Bersamaan dengan petir pertama Guruku, kejadian aneh terjadi. Sambaran petir itu memicu percikan api kecil di tubuh Bupati Tua yang menyala cukup lama sebelum padam. Bupati Tua menjerit kesakitan, berusaha melawan namun tak berdaya.
Inilah fungsi Formasi Besar Api Petir: mengubah petir menjadi api surgawi!
Petir kedua segera menyambar tubuhnya disusul petir pertama yang kupanggil. Aku terasa terkuras, tapi energi itu segera terisi kembali.
Aku tahu ada hantu dewa perkasa yang mendukungku. Tanpa ragu, kuteruskan hujan petir demi petir bersama Guruku.
Melihat Bupati Tua menjerit-jerit terbakar api petir, hatiku justru dipenuhi perasaan lega yang meluap. Tentu, sebagian karena pengaruh hantu yang merasukiku, sebagian lagi karena terlalu banyak kesedihan yang kusimpan selama ini.
Semua orang terdiam, alam semesta hanya bergema deru guntur. Aku akhirnya paham mengapa Guruku nekat memancing Bupati Tua ke sini. Ternyata sebagian besar petir yang diturunkan dari langit melalui formasi itu terkonsentrasi di area ini. Banyak yang menyambar tubuh Bupati Tua, memicu kobaran api petir yang lebih dahsyat. Sebagian lagi menghujam di sekitar kami, memicu lingkaran api di sekeliling.
Karena tempat ini terlalu berbahaya, orang-orang lain sudah mengungsi ke balai leluhur dipimpin Nenek Ling Qing. Hanya Kakek Sun yang masih duduk memegang pipa rokok lintingan, senyum penuh harap terpancar di wajahnya. Tapi kedua matanya telah terpejam rapat.
Dia telah tiada!
Sambil mengendalikan petir, air mataku mengalir. Hatinya hampa oleh kesedihan yang tak terucap. Begitukah akhirnya?
Saat ini Guruku dan aku sedang mengendalikan petir, sehingga api petir tidak mengenai kami. Tapi mayat Kakek Sun tak terhindarkan dari jangkauan kobaran api. Anehnya, di tengah hujan petir yang begitu padat ini, jasadnya tetap utuh tanpa cedera. Apakah ini perlindungan langit?
Tidak, langit takkan turun tangan untuk urusan remeh ini. Kulihat Guruku mengerahkan tenaga ekstra untuk mengendalikan petir. Seharusnya dia bisa lebih santai. Rupanya dia sengaja melindungi jasad Kakek Sun.
Saat itu, kalajengking merah besar itu telah jatuh ke tanah, Bupati Tua mendapatkan kembali kebebasan bergeraknya, tapi bagaimana mungkin kami membiarkannya?
Kilatan petir turun bertubi-tubi bagaikan jaring listrik yang mengurung Bupati Tua di dalamnya, kobaran api menyala-nyala di dalamnya. Kami terus melihat tubuh Bupati Tua terbakar hebat lalu padam secara misterius, apakah api ini masih belum cukup untuk menghancurkannya?!
Aku terkejut setengah mati, tapi menyadari satu fakta: Bupati Tua terus memasukkan sejenis tumbuhan ungu ke mulutnya. Tumbuhan itu memancarkan cahaya samar, sama seperti yang kulihat sebelumnya...
Aku tahu dia ingin menerjang keluar, ingin memberikan serangan mematikan padaku dan Guruku yang sedang mengendalikan petir dalam keadaan tak berdaya. Tapi dengan gencarnya serangan petir dan api ini, mana mungkin dia berhasil!
72 petir surgawi terdengar banyak, tapi kenyataannya diluncurkan sangat cepat. Tinggal 9 petir tersisa, hatiku mulai panik. Di sekelilingku dan Guruku, kobaran api hebat telah menyala akibat kepadatan petir ini. Bagaimana cara kami keluar?
Tiba-tiba aku teringat perkataan Guruku: "Takut mati?" Rupanya di tempat ini, bahayanya memang sebesar ini!
"Cheng Yi, kendalikan sembilan petir itu untuk jatuh bersamaan! Kita berikan serangan pamungkas lalu kita kabur!" Teriak Guruku tiba-tiba.
Benar! Kulihat Bupati Tua masih punya tenaga untuk melawan. Malah kulihat dia memasukkan benda bulat berwarna ungu ke mulutnya, ada tanda-tanda dia akan menembus kepungan ribuan petir ini. Benda bulat ungu itu apa lagi?!
Jadi, penilaian Guruku tepat, kita harus bertindak dengan serangan yang keras!
Aku berusaha fokus, mengendalikan sembilan petir langit untuk jatuh bersamaan, lalu tujuh petir sisa Guruku juga menyusul. Seolah alam masih merasa kurang dahsyat, tiga petir tegas tambahan menghantam tubuh Bupati Tua!
‘Boom!’ Dentuman dahsyat menggema di alam semesta. Aku dan Guruku terlempar, tubuhku jatuh di samping kobaran api yang panasnya menyengat, membuatku yang sempat linglung langsung tersadar.
Entah ini keberuntungan, tubuhku justru terlempar keluar dari zona petir terpadat, sementara Guruku berada di sampingku.
Baru kurenungkan napas, Guruku sudah menyambar tiga jimat ungu dan berlari kembali. Kuteriakkan "Guruku!", berusaha bangkit. Namun 72 petir tadi telah menghabiskan tenagaku, membuat roh hantu yang merasukiku tiba-tiba pergi.
Tubuhku lunglai, jiwa dan raga sama-sama lemah. Aku tergeletak di tanah, tapi terdengar teriakan Guruku: "Ini belum selesai, aku harus bawa Sun Kui keluar!"
Mataku berkunang-kunang, tapi tak kulepaskan pandangan dari sosok Guruku. Kulihat manusia api menerobos kobaran - itu Bupati Tua? Belum mati juga?
Aku juga melihat guruku memegang tiga lembar jimat, berjalan menghadapi api. Aku menggigit gigi, berusaha keras tidak pingsan, namun merasakan dua pasang tangan menyangga tubuhku. Melihat sekilas, ternyata Nenek Ling Qing dan Ruyue yang menarikku mundur paksa.
Kudengar guruku melantunkan mantra dengan cepat, lalu menata tiga jimat di tanah. Saat itu, manusia api telah menerjang hingga di hadapan guruku. Jarakku cukup jauh, namun tetap bisa merasakan dendam membara dari sosok itu.
Tiba-tiba kulihat gumpalan api yang semula berhamburan melesat ke langit, menyala-nyala mendekat dengan kecepatan luar biasa. Seketika, bayangan guruku dan manusia api itu tersapu dalam kobaran api.
Dadaku sesak menahan pedih. "Guru!!" teriakku sebelum kegelapan menyergap mata dan kesadaranku melayang.
Entah berapa lama, mungkin hanya sekejap, dalam keadaan setengah sadar kulihat bayangan guruku terbakar hebat. Ia meronta-ronta dalam kesendirian yang menyayat hati. Tak ada siapa-siapa... sama sekali...
Jantungku terasa dihantam palu godam. Aku terjaga mendadak, hanya melihat tatapan penuh perhatian Ling Ruyue. Tanpa peduli apapun, aku terus berteriak: "Guru! Guru!!!"
Ling Ruyue menyingkir. Dari balik tubuhnya, kulihat tabir hujan lebat menyelimuti sekitar. Asap kehijauan mengepul di mana-mana, sisa-siapa api petir yang mulai padam diterjang hujan. Lalu... sebuah sosok terlihat sempoyongan, langkahnya tertatih-tatih sambil menggendong mayat di punggung - Guruku!!!
“Air mataku meleleh deras, tak kuasa menahan getar suara bertanya pada Ling Ruyue: 'Ruyue, berapa lama aku pingsan?'”
“Kurang dari dua menit. Baru setengah menit kau pingsan, hujan deras ini langsung turun. Malangnya aku dan nenek harus berdiri di sini menemanimu kehujanan. Kenapa saat pingsan tenagamu masih besar sekali? Mencengkeram kami erat-erat tak mau lepas, ditarik pun tak bergerak.” Ujar Ling Ruyue seolah menyalahkanku, tapi nadanya mulai ringan. Pertarungan mencekam ini akhirnya berakhir. Akhirnya selesai.
Kelegaan seperti ini adalah perasaan yang muncul dari relung hati setiap orang.
Guruku menghampiriku, tetap nekad memanggul mayat Sun Kui di punggungnya. Wajah dan tubuhnya hitam legam bekas jelaga kebakaran. Katanya: “Tiga lembar jimat itu adalah jimat api, paling ampuh memicu kobaran. Apinya mengarah ke Bupati Tua, bukan ke arahku. Aku menghindar. Hujan ini juga turun tepat waktu, kalau tidak, aku dan Lao Sun takkan bisa keluar.”
Formasi petir-api memang pasti disertai hujan, sama prinsipnya dengan Yuan Yi yang memanggil petir langit. Hanya saja ketepatan waktunya yang tak terduga.
Tapi, Sang Khalik! Kapan pernah kehendak-Nya bisa ditebak manusia?
Rasa lemas bergelombang menerpaku. Beberapa hari ini bagaikan terus mengitari tepian hidup-mati. Aku lelah, sangat lelah. Ingin tertidur saja, tapi belum bisa. Masih ada yang kukhawatirkan – Hui Jue.
Guruku tidak mau meletakkan mayat Kakek Sun, hanya membopongnya sambil berjalan di depan. Aku dibopong oleh Nenek Ling Qing dan Ling Ruyue, merasa agak malu, tapi kakiku benar-benar tak bisa melangkah lagi.
Guruku memasuki balai leluhur, meletakkan mayat Kakek Sun. Ia menepuk bahu Kakek Sun lalu berjongkok di depannya sambil menyalakan sebatang rokok lintingan. Sun Qiang tiba-tiba menerjang, memeluk Kakek Sun sambil menangis histeris memanggil "Kakek".
Tak ada yang berusaha memisahkan Sun Qiang. Jika sedih, biarlah kesedihan itu mengalir bebas. Kakek Sun telah tiada, kesedihan ini layak ditumpahkan sepenuhnya.
Ini berbeda dengan Yuan Yi yang masih hidup. Aku masih menanggung konsekuensi yang harus kutebus.
Suara lemah menyela, berasal dari Hui Jue: "Huigen, bantu aku ke sisi Kakek Sun."
Huigen mengangguk patuh, membimbing Hui Jue perlahan mendekati Kakek Sun. Hui Jue memandangi Kakek Sun sambil masih memegang setengah telur berdarah, bergumam: "Kau sekutu Jiang Lichun si brengsek. Kalian selalu merokok lintingan, aku makan telur. Kantong rokokmu belum habis, telurku juga belum selesai. Sepertinya aku akan menemanimu segera."
Gurku tiba-tiba menoleh marah: "Kakek Sun mati tanpa penyesalan. Kau begitu? Sudah kukatakan, kau tak boleh mati!"
