Saat keluar dari pintu gerbang pabrik kecil itu, Surou tertawa terbahak-bahak. Dari obrolan tadi, aku sudah sedikit paham apa yang akan dilakukan Surou. Hatiku agak tak enak, kutanya Surou: "Ini kan menipu orang?"
Surou tak ambil pusing, berkata: "Ini disebut menipu bagaimana? Kira kualitas baju merek terkenal memang bagus? Bukannya orang sekarang punya uang lalu ingin bermerek? Lagipula, harga jualku bisa dibandingkan dengan merek asli? Cuma cara lain biar orang beli barang, dapat untung sedikit. San Wa'er, tiap orang punya cara hidupnya sendiri, perjuangannya sendiri. Anak kecil ini jangan-jangan mau jadi moralis?"
Aku jelas bukan moralis. Tiba-tiba teringat dulu pernah ke Chengdu jual giok bersama Guruku. Waktu itu Guruku bicara soal pencurian makam, dia bilang padaku: "Di dunia ini tiap hal punya karmanya sendiri. Pencuri makam juga terpaksa karena hidup, mereka pasti dapat balasan karena mencuri makam. Dunia ada siang dan malam, urusan kita cuma dunia lain itu."
Benar, Surou terpaksa begini demi hidup. Aku juga sama! Seperti katanya, cuma cari untung dengan cara berbeda.
Mikir begitu, aku diam saja. Surou takut aku tidak senang, langsung memelukku: "Ngomongin hal yang kau suka deh. Lihat ini Pasar Hehuachi ramai, kawasan pabrik rame, tapi tidak damai. Sering ada hantu."
“Ini cocok dengan seleraku,” tanyaku pada Surou. “Ada apa sih?”
“Aku juga nggak tahu detailnya. Dengar-dengar ada yang dengar suara perempuan nangis tengah malam, terus ada penjaga lihat kerangka jalan-jalan, sampe ketakutan setengah mati! Katanya pemilik sini mau patungan bayar Taoist terkenal buat ngadakan ritual.” Surou menjelaskan.
“Taoist terkenal? Siapa, hebat banget?” Soalnya di dunia spiritual juga ada persaingan, aku yang masih muda langsung penasaran.
“Aku tahu apaan sih, nanti kita nonton aja. Katanya si Taoist ini jago nyelesein banyak kasus, banyak orang penting di Chengdu nyari dia. Kamu juga harus liat, siapa tau bisa adu ilmu. Tapi kita harus buru-buru ke Guangzhou setelah ini, di situ baru bisa kaya!” Surou malah balik ngomongin duit lagi.
Aku penasaran pengen liat ritual Taoist lain. “Sebelum pergi, aku harus liat siapa si Taoist itu. Oya, ke Guangzhou oke, tapi sebelumnya aku mau ke satu tempat nemui seseorang.”
“Siapa?” Surou nanya santai.
“Seseorang namanya Yuan Yi, kamu nggak kenal.” Jawabku singkat.
※※※
Dengan duit, semuanya jadi gampang! Urusan yang Surou titipin ke bos pabrik itu kelar dalam tiga hari berkat uang.
Surou dengan gembira mengambil kembali barangnya, memeriksa satu per satu. Benar saja, setiap pakaian termasuk pakaian dalam sudah dipasangi label baru - Montagut.
Tahun 90, sebagai merek pertama yang bangkit di Tiongkok, Montagut menjadi incaran banyak orang. Tapi waktu itu tak semua orang bisa membelinya, Surou memanfaatkan celah ini.
Setelah mendapatkan barang, Surou bercerita tentang perjuangannya: "San Wa'er, kupikir di kota provinsi mudah cari uang. Kubawa 1000 yuan langsung ke sini. Tapi ternyata uang sewa rumah, makan, dll harus disisihkan, jadi modal bisnis tinggal sedikit. San Wa'er, kau tak tahu, aku pernah jual segala macam. Hari tersulit, habis beli barang malah nggak punya uang buat makan mi. Setelah nabung susah payah, pengen usaha besar. Aku perhatikan bisnis perempuan lebih menguntungkan, akhirnya putuskan jual pakaian dalam. Baju lain modalnya terlalu besar. Malamnya buka lapak, dasar..."
Surou tak sanggup melanjutkan. Lelaki sepertinya mana paham selera pakaian dalam perempuan? Wajar kalau nggak laku. Aku bisa menebak sisanya. Dulu dia bilang bisnisnya sukses, ternyata cuma mau nutupi kegagalannya di hadapanku.
"Aku baru sadar, orang-orang sekarang suka merek ternama. Mending aku jual celana dalam bermerek aja. Pengen jual barang ini, tapi aku nggak punya uang! San Wa'er, untung ada kamu, temen..." Suara Surou semakin bersemangat.
Aku memeluk bahunya, "Dari dulu aku tahu kamu cuma pura-pura jagoan depan aku. Tapi jualan celana dalam kok malah bawa baju cowok-cowok gini?"
Surou berbisik di telingaku, "Jangan bilang siapa-siapa. Merek Mengtejiao nggak punya celana dalam wanita. Biar kelihatan asli, harus ada baju cowoknya juga."
Aku geleng-geleng melihatnya. Anak ini memang licik dan pintar. Di balik wajah polosnya, matanya berbinar-binar cerdik. Aku tiba-tiba tersadar kenapa ayah Surou bilang anaknya tampak cerdik, tapi sekaligus aku harus menahan diri berkali-kali untuk tidak menampar wajah itu.
"Ayo San Wa, kita minum arak dulu. Nanti malem jualan bareng. Dengan wajah tampanmu, para Ibu penjaga kantin pasti beli. Sekalian ceritain kabar Liu Chunyan pas kamu pulang kemarin." Surou terus mengoceh.
"Aku kali ini benar-benar nggak tahan, menendang pantat gemuk Surou dengan kaki, berkata: 'Anak kecil cari pukul ya? Ngapain kalau aku ada, Ibu penjaga kantin beli baju? Maksudmu aku cuma bisa menarik perhatian ibu-ibu ya? Aku tahu kau masih kepikiran Liu Chunyan, aku sengaja nggak kasih tau.'"
Surou berlari di depan, tertawa terkekeh: "Wajah putih kayak kamu emang menarik buat ibu-ibu. Cewek muda pasti suka tipe kayak aku, tipe kayak aku! Tahu nggak? Tulus, jujur, bisa diandalkan."
"Tulus apaan sih, berani-beraninya ngejar Liu Chunyan dulu baru omong!" Aku bergegas mengejar, memeluk bahu Surou sambil keluar rumah. Sepanjang tangga terdengar gelak tawa kami yang riang.
Tiba-tiba aku sadar, di bawah pengaruh Surou, aku mulai bisa menyesuaikan diri dengan masyarakat.
※※※
Malam itu, di Jalan Chunxi Chengdu.
Pertama kalinya aku menyaksikan keramaian khas Sichuan sejati. Dulu pernah ke Chengdu dengan guruku, dia ajak aku keliling beli jajanan, bahkan belikan baju kuning tua jelek. Tapi tak pernah sampai ke Jalan Chunxi.
Hari ini di sini, mataku hampir silau oleh gemerlap keramaian.
"Gimana? Kampungan ya? Jangan bilang delapan tahun di Beijing bikin jadi orang udik," goda Surou di samping.
Aku meliriknya tajam: "Nggak nyangka Sichuan kita bisa seramah ini."
“Anak kura-kura, pergilah jauh-jauh, meremehkan kami orang Sichuan ya?” Surou melirikku, menarikku cepat-cepat melewati Jalan Chunxi. Di tahun 90-an ada pasar malam di sini, tapi lokasinya tetap. Kami hanya bisa mencari tempat ramai di Jalan Zongfu untuk berjualan.
“Baiklah, kalau begitu aku pergi. Kau jual sendiri saja.” Sebenarnya aku malu berjualan, jujur saja hatiku gelisah. Sudah lama ingin kabur.
“Jangan, aku masih mengandalkanmu untuk menarik perhatian ibu-ibu penjaga kantin. Ayo, di situ! Kita berjualan di sana.” Surou tak mungkin membiarkanku pergi, menarikku ke sana.
Setelah membentangkan plastik, kami berdua menyiapkan lapak kecil di antara deretan pedagang yang berjejalan.
Kutatap kerumunan orang yang lalu lalang, tiba-tiba merasa linglung. Apa yang kulakukan ini? Berjualan, menjadi 'spekulan' bersama Surou? Akankah hari ini kami bisa berjualan lancar? Bisakah mendapat untung?
Dalam lamunan ini, seolah aku berada dalam mimpi, menyaksikan kemewahan dunia dari sudut pandang yang aneh. Inikah kehidupan? Inikah pergulatan setiap manusia?
Melatih hati di dunia fana, melatih hati di dunia fana! Rupanya hanya dengan terjun langsung kita bisa merasakan setiap helai suka-duka kehidupan. Baru setelah merasakan, kita bisa membebaskan diri darinya!
"Seperti sedang berakting dalam sebuah drama, kita harus sepenuhnya masuk ke dalam peran, baru akhirnya bisa memerankan karakter dengan baik dan menyempurnakannya."
Merenungkan hal ini, tiba-tiba aku merasa sebelumnya hidupku seperti terlalu terpisah dari Dunia Manusia. Aku juga baru menyadari mengapa Guruku begitu khawatir dengan kondisi mentalku. Mengapa aku tidak bisa menjadi orang kecil yang berjuang keras?
Rasa gugupku mulai berkurang. Saat itu, Surou sudah berada di sampingku membawa pengeras suara besar, berteriak dengan suara melengking: "Bisnis ini benar-benar rugi, sungguh-sungguh rugi. Ayo lihat! Montagut asli dijual dengan harga murah!"
