Mendengar ketukan itu, Surou dan Qinhuai saling pandang gugup. Kak Cheng Xin mengusap dagu: "Cepat sekali datangnya?"
Sedangkan aku bingung—benar ada tamu di jam seperti ini?
"Qinhuai yang membuka pintu. Di bawah gelapnya malam, aku tidak bisa melihat jelas siapa yang datang. Tapi setelah Qinhuai membuka pintu, orang itu langsung masuk dengan seenaknya, sama sekali tidak peduli, seolah ini rumahnya sendiri."
Saat orang itu mendekat ke hadapan kami, baru kulihat jelas wajahnya. Ternyata dia! Aku kaget lalu langsung berdiri, banyak yang ingin kukatakan tapi ketika benar-benar berhadapan, aku hanya bisa menunjuknya dengan gemetar tanpa bisa berkata-kata.
"Sepertinya kau sudah mengenaliku." Tamu itu dengan santai menuangkan sendiri teh yang kami taruh di koridor, lalu meneguknya dalam-dalam.
Akhirnya aku tenang kembali, berbisik pelan: "Kukira kau hanya akan bersembunyi seperti tikus, tak menyangka suatu hari kau berani menampakkan diri di hadapanku."
Shixiong Cheng Xin memandangi tamu itu dengan ekspresi penasaran, sementara Surou dan Qinhuai silih berganti bertanya padaku: "Siapa dia?"
"Siapa lagi? Orang yang kubicarakan di gerbong kereta itu," jawabku dengan suara berat kepada Qinhuai dan Surou.
Surou langsung panik. Setelah gagal membuat gerakan jurus, dia malah mengambil tutup panci sambil berteriak: "Jangan lepaskan ngengat itu ya! Binatang itu menjijikkan!"
Tamu itu diam. Setelah melihat Surou sibuk sendiri, baru dia berkata: "Kak, rupanya kesalahpahamanmu padaku sangat dalam."
Aku berjongkok menyamakan pandangan dengan matanya, berkata sungguh-sungguh: "Coba jelaskan, kesalahpahaman apa yang kumiliki tentangmu?"
"Meski duduk dengan santai di koridor, dia tidak menghindari pandanganku. Tatapannya sama sekali tidak bercanda saat melihatku, hanya berkata: 'Semua ini bukan perbuatanku, ada orang lain. Aku hanya kebetulan melihat saja.'"
"Masuklah dulu untuk bicara." Kak Cheng Xin yang selama ini diam tiba-tiba menyela.
Orang itu tidak menolak, langsung masuk ke dalam rumah. Kami berempat saling pandang, lalu mengikutinya masuk.
※※※
Di perapian, kayu bakar kembali ditambahkan. Membara di malam musim dingin, kehangatannya membuat orang enggan pergi.
Tapi suasana di antara kami terasa dingin. Kehadiran tamu tak dikenal yang tiba-tiba muncul ini memaksa kami untuk waspada.
"Tak perlu begitu berhati-hati. Kurasa kita seharusnya teman, bukan musuh?" Orang itu tiba-tiba bicara.
Kami benar-benar dalam kabut tebal. Bagaimana bisa tiba-tiba muncul seorang teman? Aku tidak memberi respons, mustahil menerima pernyataannya. Dalam situasi ini, Qinhuai dan Surou yang melihatku diam juga ikut tidak bereaksi.
Justru Kak Cheng Xin yang berkata: "Kalau memang teman, kenapa tak sebutkan nama? Kalau bisa mengikuti sampai ke sini, pasti sudah tahu nama-nama kami kan?"
"Gao Ning." Jawabnya singkat sambil mengulurkan tangan dengan ramah untuk berjabat tangan.
Tapi tak ada yang merespons. Berbagai kejadian hari-hari ini mustahil bisa membuat kami tidak curiga hanya dengan beberapa kalimat sederhana.
Ia sebenarnya tidak terlalu keberatan, tersenyum kecut pada dirinya sendiri, lalu menarik kembali tangannya dan berkata, "Chen Cheng Yi, Su Cheng Xin, guru kalian bukan orang sembarangan. Jika departemen tertentu berniat menyelidikiku, pasti bisa menemukan jejakku, paling banter…"
Sampai di sini, dia ragu-ragu. Aku mengangkat alis menyelidik, "Paling banter apa?"
"Paling banter kalian hanya tidak bisa menemukan identitas nenekku." Ucapannya terasa seperti beban berat, setelah mengatakannya dia malah menghela napas lega seolah melepas beban yang sangat besar.
Tak ada yang bicara, termasuk Cheng Xin. Saat ini sepertinya akulah yang memegang kendali penuh. Segalanya berjalan dalam tanya-jawab antara aku dan dia. Kutanyakan, "Jangan bicara setengah-setengah, jelaskan saja. Siapa sebenarnya nenekmu? Mengapa departemen khusus pun tidak bisa melacak identitasnya?"
"Nenekku berasal dari desa itu. Selama bertahun-tahun, dialah satu-satunya yang berhasil kabur dari sana. Hmph, kabur... tapi dengan pengorbanan besar. Adik, kau sudah jadi target mereka sejak di Beijing. Ini tidak sengaja kuketahui, makanya kutiliki gerak-gerikmu." Pria itu berbicara serius padaku.
Aku sudah menjadi target sejak di Beijing? Alisku berkerut. Aku bahkan tidak menyadari orang ini mengikutiku. Sebuah kemungkinan terlintas, kutanyakan dengan suara berat, "Lalu si A Bo itu? Apakah juga ada yang sengaja mengatur jebakan untukku?"
"Sampai di sini, Gao Ning memandangiku dengan tatapan penuh arti sejenak, lalu berkata: 'Bukan, itu sebuah kecelakaan. Setidaknya menurutku itu kecelakaan, Si Bo cuma figuran kecil. Tapi aku tak menyangka pengikut Taoisme ada yang seberani dan seimpulsif kamu. Bukannya kelompok 'orang Tao' itu biasanya rendah hati dan suka pura-pura misterius?'"
Ucapan ini membuatku dan Cheng Xin tak nyaman, hampir bersamaan aku berkata: "Apa maksudmu 'orang Tao'? Seberapa jauh kamu mengenal kami?"
"Istilah 'orang Tao' itu kurang sopan, bukan? Sepertinya kamu merasa sangat memahami kami."
Gao Ning batuk beberapa kali menunjukkan dia tak bersalah, lalu melanjutkan: "Aku memang begini caranya bicara, sering menyinggung tapi tanpa niat jahat. Aku mencari kalian untuk kerja sama. Aku cuma pengusaha biasa, punya cukup uang, jadi mengumpulkan informasi tentang kalian - meski tidak terlalu akurat. Kalau meragukan identitasku, silakan periksa sekarang. Aku serius."
Baru saat ini Gao Ning mengungkapkan tujuannya yang tiba-tiba dan mencurigakan. Aku diam sejenak lalu berkata: "Kami akan menyelidiki. Sebelum itu, kalau tak keberatan tinggallah di sini. Sampai semua jelas, aku tak akan percaya sepatah katapun darimu."
“Aku tidak bermaksud membuat kalian cepat percaya padaku. Jika bukan karena ingin mengambil kembali barang nenekku, aku takkan meninggalkan kehidupan kaya dan berkelana ke mana-mana. Sebelum kalian mendapat hasil investigasi, aku takkan bicara banyak. Tapi aku yakin kalian akan ingin bekerja sama, karena hanya aku yang tahu cara menuju desa itu. Orang biasa tak bisa ke sana.” Demikian kata Gao Ning.
“Apa maksudmu membocorkan alamat di kereta itu?” Tiba-tiba aku teringat hal itu dan bertanya.
“Sebenarnya saat itu aku hanya tahu ada yang memata-mataimu. Sengaja mendekatimu dan bicara soal ilmu Gu. Tak kuduga kau merespons. Alamat itu bukan sengaja kusebar, tapi kau yang memancingku. Aku hanya sebut alamat samar. Kau tak mungkin temukan desa itu hanya dengan itu. Tentu, jika pernah ke sana, pasti ada reaksi. Aku juga sedang mengujimu.” Jawab Gao Ning dengan singkat.
Ucapan itu tampak tak bermasalah, tapi masih banyak kejanggalan. Misalnya, jika Gao Ning bukan pelakunya, lalu siapa yang menyiksaku? Apa yang Paman seperguruan mereka tahu, sehingga menggunakan taktik menunggu tamu ini?
※※※
Dua hari berikutnya kami hidup tenang. Harus diakui Fenghuang adalah tempat yang indah. Tinggal di sini memberi ketenangan batin, seolah hidup dalam lukisan. Hari-hari itu indah bagai puisi.
Tidak merasa menunggu itu menyiksa, malah setiap orang terlihat santai. Tidak bisa menghubungi Paman Li, tapi berhasil menghubungi Cheng Qing. Namun kewenangan dan jaringan Cheng Qing terbatas. Dia bilang butuh beberapa hari untuk memberi jawaban, suruh kami menunggu dengan tenang.
Dua hari bersama ini membuat hubungan kami dengan Gao Ning semakin dekat. Sebenarnya orang ini tidak punya cacat, selain mulutnya yang terlalu blak-blakan terkadang terdengar sinis, di sisi lain dia orang yang cukup dermawan.
Kami menghindari topik sensitif, selain itu obrolan kami cukup lancar. Gao Ning ini sudah menjelajah ke banyak tempat, jadi wawasannya luas. Ngobrol dengannya pada dasarnya menyenangkan.
Hari ketiga, Cheng Xin menelepon Cheng Qing. Meski sudah era tahun 90-an, di kota kecamatan ini telepon masih belum praktis. Cheng Xin pergi lebih dari setengah jam. Pulangnya, di depan Gao Ning dia bilang: "Identitasmu sudah kuketahui."
