Stasiun tak jauh dari rumahku. Duduk di gerbong, aku berbincang santai dengan Paman Hu: "Paman Hu, selama bertahun-tahun tidak pulang, kota kecamatan ini jadi sangat ramai ya?"
“Kau ini terlalu lama di kota besar, jadi tinggi selera? Ini mana kota kecamatan? Ini kota kabupaten!” Paman Hu berkata sambil menyetir.
Pipiku memerah. Aku terus menyebut kota kabupaten sebagai kota kecamatan. Bukan karena seleraku tinggi, tapi karena bertahun-tahun tidak pulang, ingatanku samar sampai tak bisa membedakan kota kecamatan dan kabupaten.
Sebenarnya bukan hanya kota kecamatan dan kabupaten yang tak bisa kubedakan. Melihat jalan-jalan di luar jendela, semuanya terasa asing bagaikan di tempat lain. Untungnya setelah melewati jalan ramai itu, kawasan tua berikutnya masih menyimpan banyak bangunan familiar yang memberi sedikit rasa pulang ke rumah.
"Di dalam hatiku, baik kota kecamatan maupun kota kabupaten, semuanya terasa asing. Kampung halamanku hanyalah desa kecil yang tenang, bekas tempat kerja yang terbengkalai, dan pondok kecil yang tersembunyi di antara rumpun bambu. Apakah mereka telah berubah?"
Saat aku sedang melamun, gerbong kereta tiba-tiba berhenti. Paman Hu menoleh padaku: "Si bocah nakal, kita sudah sampai. Ayo turun!"
"Sampai?" Aku bingung menatap keluar jendela gerbong, tak menyangka sudah tiba di rumah.
Karena yang terlihat di depan adalah jalanan baru yang lebar, bersih, dan ramai. Padahal jelas-jelas kuingat rumah kami berada di sebuah gang dekat gerbang sekolah. Kenapa bisa di sini?
Paman Hu menepuk bahuku: "Daerah ini dekat Sekolah Menengah Kabupaten, sejak dulu sudah jadi kawasan emas. Wajar kalau diubah begini. Nanti turun kau akan paham. Orang tuamu cukup sukses di kota kabupaten."
Dengan perasaan bingung dan sedikit takut, kuangkat barang-barangku turun. Paman Hu memarkir gerbong sambil membawa barang bawaanku. Kami berjalan menyusuri jalan asing ini, anehnya kakiku terasa lemas.
Belum sampai lima menit berjalan, Paman Hu menarik lenganku: "San Wa'er, ini dia. Sudah sampai di rumah."
Kutatap penuh keheranan rumah tiga lantai yang cantik ini. Sulit dipercaya ini rumah kami.
Dalam ingatanku, rumah kami hanya dua lantai. Lantai dasar ada dua toko: satu menjual alat tulis dan jajanan siswa, satunya diubah menjadi kedai Malatang. Lantai atas untuk tempat tinggal.
Tapi bangunan tiga lantai di depan ini tampak megah. Lantai pertama memiliki tiga toko besar: satu toko buku, satu restoran kecil yang apik, dan satu toko alat tulis cantik.
Sepertinya di lantai atas masih tergantung papan nama bertuliskan "kursus tambahan" semacam itu. Apakah ini rumahku?
Segudang pertanyaan mengisi kepalaku, tapi Paman Hu tak memberiku kesempatan bertanya. Ia langsung berteriak dari bawah: "Lao Chen, Lao Chen! Cepat turun! Jangan lupa ajak Xiuyun juga!"
Dari atas segera ada jawaban: "Lao Hu, ada apa? Aku akan segera turun bersama Xiuyun."
Suara itu terdengar tua namun sangat familiar. Hatiku berdegup kencang - itu suara Ayahku! Entah mengapa, mendengar suaranya aku justru ingin lari, enggan berhadapan. Aku sendiri tak paham apa yang kutakutkan.
Paman Hu merasakan gejolak emosiku. Ia meletakkan tangan di bahuku: "Orang tuamu sudah tidak tinggal di sini. Mereka membeli apartemen di kota kabupaten. Toko-toko di lantai ini disewakan. Tapi lantai tiga masih disewakan murah untuk murid dan orang tua murid - kau tahu, Sekolah Menengah Kabupaten ramai siswa. Ayahmu bilang ini sebagai amal untuk mengumpulkan pahala bagimu. Bukankah kau baru saja mengirim banyak barang? Mereka sedang sibuk mengatur ruangan khusus untuk menyimpan barang-barang itu."
Paman Hu berbicara padaku, tapi karena gugup, aku hampir tidak mendengarnya. Aku diam saja, hanya melihat siluet seseorang keluar dari lorong, lalu tertegun memandangiku. Kemudian siluet lain muncul dari lorong, sama-sama terpaku memandang ke arahku...
Yang pertama keluar adalah Ayahku, disusul oleh Ibuku.
Begitu melihat mereka, aku tidak bisa menahan diri lagi. Pada detik ini, seolah dunia lenyap. Mataku hanya menatap dua sosok ini. Awalnya tak ingin menangis, tapi begitu melihat mereka, mataku bagai bendungan yang jebol, air mata tak terbendung.
Hanya beberapa detik tatapan singkat itu, wajahku sudah basah oleh air mata. Berapa tahun? Delapan tahun, sudah delapan tahun aku tidak melihat orang tuaku.
Paman Hu melihat keluarga kami membeku di tempat, lalu mendorongku pelan, "Diam saja apa? Cepat panggil orang tuamu!"
Setelah beberapa kali mengatur napas, akhirnya aku berteriak, "Ayah..." Suara itu begitu bergetar sampai aku sendiri tidak sanggup mendengarnya.
Ayahku sudah bergegas mendekat. Tanpa sepatah kata, ia langsung memelukku erat. Dalam dekapan kuat Ayah, tiba-tiba aku tersedu-sedu. Aku tidak tahu bagaimana rasanya rindu mereka selama delapan tahun ini, betapa perihnya. Yang kurasakan hanyalah pelukan Ayahku yang biasanya pendiam ini, begitu kuat seolah takut aku menghilang.
Aku memeluk Ayahku erat-erat, ingin mengatakan sesuatu, tapi tiba-tiba tenggelam dalam isak tangis. Aku selalu menganggap diriku orang yang lembut hati, sering menangis, tapi jarang sekali menangis terisak seperti saat ini.
Ayahku memelukku sebentar, mungkin merasa malu, lalu melepaskanku. Tapi tangannya masih menggenggamku kuat, lalu berteriak ke arah Ibuku yang masih bengong: "Nenek itu, ngapain masih di situ? Nggak lihat anak kita sudah pulang?"
Saat ini emosiku sudah lebih stabil. Kuusap air mata dengan kasar, memaksakan senyum, lalu berteriak ke arah Ibuku yang masih bengong: "Ibu, aku pulang."
Teriakan ini terasa begitu aneh, persis seperti bertahun lalu saat pulang sekolah melempar tas sambil berteriak "Ibu, aku pulang", atau seperti saat turun gunung dulu berteriak "Ibu, aku pulang".
Sekarang, delapan tahun berlalu, tetap ucapan yang sama: "Ibu, aku pulang". Sungguh ingin kuteriakkan seumur hidup, sampai detik kematianku nanti, masih bisa berteriak "Ibu, aku pulang".
Mendengar ini, Ibu bergegas melangkah dua langkah ke arahku, tiba-tiba berjongkok sambil menutupi wajahnya dan menangis. Ayah langsung berjalan cepat, menarik-narik Ibu sambil berkata: "Nenek ini nangis apaan sih? Anak kita pulang malah nangis? Di jalanan ramai begini, malu-maluin aja!"
Paman Hu saat ini juga matanya membara, tapi dia masih bercanda: "Keluarga kalian benar-benar lucu, ketemu satu per satu langsung nangis, ini ngapain sih? Masih berdiri di jalan, nggak ngajak aku masuk duduk-duduk?"
Aku pun mengikuti mereka, menarik lembut ibu saya, berkata: "Ibu, aku pulang kali ini mau tinggal sebulan, kita bicara di rumah."
Akhirnya ibu saya berhasil kubangunkan, begitu bangun langsung membelai wajahku, bergumam: "Anak laki-lakiku yang besar, sudah pulang ya, sudah pulang, aduh, San Wa'er, sudah pulang ya..."
Mataku berkaca-kaca, tersenyum memandang ibu saya, mengangguk: "Iya, Ibu, aku pulang."
Ibu saya seperti baru tersadar dari mimpi, menyadari ini kenyataan, tiba-tiba mulai tertawa terbahak-bahak lalu merangkulku erat: "San Wa'er-ku, ayo, masuk rumah, Lao Hu, kamu juga cepat masuk. Tidak, aku harus beli sayur, Nak, kamu mau makan apa? Aduh, sudah jam berapa ini..."
Ibu saya berkata-kata tak karuan, tertawa sambil menangis, tapi di mataku justru sangat menggemaskan. Ayahku di samping kesal, bergumam: "Sudah jadi nenek-nenek, masih nggak bisa tenang, nangis tertawa-tawa, kayak apa sih?"
"Anakku pulang, aku senang, suka-suka aku, kau berani ikut campur?" Ibu saya membalas tanpa ampun.
Aku menonton orang tuaku bertengkar dengan riang. Perasaan canggung mendekati kampung halaman yang awalnya membuatku takut bertemu orang tua, kini telah lenyap sama sekali. Yang tersisa hanyalah keakraban dan kerinduan pada keluarga, kehangatan yang begitu pekat menyelimutiku.
Ribuan kata tak tahu harus mulai dari mana, tapi juga tak perlu langsung diungkapkan semua. Karena aku punya waktu satu bulan untuk berbincang panjang lebar dengan orang tuaku tentang perpisahan dan kerinduan ini.
※※※
Di meja makan duduk aku, orang tuaku, dan Paman Hu.
Kedua kakak perempuanku sudah bekerja di kota lain, tapi orang tuaku telah langsung memberi kabar agar mereka pulang.
Saat itu, universitas masih mengalokasikan pekerjaan. Kedua kakakku sangat ingin menetap di Beijing, namun terpaksa menuruti penempatan kerja sehingga harus pergi ke kota lain. Karena berada di kota berbeda, kesempatan bertemu kami pun jadi jarang.
Aku sangat merindukan mereka!
Selain itu, kakak sulungku sudah menikah. Aku punya ipar laki-laki dan seorang keponakan berusia dua tahun. Er Jie juga akan menikah tahun ini. Sayangnya semua peristiwa besar keluarga ini tak kuketahui, dan mustahil kuketahui sebelumnya.
Waktu kecil tak begitu mempedulikan, dewasa baru sadar betapa kejamnya takdir yang memisahkan. Ada yang iri pada Taoist, iri pada indera spiritual kuat yang kumiliki. Tapi apakah mereka tahu, aku pun mengidamkan kebahagiaan sederhana bisa selalu menemani orang tua dan keluarga?
Makan malam berlangsung sangat lama, kami berbicara terlalu banyak. Awalnya aku ingin pulang dengan membawa kebanggaan, memberi ketenangan pada orang tua. Tapi setelah tiga putaran minum arak, akhirnya tak kuasa menyembunyikan banyak kebenaran dari mereka. Aku tak tega menipu mereka.
Lihatlah, masa-masa begitu kejam. Rambut ayahku sudah memutih, ibuku yang dulu cekatan kini wajahnya telah dipenuhi kerutan. Ingatanku tentang mereka terhenti di usia 15 tahunku. Kembali kali ini baru kusadari, mungkinkah waktu berhenti hanya karena kenanganku?
Terhadap orang tua seperti ini, bagaimana mungkin aku tega berbohong?
Aku bercerita semua, tapi banyak hal kusampaikan dengan ringan. Seperti masa pemberontakanku, perkelahian yang nyaris merenggut nyawa, berbagai bahaya yang kualami. Aku hanya menekankan pada kisah belajar dan pengalaman menarik yang mereka sukai. Benar itu benar, tapi tujuan utamaku agar mereka tak khawatir.
Pengalamanku yang luar biasa membuat orang tuaku tertegun. Kedua orang tua itu terdiam sangat lama, termasuk Paman Hu yang juga membeku.
Setelah waktu yang panjang, ayahku menepuk gelas araknya ke meja dengan keras, berkata: "Bupati Tua itu menyedihkan. Manusia harus tetap lebih baik bersikap baik."
Ibuku menambahkan: "Benar, orang harus tetap baik. Baru bisa tidur nyenyak di malam hari."
Inilah perasaan paling tulus rakyat jelata, pikirku sambil memandang orang tuaku yang riang. Sedangkan Paman Hu justru mencium aroma bahaya dari kejadian ini, hanya berkata, "Hanya dengan mengikuti Pak Jiang, kita bisa mengalami hal-hal seperti ini. Pak Jiang pergi selama tiga tahun, tak tahu kapan bisa bertemu lagi."
Kalimat ini tak pelak lagi membangkitkan kegelisahan dalam hatiku!
