yang melekat, tapi juga karena menyegel sisa roh siluman harimau. Jangan remehkan makhluk siluman dan hantu. Jika mereka meraih Pencerahan Sejati, mereka pun bisa menjadi dewa dengan kemampuan luar biasa. Sejak kecil kau memakai cakar harimau ini, tanpa sadar Roh Harimau telah mengakuimu sebagai tuannya, bersimbiosis dengan rohmu. Jangan anggap aneh bentuk ini, seperti ada orang yang punya dewa pelindung. Ada yang terlahir dengan dewa pelindung karena karma kehidupan lampau, ada juga yang mendapatkan dewa pelindung di kehidupan ini karena jodoh." Guruku menjelaskan di sampingku.
"Guruku, mengapa kau tidak memberitahuku sejak awal bahwa aku dijaga oleh roh harimau?" Aku membelai cakar harimau di leherku secara refleks, merasakan makna baru yang lebih dalam. Kini benda itu terasa semakin akrab, karena roh di dalamnya ternyata telah bersimbiosis denganku dan menjadi pelindungku.
"Memberitahumu? Waktunya belum tepat, karena hubungan simbiosismu dengan roh harimau belum sempurna! Ini akan kubahas detail nanti. Mengapa kita tidak bisa melawan Bupati Tua? Jawabannya sederhana: jika kau melawan, kau akan semakin terjerumus dalam ilusi. Setelah mati sekali dan hidup kembali sebagai Zhao Jun, melalui proses reinkarnasi kau akan benar-benar berubah menjadi Zhao Jun. Saat itu terjadi, Chen Cheng Yi akan mati selamanya." Suara Guruku terdengar bergetar penuh emosi, jelas menunjukkan betapa khawatirnya dia saat aku ditarik ke dalam ilusi oleh Bupati Tua.
"Guruku, tanpa roh harimau, bukankah mustahil memecahkan masalah ini? Tidak bisa melawan, tidak bisa membalas. Jika aku terbunuh, aku akan berubah menjadi Zhao Jun." Kupikir ini seperti simpul mati yang tak terurai.
“Salah, jika kau memiliki keteguhan hati seperti Hui Jue yang sepenuhnya memahami bahwa itu hanyalah ilusi, maka di hadapanmu tak akan muncul balai leluhur, warga desa, atau adegan yang terulang itu. Menghadapi makhluk halus, menembus kepalsuan adalah pukulan terbesar baginya. Keteguhan hatimu belum cukup, maka kau terjebak dalam ilusi. Tapi keteguhan hati tak bisa diraih dengan jalan pintas, perlu endapan waktu dan perenungan bertahap. Termasuk Hui Gen'er yang berbakat alami pun begitu. Ke depannya, kau harus membimbing Hui Gen'er dengan baik,” perintah Guruku padaku.
Membimbing Hui Gen'er? Bukankah Hui Gen'er sudah dibimbing oleh Hui Dàye? Masih perlu aku juga?
Tapi akhirnya aku tak mengutarakan pertanyaan ini. Mungkin hanya ucapan biasa Guruku. Lagipula Hui Gen'er si nakl ini sangat lengket denganku. Jika kutanyakan di hadapan Hui Dàye, khawatir dia mengira aku tak menyukai Hui Gen'er.
Setelah lama berdiskusi dengan Guruku dan Hui Jue, akhirnya aku mulai memahami keberadaan Bupati Tua. Dia benar-benar makhluk istimewa: tubuhnya menjadi zombie, rohnya berubah jadi hantu jahat, dan kedua bagian itu bisa menyatu. Pantas saja begitu sulit ditangani!
Pandangan ini tentu kusampaikan pada Guruku dan Hui Jue. Setelah mendengar pemikiranku, mereka serentak memandangku dengan pandangan merendahkan dan berkata, "Baru sekarang kau sadar?"
Aku terdiam, melihat ke langit. Di kejauhan sudah muncul semburat merah, apakah ini pertanda fajar? Karena tidak mengantuk, aku baru ingin bertanya rencana detail mereka pada Guruku. Tapi tiba-tiba Guruku berdiri dengan wajah muram. Hui Jue juga ikut berdiri sambil melantunkan mantra Buddha: "Amitabha."
Ada apa ini? Aku tak mengerti mengapa Guruku dan Hui Dàye tiba-tiba berubah raut wajah, tapi ada firasat samar dalam benakku. Mungkinkah...
Sesaat kemudian, Guruku membenarkan firasatku. Dengan suara berat ia berkata: "Dia datang..."
Bupati Tua datang? Di mana? Aku ikut berdiri gemetar, secara refleks bersembunyi di belakang Guruku. Yang datang ini hantu dendam Bupati Tua, zombie Bupati Tua, atau gabungan keduanya?
Ini bukan lelucon. Sungguh, aku sudah trauma dengan Bupati Tua ini.
"Kita cari dulu, biar aku yang buka mata spiritual." Kata Hui Jue. Seketika ia menekan jarinya di antara alis, bersiap melakukan ritual.
Tapi persis di saat itu, dari sudut samping terdengar jeritan menyayat, disusul tembakan.
Rupanya ritual tak perlu dilakukan. Guruku dan Hui Jue langsung berlari ke sana, tapi tak ada jejak Bupati Tua. Yang tersisa hanya mayat berlubang di dada dan penjaga yang menggenggam senjata dengan wajah pucat ketakutan.
Guruku memandang mayat itu dengan raut muram. Tiba-tiba, jeritan lain bergema dari arah berbeda.
Wajahku pun langsung berubah pucat. Jika bicara soal ancaman bagi Bupati Tua, di sini tak lebih dari tiga orang: Guruku, Hui Jue, dan Nenek Ling Qing. Tapi aku yakin, dalam pertarungan satu lawan satu, tak satu pun dari mereka yang bisa mengalahkan Bupati Tua. Jika tidak, pasti sudah bertindak lebih awal.
Di malam seperti ini, haruskah kita membiarkan Bupati Tua membantai?
Jelas, Guruku takkan membiarkan ini terjadi. Ia berteriak, "Cheng Yi, masuk ke rumah dan bangunkan semua orang! Hui Jue, kau periksa sisi sana! Aku akan mengaktifkan formasi!"
Sambil bicara, Guruku mengeluarkan sesuatu dari dalam jubahnya—sebuah segel. Alat ritual Taoisme berbentuk cap umumnya memiliki kekuatan dahsyat. Cap milik Guruku ini adalah Cap Kaisar Giok, salah satu alat ritual paling berharganya. Dulu Guruku pernah bilang padaku, ini adalah alat ritual leluhur kami, Lao Li. Apa sekarang harus digunakan?
Tapi situasi genting tak memberi waktu berpikir. Menghadapi perintah Guruku, aku hanya bisa patuh dengan cepat. Aku langsung berlari ke arah rumah.
Jarak ke rumah hanya sekitar ratus meter. Tak disangka, di tengah lari, terdengar teriakan lemah Biksu Hui Jue: "Cheng Yi, hati-hati!"
Belum sempat kujawab panggilan Hui Dàye, angin sepoi-sepoi tiba-tiba menyapu wajahku. Sekejap kemudian, sosok hitam sudah berdiri di hadapanku.
Sosok ini takkan pernah kulupakan seumur hidup—Bupati Tua!
Ini adalah Bupati Tua yang benar-benar berdiri di hadapanku. Dibandingkan kondisi hantu jahatnya, kini dia terlihat lebih nyata dan lebih menyeramkan. Hanya berselang setengah detik tatapan, mata Bupati Tua menyiratkan ejekan kejam. Seketika, cakar dengan kuku panjangnya menyambar ke arahku.
Apa hubungan kita ini sialan?! Aku menggeram dalam hati. Baru kemarin bertemu Bupati Tua dalam wujud hantu jahat, hari ini Bupati Tua zombie sudah mencariku!
