Baru saja Qinhuai selesai bicara, aku merasakan rasa krisis yang besar. Guruku sudah berdiri di atas batu besar, wajah serius mengamati sekeliling.
Bukan berarti indera spiritual Qinhuai lebih kuat dariku, tapi karena pikiranku masih terlarut dalam kesedihan tadi. Tanpa peringatannya, aku memang tidak menyadarinya.
Sekeliling sunyi senyap. Orang-orang bergiliran tidur dan berjaga malam. Tak terlihat keanehan apa pun. Kutatap Guruku, tapi tak kutemukan jawaban di wajahnya. Apakah tadi hanya halusinasi?
Bagaimanapun, mengandalkan indera spiritual saja tidak cukup akurat untuk mengambil keputusan.
Guruku juga tampak bingung. Saat pandangan kami bertemu dan ia hendak berbicara, tiba-tiba seseorang melangkah keluar dari area aman. Guruku melirik tajam ke arahnya dan berseru, "Apa yang kau lakukan? Keluar sembarangan sangat berbahaya!"
Pria itu memandang Guruku dengan wajah polos dan cemas, "Master Jiang, saya benar-benar ingin buang air. Sudah seharian menahan. Tidak mungkin saya melakukannya di depan orang, kan?"
Rupanya hanya orang yang kebelet. Alasannya masuk akal dan tidak mencurigakan. Kudukuk kembali di samping Qinhuai, tetap waspada mengamati sekeliling. Guruku merenung sejenak lalu bertanya, "Mau ke mana? Jangan terlalu jauh."
Pria itu berkata dengan ketakutan, "Master Jiang, saya hanya akan ke semak-semak itu. Saya sangat takut. Tolawasi saya ya."
Guruku mengangguk, lalu pria itu menutupi perutnya dan berlari ke semak-semak tak jauh. Saat dia hampir masuk ke dalam semak, tiba-tiba dia menoleh ke arahku. Seolah ada firasat, aku juga menatapnya tajam. Tiba-tiba kurasakan pandangannya penuh kebencian yang mendalam. Apakah aku pernah menyinggungnya?
Keraguan itu hanya sebentar. Sekejap kemudian, firasat tidak enak menyelimuti hatiku. Guruku pernah berkata, dulu Taoisme sering menggunakan jimat pencari yin untuk mendeteksi keberadaan hantu atau makhluk yin. Tanpa itu, bahkan Mata Ketiga pun tak bisa mengenali kondisi tertentu seperti kerasukan. Membutuhkan tingkat Mata Ketiga yang tinggi untuk melihatnya. Sayangnya, jimat pencari yin sudah punah. Kini yang mengklaim sebagai jimat pencari yin hanyalah jimat palsu tanpa tenaga dalam.
Andai ada satu jimat pencari yin, misi kami kali ini tidak akan sepasif ini.
Tentu saja aku juga tidak punya jimat pencari yin. Yang bisa kandalkan hanyalah indera spiritualku. Entah dari mana rasa percaya diri ini, tiba-tiba aku berdiri dan berteriak ke arah pria yang hampir masuk semak: "Tunggu sebentar!"
Mengandalkan mata biasa memang tak cukup. Tapi dengan jarak dekat, Taoisme punya banyak cara untuk memastikan apakah seseorang dirasuki atau tidak.
Pria itu benar-benar berhenti, tapi tak menoleh. Semua orang termasuk Guruku memandangiku bingung. Tak kuhiraukan, aku berjalan mendekat untuk memeriksanya secara langsung. Saat ini lebih baik menyinggung orang daripada mengambil risiko. Bupati Tua yang jadi hantu sekaligus zombie ini – siapa yang berani lengah?
Saat aku berjalan mendekat, orang itu tiba-tiba menoleh dan tersenyum sinis ke arahku. Guruku yang juga menyadari keanehan segera membentak, "Tahan dia!"
Namun tak disangka, orang itu malah mengangkat senjatanya dan membidikku, kemudian menarik pelatuk...
Aku hanya ingin menahannya untuk memeriksa kecurigaan, tapi lupa bahwa jika penjaga ini benar-benar dirasuki, bukankah senjata di tangannya sangat berbahaya?
"Dasar, awas...!" Tiba-tiba ada yang mendorongku dari belakang hingga terjatuh. Kulihat Qinhuai terluka peluru di lengannya, padahal tembakannya tadi mengincarku.
Akhir-akhir ini aku merasa diri seperti pembawa sial, bukan cuma diriku sendiri yang celaka tapi juga menyeret orang lain.
Atas perintah Guruku, semua mulai bergerak untuk mengepung penjaga itu. Dengan ekspresi nekat, si penjaga asal menembakkan senjatanya walau tidak tepat sasaran, tetap melukai beberapa orang.
Orang-orang masih ragu karena ini mantan rekan mereka yang masih hidup. Tapi sang penjaga yang sudah bukan diri sendiri itu menembak tanpa ampun.
Sebagai komandan operasi, Guruku tak bisa membiarkan situasi ini. Dengan berat hati dia memerintahkan, "Tembak dia."
Setelah dirasuki Bupati Tua, kemungkinan hun-nya kembali ke tubuh sudah sangat kecil. Hui Jue sedang memimpin ritual formasi besar pelepasan arwah. Jika hun-nya tidak ditahan oleh Bupati Tua, kemungkinan besar akan tertarik secara tak sadar ke formasi pelepasan arwah. Singkatnya, yang berdiri di depan kita bisa dikatakan hanya mayat hidup yang dikendalikan orang lain.
Perintah Guruku terlihat kejam karena peristiwa kerasukan sebenarnya masih bisa diselamatkan. Namun kenyataannya ini solusi paling realistis, mengingat hantu jahat yang merasukinya adalah Bupati Tua.
Perintah Guruku dijawab dengan keheningan dan beberapa tatapan penuh kemarahan dari teman dekat almarhum saat masih hidup, yang jelas tidak bisa menerima keputusan Guruku.
Tapi apakah ini saatnya untuk berpanjang lebar? Guruku mengulangi: "Jangan lupa kalian adalah penjaga! Tembak!"
Akhirnya seseorang menarik pelatuk. Namun reaksi mayat itu lebih cepat - melemparkan senjata dan berlari dengan kecepatan tak wajar menuju balai leluhur tempat Hui Jue melakukan ritual.
Melihat ini, Guruku langsung mengejar. Aku melirik Qinhuai yang langsung berkata: "Aku baik-baik saja." Aku pun ikut mengejar bersama beberapa penjaga lainnya.
Para penjaga ini sangat terlatih. Selama pengejaran, mereka terus menembak sambil berlari. Bagaimanapun, prioritas utama adalah mengeluarkan Bupati Tua dari tubuh penjaga itu.
Tidak disangka, penjaga itu sepertinya sama sekali tidak takut pada peluru. Dia hanya menoleh ke arah kami sesaat. Di detik berikutnya, kulihat dia mengeluarkan benda ungu dari saku celana dan memasukkannya ke mulut, lalu menelannya tanpa ragu.
Apa sebenarnya benda ungu itu? Di kegelapan malam ini, seharusnya penglihatanku tak cukup tajam untuk melihat benda di tangannya. Tapi benda ungu itu memancarkan cahaya samar, mustahil untuk tidak terlihat.
Setelah menelan benda itu, penjaga itu justru memperlambat langkah dan berjalan menghampiri kami. Keajaiban terjadi - meskipun peluru mengenai titik vitalnya, dia tetap tidak roboh dan terus berlari ke arah kami.
Guruku yang tadinya berlari di belakangku tidak melihat aksi penjaga itu menelan tumbuhan ungu. Namun melihat kejadian ini, wajahnya berubah pucat. "Sial, kita terjebak! Cheng Yi, kau pulang dulu. Jika ada yang tidak beres, aktifkan formasi besar untukku. Ini benda Pusat Formasi. Monster ini tak bisa mereka hadapi, aku harus membantu!"
Sambil berkata demikian, Guruku mengeluarkan sebuah benda dari kantong kain kuningnya. Kulihat itu adalah bendera komando - bendera terbesar dari satu set bendera, yaitu bendera Pusat Formasi. Delapan bendera formasi lainnya pasti sudah dipasang Guruku. Cukup dengan menancapkan bendera ini dan membaca mantra, formasi besar akan aktif.
"Guru, mantranya?" tanyaku buru-buru.
Saat itu, monster itu sudah berlari ke depan seorang penjaga, membuka mulut hendak menggigit. Guruku melemparkan sebuah buku kecil padaku sambil berteriak: "Jangan sampai tergigit, cepat mundur! Hancurkan kepalanya atau patahkan tulang belakangnya!"
Aku tidak berminat tinggal di sini. Aku berbalik dan berlari kembali. Menurut adat, mantra yang diturunkan secara lisan tidak boleh dicatat dalam buku. Pasti Guruku sudah mengantisipasi keadaan darurat sehingga mencatat mantra ini sebelumnya. Jadi urusan kali ini tidak boleh ditunda.
Aku tak ingin memikirkan penyebabnya. Orang lain tidak tahu, tapi aku tahu. Pusat Formasi dari formasi besar itu tepat berada di belakang batu besar tempatku duduk tadi.
Beberapa menit kemudian, aku akhirnya sampai kembali ke tempat semula. Tapi kulihat semua orang berjongkok dengan wajah ketakutan, termasuk Qinhuai yang wajahnya pucat pasi.
Aku melangkah besar ke depan dan menggenggam bahu Qinhuai: "Qinhuai, Qinhuai, kau tidak apa-apa? Sebenarnya ada apa?"
Qinhuai menatapku: "Dia muncul dari dalam tanah. Dia bersembunyi di dalam tanah."
"Siapa?" Aku tak langsung paham maksudnya.
"Seorang monster hitam. Ketika muncul, ada orang yang kebetulan berdiri di samping gundukan tanah itu. Langsung dibunuhnya." Qinhuai gemetar. Hatiku berat. Aku tahu Qinhuai melihat siapa - dia melihat Bupati Tua.
Aku berusaha tenang dan melihat sekeliling. Benar, ada mayat dengan perut terburai tidak jauh dari situ. Aku mendekat dan melihat mata korban masih terbuka, wajahnya membeku dalam ekspresi ketakutan. Saat mencoba menutup matanya, kurasakan tubuhnya masih hangat.
Aku paham maksud Guruku. Hun dan po keluar, merasuki tubuh, mengalihkan perhatian kami, lalu mayat zombie yang bersembunyi di tanah muncul mengambil kesempatan. Apa tujuan Bupati Tua? Bagaimana Guruku bisa mengetahui ini?
Tapi ini bukan saatnya berpikir. Dengan bendera komando di tangan, aku langsung menuju belakang batu besar. Aku harus mengaktifkan formasi! Kemarahan dalam hatiku tak terperikan. Sudah dua orang tewas di pihak kami.
