Dibandingkan orang biasa, kelebihanku adalah statusku sebagai Taoist yang telah menyaksikan berbagai peristiwa ganjil.
Dibandingkan tentara khusus berpengalaman dengan mental baja, kelebihanku justru karena pernah bertemu Bupati Tua.
Hal menyeramkan apapun akan menjadi biasa jika sering dilihat. Kesan mengejutkan selalu datang dari pertemuan pertama.
Maka, menghadapi serangan Bupati Tua, reaksi spontanku hanya satu: menghindar!
Gerakannya cepat sekali, benar-benar zombie lincah! Dengan kikuk aku berguling setengah putaran di tanah, dalam hati mengeluh pasrah.
Dengan kecepatan seperti ini, aku sadar takkan bisa terus menghindar. Meski sejak kecil latihan bela diri, refleks tubuhku jauh melebihi orang biasa.
Tak lama, Bupati Tua kembali menerjang. Tepat saat itu, suara Guruku terdengar: "Formasi, aktifkan!"
Kulihat perubahan tak terduga pada tubuh Bupati Tua. Kilatan-kilatan api tiba-tiba bermunculan di sekujur badannya, seolah ada anak kecil yang menyalakan petasan di tubuhnya.
Di saat berikutnya, aku melihat bayangan guruku. Di tangannya ada tongkat debu Tao. Apakah guruku akan menggunakannya? 36 Jurus Tongkat Debu!
Namun, Bupati Tua hanya berhenti sejenak. Dengan tatapan penuh kebencian ke arahku dan guruku, tiba-tiba dia berbalik dan pergi dengan kecepatan kilat. Melihat ini, aku merasa sangat bersyukur. Betapa beruntungnya aku bisa menghindari serangan frontal dari Bupati Tua itu?
Bangkit berdiri, kulihat Hui Dàye juga berjalan mendekat dengan wajah pucat. Di sudut mulutnya terlihat jejak darah. Guruku memegang tongkat debu bertanya: "Di sana..."
"Juga ada satu orang tewas." Hui Jue batuk ringan, darah segar mengalir lagi dari sudut mulutnya.
"Parah tidak?" Ekspresi guruku penuh kecemasan.
"Lumayan. Cuma dada tertabrak. Tenaga monster itu terlalu besar, gerakannya juga terlalu cepat. Tidak tahu sampai tingkat evolusi apa sekarang." Suara Hui Jue berat.
Saat itu, orang-orang di dalam rumah mulai bangun satu per satu...
※※※
Pagi hari itu masih cerah, tapi suasana hati semua orang di tempat ini gelap. Dua mayat tertutup kain yang tertata rapi di halaman menjadi bukti nyata tentang kekejaman yang harus mereka hadapi.
Dia tidak takut sinar matahari, bisa menyerang kapan saja. Bahkan peluru pun tidak mempan. Gerakannya secepat kilat, tenaganya tak terhingga. Inilah peringatan yang disampaikan guruku kepada semua orang.
"Peringatan ini terasa begitu berat di hati setiap orang! Zombie menyerang markas besar?! Lagi pula kita di tempat terang, sedangkan dia di tempat gelap!"
Ada kabar yang lebih buruk: Guruku merasa tak bisa mengambil risiko lagi. Setelah dua orang tewas, diputuskan untuk mundur. Tapi saat itu kami baru menyadari dengan pilu - komunikasi dengan dunia luar terputus sama sekali.
Pergi keluar? Tidak mungkin. Tanpa perlindungan formasi, kami bagai domba sembelihan di jalan. Meski ada beberapa ahli bela diri, tetap akan banyak korban.
Mengirim utusan untuk minta bantuan? Siapa yang berani bertindak sendirian sekarang?
Menunggu? Mungkin pihak atas akan menyelidiki setelah tahu komunikasi terputus. Tapi selain ketidakpastian waktu, jika bukan operasi besar-besaran, utusan yang datang pasti akan mati.
Bupati Tua bagai serigala kelaparan yang dingin, mengendap di balik bayang-bayang.
Kumpulan kami di sini adalah mangsa di matanya. Kapan saja dia bisa menerkam, mencabik daging kami sampai berlumuran darah, sementara kita tak tahu kapan serangan berikutnya.
Inilah kecerdasannya. Malam itu kami sudah siap menunggu kedatangannya, tapi dia tak muncul.
Justru di pagi hari berikutnya, saat fajar menyingsing dan Energi Yang paling kuat, tiba-tiba dia muncul dan membunuh dua orang kami. Betapa mengerikannya ‘serigala kelaparan’ ini?
"Tak ada pilihan lain. Kita harus melawan. Hanya dengan menaklukkan Bupati Tua, kita bisa keluar dari sini." Setelah menjelaskan semua situasi, Guruku hanya mengucapkan kalimat ini.
Melawan? Bagaimana caranya melawan? Aku tak menyangka operasi kali ini bisa sebegitu sulitnya, sampai kami terjebak mati di sini.
Yuan Yi yang semula berjongkok di samping mayat, sedang memeriksa sesuatu. Setelah guruku selesai bicara, dia berdiri dan dengan wajah serius berkata pada guruku: "Ini cuma dua mayat, rohnya sudah hilang. Pasti rohnya sudah dicuri."
Suara Yuan Yi tidak keras, tapi terdengar jelas oleh semua yang hadir. Seorang penjaga dengan emosi maju dan berkata: "Kami bergabung di departemen ini sudah siap mati kapan saja. Tapi kalau mati, kami ingin rekan kami bisa dibawa pulang! Mereka gugur, tak pantas disiksa terus setelah mati."
Guruku menatapnya dan berkata: "Tenang, selama aku masih hidup, roh mereka akan kudoakan. Roh kembali ke kampung halaman!"
Janji guruku sementara meredakan dendam para penjaga. Hanya dua orang yang masih gemetar - dua penjaga yang kemarin menyaksikan Bupati Tua. Salah satunya berkata ketakutan: "Master Jiang, bisakah kami tidak mati?"
Guruku menjawab: "Aku tidak tahu. Tapi kita bukan warga desa. Kita sudah menerima uang darinya. Kalau kita bertarung habis-habisan, peluang selamat cukup besar."
Tapi untuk pertama kalinya, kata-kata guruku tidak memberi keyakinan. Kulihat mata semua orang dipenuhi kesedihan. Kurasakan udara dipenuhi beban berat - beban dari banyak orang yang sudah siap mati.
Guruku tidak menjelaskan secara spesifik bagaimana rencana aksi, dia hanya bilang menunggu satu hari lagi, besok baru dibahas. Orang-orang pun bubar, hanya menyisakan kakak iparku yang setelah kerumunan pergi, berkata pada guruku: "Kakek Jiang, aku dan anak dalam kandunganku percaya padamu. Tapi jika kami celaka tewas, suatu saat kau bertemu Yang Sheng, tolong sampaikan - jika dia sadar telah berbuat salah, meski seluruh dunia tak memaafkannya, aku dan anak akan memaafkannya. Sekalipun kami sudah mati, tetap begitu."
Guruku menatap kakak ipar itu lama, akhirnya hanya mengeluarkan suara 'hmm'.
Tapi setelah kakak ipar menjauh, guruku berbisik pelan: "Dia perempuan baik."
Kalimat ini kudengar, mungkin juga didengar Ling Ruyue yang tak jauh, karena kulihat ekspresinya penasaran. Ini pertama kalinya sejak nona kecil ini datang, kami bertemu begitu lama, meski dalam suasana sesak begini.
Setelah bergumam, guruku masuk ke rumah. Dua mayat di halaman itu begitu menyakitkan mata. Tapi sebelum roh mereka dibebaskan, tak ada yang setuju dikremasi. Membakar mayat yang mati tak tenang, terasa kejam dan seperti meremehkan almarhum.
Aku bersandar di pohon belakang, menghisap rokok. Entah kenapa, kecanduan rokok makin menjadi akhir-akhir ini. Di sini, melihat terlalu banyak, terlalu banyak perenungan tentang hidup, karma, semua terasa membebani.
Rokok, kadang adalah hal baik yang memabukkan. Dunia ini terlalu banyak orang memilih bergantung padanya, ketimbang bergantung pada manusia.
"Nak, lama tak jumpa, ketemu lagi malah ngerokok gaya preman?" Ling Ruyue mendekatiku, ucapannya tetap sarkastik. Ia menyandar di sampingku, bersama-sama bersandar di pohon, malas-malasan meregangkan badan lalu menghela napas.
Aku menjepit rokok, memandangnya. Nona kecil ini, bertahun-tahun tak jumpa, semakin cantik saja. Dulu kusebutnya adik, kini meski masih kulihat sebagai adik, justru jadi kikuk, kehilangan keakraban masa kecil.
"Dulu memanggilku Kakak San, beberapa tahun tak jumpa malah bilang preman? Mau coba?" Kukatakan santai, sekedar mencairkan suasana. Jarang ada yang membuatku nyaman seperti ini.
Mungkin juga karena beban di depan terlalu berat, justru tak ingin terbelenggu formalitas.
"Ogah! Mau menyapa Feifei?" Melihatku menggoda, Ling Ruyue balik menyodorkan teka-teki.
"Tak usah. Sudah kusapa Feifei dalam hati beberapa hari lalu." Kucepatkan jawaban. Sungguh sulit membangun kedekatan dengan seekor laba-laba.
“Jangan sembunyikan, aku tahu kamu takut.” Ling Ruyue mendengus. Tatapan kami bertemu, tiba-tiba kami tertawa bersama. Perasaan akrab masa kecil kami ternyata kembali begitu saja.
Setelah tawa reda, kami bersandar di pohon besar memandangi langit. Lama kemudian, Ling Ruyue berbisik pelan: "Kamu sangat ingin dengar aku memanggilmu... Kakak San lagi?"
"Uh-huh." Saat mengucap ini, Ling Ruyue tidak menatapku. Aku pun membalasnya tanpa melihatnya.
"Kakak San..." Ling Ruyue memanggil lembut.
