Ilmu Xiaomao, sebelumnya sudah pernah kulakukan sekali. Kali ini pemanggilannya jauh lebih lancar. Tapi kali ini, aku benar-benar kehilangan kendali. Semua yang kupanggil adalah hantu tingkat xian. Penampilan Hui Dàye membuat hatiku terasa sakit yang tak terucapkan, rasa sakit yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Guruku juga sama sepertiku! Jika tidak, dia takkan menggunakan 36 jurus tongkat penghalau yang katanya melanggar hukum alam itu.
Saat membuka mata, kekuatan dahsyat membanjiri jiwaku. Kekuatan ini masih menyimpan hawa dingin yin yang ekstrem. Berbeda dengan keganasan sebelumnya, kali ini hatiku dipenuhi keinginan membunuh untuk menghancurkan segalanya.
Ini kelemahan ilmu Xiaomao. Kita hanya bisa membedakan mana yang kuat, tapi tak bisa mengenali karakter hantu yang dipanggil. Makanya memanggil hantu termasuk ilmu rendahan. Meski hantu jadi xian, tetap saja makhluk jahat. Mungkin mereka hanya kuat dan lolos takdir buruk, bukan berarti bebas karma atau tak berbuat jahat.
Efek ilmu Xiaomao paling merusak tubuh. Berbeda dengan ilmu Zhongmao atau Shangmao yang membawa energi positif.
Kulihat guruku bertarung sengit dengan Bupati Tua. Guruku terlihat compang-camping, bajunya robek-robek, wajahnya kemerahan tak wajar - tanda tenaga dalamnya terkuras habis.
Toh guruku bukan Guru Leluhur. Andai Guru Leluhur yang menggunakan tongkat ini, mungkin Bupati Tua sudah ditaklukkan. Sebab tenaga dalam Guru Leluhur tak terukur dalamnya.
Namun beruntungnya, Guruku tidak terluka, justru tubuh Bupati Tua bertambah banyak bekas luka yang mengeluarkan asap kehijauan. Tapi melawan Bupati Tua memang tidak boleh terluka. Pertama, karena hampir semua yang terkena serangannya tewas. Kedua, aku teringat peringatan Guruku: jangan sampai tergigit, akibatnya pasti sangat parah!
Melihat kondisi Guruku seperti ini, aku sudah tidak peduli lagi. Menghadapi zombie, semua segel tangan terkait luka roh tidak terlalu efektif. Langsung kugunakan segel Lima Petir seperti Yuan Yi. Petir yang kupanggil adalah petir langit. Karena sedang bertarung habis-habisan, aku tidak menyisakan tenaga cadangan.
Anehnya, kali ini gerakan segel petir tidak seperti sebelumnya yang penuh hambatan dan tersendat. Sebaliknya, segel tanganku terbentuk lancar sempurna. Aku sudah terhubung dengan petir, merasakan udara penuh energi listrik liar yang siap meledak.
Hui Dàye melihatku membentuk segel Lima Petir, tiba-tiba berseru: "Cheng Yi, hentikan! Ritual pelepasan arwah Hui Gen'er hampir selesai. Tahan lima menit, lalu bersama gurumu bentuk segel petir!"
Guruku juga melihat gerakanku. Dengan berteriak, ia menyapu kaki Bupati Tua menggunakan cambuk debu hingga terjatuh: "Ling Qing, Sun Kui, bertindak sekarang!"
Di langit, awan hitam bergulung-gulung. Angin kencang meraung membawa bau hujan yang pekat tercium jelas. Formasi besar hampir mencapai puncak pengumpulan energinya.
Aku tak tahu mengapa harus menunda lima menit. Aku memaksa menghentikan gerakan segel tangan, namun karena tenaga dalam terpental kembali, darah muncrat dari mulutku. Guruku tak sempat menjelaskan panjang lebar, langsung menarik lenganku sambil berkata, "Keluar!"
Aku menahan gejolak niat membunuh yang dingin membeku di hati, hasrat untuk menghancurkan tanpa ampun. Dengan susah payah aku membiarkan guruku menyeretku keluar dari balai leluhur dengan langkah terhuyung.
Guruku tahu aku sedang berjuang menekan makhluk yang merasukiku. Beliau tak mempermasalahkan sikapku, sebab ritual Mao harus diselesaikan secepat mungkin - semakin ditunda semakin berbahaya. Tapi di saat seperti ini, semua orang sudah mempertaruhkan nyawa. Masalah kecil apa lagi ini?
Benar! Setiap praktisi spiritual harus punya batasan tegas antara benar dan salah. Ada hal yang tak boleh dilakukan, ada pula yang wajib dikerjakan!
Saat guruku menarikku keluar, Bupati Tua langsung menerjang Hui Jue tanpa ragu. Toh tujuan akhirnya adalah membinasakan Hui Jue dan muridnya, mencegah dunia dendam runtuh. Aku cemas, tapi tiba-tiba bayangan merah melesat ke arah Bupati Tua lalu menempel di belakang kepalanya, menggigit keras!
Belum sempat kulihat jelas, guruku sudah menyeretku berlari keluar balai. Kami berhenti di tempat berjarak sepuluh meter. Baru saja berpijak, kulihat tubuh Bupati Tua sudah dipenuhi ulat-ulat merah itu. Ia terpaku tak bisa bergerak sama sekali.
"Ulat merah apa itu? Apakah Nenek Ling Qing dan Ruyue akhirnya bertindak?" Aku tidak punya keahlian khusus dalam mengidentifikasi ulat, hanya bisa melihat samar-samar bahwa ulat merah itu mirip kalajengking, tapi tidak sepenuhnya. Kapan kalajengking punya sayap?
Siluet Nenek Ling Qing muncul di halaman balai leluhur, memegang alat musik aneh yang ia tiup dengan susah payah. Di sampingnya berdiri Ling Ruyue yang juga memegang alat musik serupa, tampak lebih kesulitan karena kulihat seluruh tubuh nona kecil itu bergetar.
Tiba-tiba kilat menyambar langit, Guruku berkata: "Cheng Yi, jika kali ini kita harus mati, apakah kau takut?"
"Aku takut, tapi bertarung habis-habisan pun sama saja akan mati." Aku berteriak keras, namun mengucapkan kalimat ini sangat menyiksa karena harus menekan kekuatan Hantu Dewa dalam tubuhku. Aku ingin segera mengaktifkan Lei Jue untuk menghantam Bupati Tua.
"Tempat ini adalah area terkuat dari formasi besar, kau tahu? Rencana kita adalah mengurung Bupati Tua di sini lalu menghancurkannya. Tapi... Bupati Tua lebih kuat dari perkiraanku, karena... Singkatnya, petir yang kupanggil sendirian tidak cukup, butuh bantuanmu." Guruku bicara seolah banyak yang ditahan-tahan, namun aku paham maksudnya: formasi ini buta, akan melukai Bupati Tua dan kita sekaligus.
“Guruku, aku masih punya banyak hal yang belum kulakukan. Aku tidak akan mati.” Aku berteriak keras karena desiran angin yang kencang memaksaku bersuara lantang. Namun teriakan ini justru terasa membebaskan, memberi keyakinan lebih pada kata-kataku.
“Benar, aku juga punya urusan penting yang belum terselesaikan. Kami tidak akan mati.” Guruku juga membalas dengan suara keras.
“Mati pun tak apa, Guruku. Di kehidupan selanjutnya, kau harus tetap jadi guruku.” Tiba-tiba semangatku membara. Berada di ambang hidup-mati, pasti Guruku sudah sering mengalaminya. Sekali saja kualami, apa salahnya? Setidaknya kini aku bukan lagi anak kecil yang bersembunyi di belakang Guruku.
“Sudah kukatakan, kami tidak akan mati.” Suara Guruku kini tenang. Kilat yang semakin banyak menyambar langit menerangi wajahnya. Kulihat keyakinan tak tergoyangkan di matanya. Entah ucapan mana dariku yang memberinya keyakinan sekuat itu.
Saat kami berbincang, Bupati Tua sudah sepenuhnya ditekan oleh ulat-ulat di halaman. Sun Qiang yang tak kulihat selama dua hari terakhir muncul sambil mengikat tubuh Bupati Tua dengan tali berwarna lima - leher, tangan, kaki...
Ulat-ulat terus berjatuhan mati, namun yang baru terus menggantikan. Kulihat Nenek Ling Qing dan Ruyue sama-sama bergetar. Aku tak paham Ilmu Gu, tapi pasti sangat melelahkan mengendalikan ulat sebanyak ini.
Setelah mengikat Bupati Tua, Sun Qiang mundur. Kulihat dia mengeluarkan kotak dan menyerahkannya kepada kakeknya yang sedang menunggu di samping. Tapi kakek tua itu menolak kotak tersebut. Mungkin karena terlalu keras, kotak itu terjatuh. Kulihat warna merah tumpah di tanah - isi kotak itu adalah Vermilion.
Aku tahu mereka berdua kakek-cucu ini adalah pemandi mayat, tapi aku tidak mengerti cara kerja detail mereka. Tapi mengapa kakek Sun Qiang menolak Vermilion yang diberikan cucunya?
Tak sempat berpikir panjang, dalam cahaya balai leluhur kulihat kakek Sun Qiang mengeluarkan benda mirip paku besar. Dia menusukkannya ke jantungnya sendiri! Apa yang hendak dilakukannya?
Aku berjuang keras menahan Hantu Dewi hingga tak bisa berteriak. Tiba-tiba kudengar Guruku berteriak histeris: "Sun Kui, kau mau apa? Memaksa menggerakkan zombie dengan Roh-mu sendiri, kau akan mati!"
Juga kudengar Sun Qiang berteriak: "Kakek!" Sambil berteriak, dia tiba-tiba berlari ingin merebut paku besar dari tangan orang tua itu.
Aku pertama kali tahu, orang tua itu bernama Sun Kui. Saat ini dia berteriak keras: "Kematian seseorang ada yang seberat Gunung Tai, ada yang seringan bulu angsa. Lao Jiang, Qiangzi, kalian jangan halangi aku. Bertahun-tahun jadi pengusung mayat, tubuhku sudah dipenuhi aura kematian. Laporan rumah sakit menyatakan aku mengidap penyakit terminal, tinggal menunggu hari. Biarkan aku melakukan sesuatu yang heroik kali ini. Dari dulu sampai sekarang, orang selalu memandang rendah tukang mayat, tapi mereka tak tahu kami juga hebat. Hahaha..."
Ini lagi-lagi pertama kalinya aku mendengar orang tua bernama Sun Kui bicara sebanyak ini. Namun ucapannya begitu mengguncangku. Kulihat Sun Qiang jongkok lesu sambil memeluk kepala, mungkin sedang menangis tersedu-sedu. Tapi tak bisa disalahkan kalau dia tak kuat, karena aku pun ingin menangis.
Guruku memandang pemandangan ini dengan pikiran yang tak jelas. Tiba-tiba dia berkata padaku: "Cheng Yi, kau sudah dewasa. Barusan larinya bahkan lebih cepat dari gurumu."
Aku tak paham maksud ucapan guru ini. Secara refleks kuucapkan: "Guru, tadi kau tidak pakai ilmu bela diri ringan, malam ini..."
Ingin kukatakan bahwa malam hari sulit menggunakan ilmu bela diri ringan, tapi guruku menyela: "Sun Kui kali ini mungkin akan pergi. Generasi tua seperti kami pasti akan pergi, sementara generasi muda seperti kalian harus tumbuh dewasa."
Tiba-tiba guruku berteriak: "Lao Sun, aku sendiri yang akan mengadakan upacara ritual untukmu!"
"Baik! Ingat carikan aku keluarga yang baik di kehidupan berikutnya!" Jawab Sun Kui dengan penuh semangat.
Seketika, air mataku ikut mengalir deras!
