Feng San? Aku paham kondisiku sebagai Tongziming (nasib anak suci) yang selalu mendapat kesialan di usia tertentu. Tapi dalam ingatanku, titik kritis takdirku di usia 9. Kenapa jadi Feng San?
Melihat kebingunganku, Guruku menjelaskan: "Sebelum usia 20 tahun, memang setiap tahun kelipatan sembilan kau mengalami kesialan. Tapi setelah dua puluh tahun, setiap tahun berakhiran tiga, enam, sembilan, kau akan menghadapi takdir buruk. Dua diantaranya bencana kecil, satu bencana besar. Tahun mana dari tiga, enam, sembilan yang menjadi bencana besar tak bisa dipastikan. Lihatlah kejadian kali ini. Beberapa hari lalu kau sudah seperti orang mati. Aku menyuruh Sun Qiang menggunakan metode mengantar mayat untuk mempertahankan sisa Energi Yang-mu..."
Wajah Guruku terlihat muram saat bercerita. Tapi bagiku yang sudah mengalami terlalu banyak peristiwa supranatural, konsep hidup-mati justru terasa samar. Paling-paling mati jadi hantu, lalu masuk reinkarnasi. Apa yang terlalu besar?
Aku memotong ucapan Guruku: "Guru, sekalipun aku mati, dua puluh tahun lagi akan lahir lagi pahlawan!"
Mendengar ini, Guruku tiba-tiba menamparku keras. Setelah itu ia berkata: "Kau pikir reinkarnasi hidup-mati itu hal yang mudah? Berapa orang yang bisa memahami kehidupan sebelumnya dan sekarang? Kau kira jadi roh, kau masih dirimu yang dulu? Kehilangan ingatan, masuk reinkarnasi, sama saja dengan mati total. Masih belum mengerti? Sekalipun di kehidupan berikut kau jadi pahlawan, apa kau masih Chen Cheng Yi?"
Ucapan Guruku membuatku merenung. Benar juga. Sekalipun ada reinkarnasi, nyawa manusia benar-benar hanya sekali. Seperti selembar kertas putih yang digunakan berulang kali. Aku menggambar lukisan di atasnya. Saat digunakan lagi, lukisan itu sudah hilang. Ia menjadi kertas putih baru.
"Inilah kebenaran reinkarnasi. Para praktisi hanya berusaha melompat dari penderitaan reinkarnasi, mengubah lukisan di kertas putih menjadi ukiran abadi. Ini adalah perubahan kualitatif, sebab itulah yang disebut ketidakmudahan sejati."
Setelah lama berpikir, aku akhirnya menengadah dan berkata, "Guruku, aku akan menghargai hidup. Aku mengerti, setiap hari berharga. Aku ingin melakukan hal bermakna, dan... aku akan berjuang untuk tetap hidup."
Guruku menutup mata seraya berucap, "Akhirnya pemahamanmu naik ke tingkat baru. Dulu kuberikanmu takdir baik, melindungimu melewati sepuluh tahun pertama dengan selamat, mengubah tiga tribulasi dalam sepuluh tahun kedua menjadi satu. Sekarang, kau harus menciptakan takdirmu sendiri. Berjuanglah! Untuk kebaikan besar, juga untuk takdirmu sendiri."
"Ya, aku sudah memutuskan. Aku akan melakukan hal ini."
"Rencana awalku adalah menangkap anomali itu dengan sukses, lalu membuatmu menyamar sebagai Zhao Jun untuk membongkar kebenaran tentang hun warga desa. Tapi... kau baru saja melalui tribulasi, masih dalam kondisi lemah. Terpaksa aku ubah rencana, menunggu pemulihanmu sebelum bertindak. Namun..." Guruku tak mampu melanjutkan.
"Guruku, lanjutkan saja. Aku sanggup menanggungnya." Kupikir, sudah saatnya aku memikul tanggung jawab sendiri.
※※※
Pagi hari di desa kecil ini selalu sama. Sinar matahari senantiasa redup, tak sanggup menembus kabut berlapis. Seperti kehidupan manusia - pandangan setiap orang tak pernah bisa menembus masa-masa, tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Pada pagi seperti ini, Ling Ruyue berkata padaku, "Setelah urusan ini selesai, maukah kau ikut aku mengunjungi kakak Surou?"
“Hmm, kurasa paling lambat besok kita bisa pergi dari sini.” Aku berkata dengan tenang.
Qinhuai sedang mengemasi barang di sebelah kami. Mendengar percakapanku dengan Ling Ruyue, dia menyela, “Aku sering dengar Cheng Yi cerita tentang Surou. Pokoknya aku ikut! Akhirnya bisa ke desa itu. Dasar, pasti lebih seru dari konser BEYOND!”
Semua sibuk bersiap. Hari ini kami mulai aksi, tak mau diam lagi. Syukurlah tadi malam Bupati Tua tak mengganggu. Ada firasat aneh: jangan-jangan dia tahu kita akan 'menyerahkan diri'?
Guruku sudah menyiapkan altar upacara dan memanggilku keluar. Kutoleh ke Ling Ruyue dan Qinhuai, “Aku yang duluan.”
Ling Ruyue tersenyum, “Sudah tahu Kakak San yang paling hebat.”
Qinhuai berteriak, “Aku sembunyikan sebungkus Da Zhonghua! Nanti kita hisap bareng!”
Kulepaskan jabat tangan, langsung keluar dari rumah.
Guruku mengenakan jubah Tao. Kami saling angguk, tanda mulai.
Guruku mengeluarkan gulungan tali merah, mulai mengikatkannya di tubuhku. Kepalanya tertunduk saat bicara, tak kulihat ekspresinya.
“Ritual ini seharusnya malam hari, lebih aman. Tapi waktumu terbatas. Kalau sampai malam, energimu tak kuat. Yang-mu akan melemah, bahkan...”
Ucapannya terhenti. Aku paham bahayanya: daya tahan roh Yang.
Bagaimanapun, membiarkan roh merasuki tubuh, apalagi roh tua yang telah tercemar terlalu banyak dendam dan energi Yin yang sangat kuat, sangat merusak tubuh Yang. Untuk memastikannya merasuki tubuh dengan lancar, aku harus mengunci Energi Yang-ku sendiri, bahkan menekan hun-ku.
Ini sangat berbahaya. Dengan mengunci Energi Yang, tubuh secara alami akan menjadi sangat lemah. Karena Energi Yang adalah vitalitas tubuh Yang, mengunci vitalitas berarti aku harus hidup dalam kondisi seperti orang mati palsu selama beberapa jam.
Beberapa hari sebelumnya, rohku pernah ditahan dan meninggalkan tubuh. Tubuh secara alami akan perlahan kehilangan vitalitas. Guruku menyuruh orang untuk mempertahankan sejumput Energi Yang-ku, tapi itu tidak bisa menghentikan berkurangnya vitalitasku. Karena itu, setelah rohku kembali, aku sangat lelah dan tubuhku terasa dingin. Ini alasannya.
Melakukan ritual seperti ini saat aku dalam kondisi lemah menunjukkan betapa besarnya risiko yang diambil!
Bahaya lainnya adalah, dalam pandangan hantu, mereka lebih memilih setahun hidup sebagai manusia daripada seratus tahun menjadi hantu. Jika terjadi kesalahan, aku akan selamanya berubah menjadi Zhao Jun.
Jadi keseimbangan dalam hal ini sangat sulit dijaga. Jika tidak membiarkan roh Zhao Jun mendominasi, warga desa tidak akan melihat Zhao Jun yang mereka kenal. Tapi jika membiarkannya mendominasi, siapa tahu apakah tubuh Yang-ku akan direbut?
Selain itu, aku juga harus mengendalikan roh Zhao Jun untuk mengatakan apa yang ingin kukatakan dan melakukan apa yang ingin kulakukan.
"Inilah alasan mengapa harus aku yang melakukannya. Memang hanya orang dengan indera spiritual kuat yang bisa menyelesaikan ini. Indera spiritual sulit ditingkatkan, bahkan dengan tenaga dalam sehebat guruku, belum tentu indera spiritualnya melebihiku."
"Menurut guru, butuh sepuluh tahun untuk meningkatkan tenaga dalam sepuluh persen, tapi belum tentu bisa menambah sedikit pun indera spiritual."
"Akhirnya, pemilihan pagi hari untuk ritual ini sungguh tak terhindarkan. Secara teori, energi Yang di pagi hari sangat kuat sehingga hantu menghindar. Tapi demi aku, guru memaksa melakukan ritual di pagi hari. Jika roh Zhao Jun tak tahan energi Yang pagi ini, hasil terbaiknya adalah menjadi sangat lemah, terburuk adalah hancur lebur."
"Guru adalah orang welas asih. Untuk pertama kalinya demi aku, beliau egois mempertaruhkan roh Zhao Jun dan dirinya sendiri. Guru berkata jika gagal, beliau akan langsung berhadapan dengan Bupati Tua..."
"Simpul Suo Yang diikat dengan cepat. Kali ini harus mengunci seluruh energi Yang tubuhku. Dua titik nadi di pergelangan tangan dan jantung diikat dengan simpul rumit dari tali merah. Tinggal mengikat simpul terakhir, maka simpul Suo Yang akan selesai."
"Tangan guru mulai bergetar. Di matanya, aku masih dalam kondisi sangat lemah. Mengunci seluruh energi Yang sekaligus membuat orang sekuatnya pun mulai takut..."
"Cheng Yi, menurutmu dewa-dewi yang berkuasa di langit itukah yang perkasa?" Tiba-tiba guru berhenti dan menatapku dengan serius.
“Tidak, aku tak pernah berpikir begitu, Guruku. Sejak kecil, aku selalu menganggapmu sebagai orang terkuat.” Aku juga berkata dengan sungguh-sungguh.
“Tidak, Cheng Yi. Ingatlah, di antara langit biru dan sembilan langit, yang terkuat tetaplah kehendak manusia. Kehendak manusia bisa menciptakan banyak keajaiban, mengerti?” Guruku berkata dengan serius padaku.
“Mengerti, Guruku. Aku akan bertahan, silakan mulai.” Aku tersenyum santai dan berkata pada guruku.
Guruku tak lagi bicara, tangannya juga tak gemetar. Ia memegang tali merah sambil berbisik: “Aku percaya pada muridku.”
Kemudian, kedua tangannya bergerak lincah. Tak lama, simpulan terakhir selesai.
Aku merasakan tubuhku langsung merinding hebat. Lalu seolah tenggelam ke dasar kolam beku, tak tersisa sedikitpun kehangatan. Padahal di langit masih tergantung matahari samar.
