“Saya berharap hari ini bisa pulang setelah memeriksa area perikanan dengan lancar. Jika begitu, siang nanti saya bisa makan enak di rumah Bupati Tua. Bupati Tua bilang, paling lambat 2 hari lagi, seluruh desa akan sibuk karena saat itu area perikanan akan panen.”
“Makan enak, panen area perikanan, memikirkan semua ini membuat hidup terasa begitu indah. Dari sudut pandang manapun, harapan saya ini sangat biasa. Tapi Dewata memang punya kemampuan untuk menggagalkan harapan sederhana sekalipun! Perahu berputar-putar di air, langit bergemuruh dengan badai, hujan lebat mengguyur, permukaan air menggelembung seperti air mendidih – inilah realita kejam! Saya tak mengerti, kenapa hari yang cerah berangin lembut tiba-tiba berubah seperti ini. Di atas perahu, saya panik luar biasa.”
“Situasi di tepi sungai juga tak lebih baik. Kerumunan orang mulai gaduh dan panik. Dalam terpaan angin hujan, saya melihat orang tua dan kedua kakak perempuan saya berteriak-teriak di tepian. Hati terasa pilu. Saya tak mau mati. Saya ingin hidup. Masih banyak hal belum saya lakukan. Belum berbakti pada orang tua, belum menikah punya anak, belum...” Memikirkan ini, mata saya terasa panas. Saya mati-matihan mendayung perahu ke tepi, tapi dalam badai ini perahu sama sekali tak mau menurut.”
“Jangan sembarangan mendayung! Biarkan perahu mengikuti arus...” Suara Bupati Tua tepat waktu bergema. Sampai detik ini beliau masih mengkhawatirkan warga.”
Mendengar perkataan Bupati Tua, hatiku sedikit tenang dan tidak lagi asal menggerakkan perahu. Bukan hanya aku, semua orang juga tidak terlalu panik lagi. Selama ini di desa, warga sudah terbentuk ketergantungan psikologis pada Bupati Tua. Seolah mengonfirmasi perkataannya, setelah Bupati Tua berteriak beberapa kali, angin dan hujan tiba-tiba mereda, permukaan air pun menjadi lebih tenang. Akhirnya kami bisa mendayung dengan lancar. Semua orang lega. Aku mengusap air hujan di wajah, lalu dengan gembira mengambil dayung bersiap mendayung kembali ke tepi.
Namun tiba-tiba, di permukaan air sebelah sana muncul ombak besar yang bergerak cepat mendekati kami. Apa itu? Semua orang membelalakkan mata penuh ketakutan, tidak tahu apa yang tersembunyi di balik ombak besar itu. Di tepian, seseorang tiba-tiba berlutut. Kulihat itu adalah Pendeta Tua desa. Karena jaraknya jauh, aku tidak bisa mendengar jelas, hanya samar-samar menangkap kata-kata seperti "Dewa Sungai murka".
Perkataan ini membuat hati semua orang semakin panik, tak tahu siapa yang memulai, semua mulai mendayung sekuat tenaga ke tepi sungai. Aku juga termasuk, terutama ketika melihat ayahku yang sudah berdiri di air dengan kedua kaki hampir tenggelam, hatiku semakin gusar. Tapi dibandingkan warga desa lain, teknik mendayungku tidak terlalu baik, segera aku tertinggal di belakang. Bupati Tua lagi-lagi memperlambat kecepatannya, mulai menggunakan dayungnya untuk mendorong setiap orang. Dengan dorongan ini, perahu pun melaju lebih lancar, aku segera menyusul langkah mereka.
Aku memandang Bupati Tua dengan penuh rasa terima kasih, melanjutkan mendayung ke depan. Tak perlu terlalu khawatir dengan Bupati Tua, lagipula teknik mendayungnya memang yang terbaik di desa. Benar saja, Bupati Tua segera menyusul, tak lama kemudian sudah berada di depan. Semua orang berusaha mati-matian mendayung ke depan, bayangan ombak besar itu membebani hati setiap orang seperti batu berat. Tepi sungai yang awalnya terlihat dekat, kini seolah jauh tak terjangkau, sejauh jurang antara hidup dan mati.
Orang-orang di tepi sungai berteriak histeris memanggil keluarga mereka. Keluargaku juga begitu. Saat ini, sanak keluarga di tepian menjadi sumber kekuatan terbesar. Hanya Bupati Tua, entah mengapa, siluet punggungnya terlihat begitu sepi. Selama ini dia selalu kesepian, semua tahu di desa ini dia hampir tidak punya keluarga kecuali seorang keponakan jauh.
Aku merasa agak kasihan pada Bupati Tua, tapi karena terlena sebentar, aku kembali tertinggal. Segera kuhentikan pikiran lain dan mulai mengayuh sekuat tenaga. Sebenarnya saat ini, siapa yang tidak punya sedikit pikiran egois? Seperti dua orang dikejar harimau, jika tak bisa lari lebih cepat dari harimau, cukup mengalahkan orang lain untuk mendapat kesempatan hidup.
Mana mungkin Dewa Sungai memakan semua orang? Hanya yang paling belakang akan 'celaka', logika ini siapa yang tak paham? Bahkan aku mengerti! Aku ingin hidup, tak rela meninggalkan keluarga. Perlahan, pandanganku pada orang sekitar mulai tidak ramah. Di hadapan hidup-mati, warga desa yang dulu kini menjadi pesaing. Salahkah ini? Aku tak tahu! Yang kuketahui hanyalah aku benar-benar tak ingin mati. Saat semua berebut maju, Bupati Tua tiba-tiba berhenti. Meski sedang mengayuh kencang, aku tetap menyadari kejadian ini. Ada apa?
Kemudian kudengar Bupati Tua berteriak: "Tolong aku, bantu pegang perahu! Perahuku bocor."
Dadaku sesak. Mengapa perahu Bupati Tua bocor di saat seperti ini? Bukankah ini jelas-jalem menghilangkan nyawa? Aku menelan air liur, bersyukur perahuku tidak bocor sekarang.
Selanjutnya kulihat Bupati Tua meminta bantuan ke sana kemari, tapi perahu-perahu di sekitarnya terus melintas tanpa ada yang menoleh. Hatiku sakit. Sejujurnya Bupati Tua orang baik. Melihatnya seperti ini, aku tak tega, tapi... perahuku hampir sampai di dekatnya. Apa yang harus kulakukan?
Perahu kecil seperti ini, menambah satu orang pasti memengaruhi kecepatan, menyelamatkannya sama saja dengan mengorbankan nyawa kita berdua! Tapi sebelum aku mendayung mendekati Bupati Tua, sudah kulihat perahunya nyaris tenggelam. Sebesar apa lubangnya sampai perahu bisa tenggelam secepat itu? Belum sempat aku berpikir lebih jauh, permukaan air yang sudah tidak tenang akibat ombak tadi tiba-tiba diguncang gelombang dahsyat, langsung menggulingkan perahu Bupati Tua yang sudah goyah itu.
Bupati Tua terjatuh ke air! Dadaku kembali sesak, sengaja tidak menoleh ke arah sana. Aku enggan mengakui, meski merasa kasihan pada Bupati Tua, aku tidak punya keberanian untuk menyelamatkannya karena belum siap mati demi menolong orang. Mungkin Bupati Tua memang terpilih oleh Dewa Sungai? Lagipula lebih baik satu orang mati daripada dua orang? Aku masih sangat muda! Bisa jadi Bupati Tua yang sudah sepuh itu... Dengan berpikir begitu, hatiku agak lega, seolah menemukan pembenaran kuat untuk tetap tak menyelamatkannya.
Di tepi sungai saat ini, orang-orang terdiam. Tak ada yang berteriak menyuruh menyelamatkan Bupati Tua. Kulihat ke arah keluargaku, mereka menunduk malu dalam kesunyian. Benar, yang punya keluarga tentu ingin orang tercinta selamat, tak mau mereka jadi korban. Yang tak punya ikatan darah, karena posisi rumit nan pelik, memilih diam. Bagaimanapun kita sesama warga desa yang saling mengenal. Jika sembarangan menyuruh orang menyelamatkan, lalu mati siapa yang bertanggung jawab? Pikiran manusia kadang begitu ruwet. Karena keruwetan inilah penilaian benar-salah tak murni lagi. Inilah ironi kemanusiaan, dan aku pun terperangkap dalam ironi yang sama.
Perahu melesat cepat. Aku melihat pemandangan yang membuat darahku mendidih - seseorang mengangkat dayung menghantam tangan Bupati Tua, sementara teriakan "Jangan sampai perahuku terbalik!" menggema.
Jantungku kembali perih. Kupalingkan wajah sambil bergumam dalam hati: Aku takkan ikut memukul, cukup dorong saja, dorong Bupati Tua menjauh! Sambil berpikir demikian, dayungku terus mengayun. Tanpa sadar kuhindari area itu, tak mau terlibat. Tak kuasa menghentikan orang lain, tapi tak bisa mengubah keegoisanku. Aku kasihan pada Bupati Tua, tapi apa yang harus kulakukan? Namun lari dari masalah tak pernah jadi solusi. Akhirnya perahuku sampai di depan Bupati Tua. Entah karena naluri, tanpa sadar kuperlambat laju perahu.
Pada saat itu juga, tangan Bupati Tua yang sudah hancur karena hantaman menyentuh pinggiran perahuku. Melihat tangan itu, hatiku terasa sakit. Apakah mereka sudah gila? Dia adalah Bupati Tua kami! Sekalipun tidak mau menolong, mengapa harus menghantam orang tua sampai seperti ini? Sebenarnya aku sudah memutuskan untuk tidak menggunakan kekerasan, hanya ingin mendorong Bupati Tua. Bagaimanapun, tangannya sudah dalam kondisi seperti ini, mungkin hanya bisa menempel di pinggiran perahu tanpa tenaga untuk benar-benar mencengkeram.
Aku mengangkat dayung, bermaksud mendorong Bupati Tua. Aku tahu keponakannya masih di belakang, mungkin sang keponakan bisa menyelamatkannya. Namun di saat itu, tanganku tak kuasa bergerak. Aku melihat mata Bupati Tua - penuh keinginan untuk bertahan hidup, rasa berat untuk pergi, sekaligus keputusasaan yang menyayat hati. Ada saat-saat dimana kau tak boleh menatap mata seseorang seperti ini, karena akan menjadi mimpi buruk yang tak terlupakan seumur hidup. Informasi yang terpancar dari tatapan itu langsung menembus relung hati terdalam.
Tiba-tiba aku merasa wajahku memanas dan memerah. Apakah Bupati Tua tahu bahwa aku tidak akan menyelamatkannya? Benarkah aku tidak mau menolong? Di depan mataku muncul bayangan diriku kecil yang merengek ingin menjadi pahlawan perang, sikap jijik alami terhadap penjahat sejak kecil, dan keinginan kuat untuk bertindak heroik... Aku teringat Bupati Tua yang selalu tersenyum mengajakku makan di rumahnya, ingat betapa tulusnya dia membantu setiap orang. Pantaskah dia mendapat akhir seperti ini? Pantas?! Jika orang baik seperti Bupati Tua saja diperlakukan begini, bagaimana jika aku yang terjatuh ke air? Jika semua orang memperlakukanku seperti ini, apa yang akan kurasakan? Bagaimana jika seluruh penduduk desa kami dalam kesulitan dan desa lain memperlakukan kami seperti ini? Kami ini manusia!! Bukan binatang berdarah dingin! Selamatkan, selamatkan dia! Meski mati, lebih baik mati daripada hidup dengan penyesalan! Aku mengulurkan kedua tangan, menggenggam lengan Bupati Tua, lalu menariknya naik ke perahu.
