Di Kota Duyun, aku dengan lancar menemukan Paman Wang dan bertemu adik seperguruanku Cheng Zhen. Tanpa basa-basi, sebelum sempat menyapa Cheng Zhen, Paman Wang langsung berkata: "Ilmu fengshui mencakup banyak aspek. Sebagai murid Kakek Jiang dari Aliran Gunung, fokusmu tak boleh terpecah. Karena itu aku akan mengajarkan bagian fengshui untuk rumah yang. Kedepan, meski kau membuat formasi fengshui untuk orang lain, tak akan terjebak dalam kesulitan besar."
Dulu kukira Paman Wang sama tak seriusnya dengan Guruku. Ternyata saat serius, ucapannya langsung ke inti tanpa basa-basi, cukup berwibawa.
“Mulai malam ini juga, aku harap kamu mengatur waktu setiap hari dengan baik. Ilmu Aliran 'Gunung' jangan sampai terlupakan!” Paman Wang berbicara blak-blakan, tapi wajahnya berkedut saat menambahkan: “Baik gurumu maupun kami para paman seperguruan, tak bisa menjagamu seumur hidup. Akan tiba saatnya kamu harus menghadapi semuanya sendiri. Warisan Aliran 'Gunung' harus tetap terjaga. Nantinya, baik Cheng Qing, Cheng Xin, maupun Cheng Zhen pasti akan membantumu.”
Usai berkata demikian, Paman Wang tak banyak bicara lagi. Dia melemparkan sebuah buku catatan berisi pemikirannya tentang dasar-dasar fengshui rumah yang () yang ditulisnya sendiri. Buku itu menjelaskan prinsip-prinsip geomansi dasar untuk tempat tinggal orang hidup. Dia menyuruhku beristirahat sebentar lalu mulai mempelajarinya, dan bertanya jika ada yang tidak dimengerti.
Aku menerima buku itu dengan perasaan berat. Apakah ini akan terulang lagi? Seperti sedang menerima pesan terakhir, aku teringat ucapan Kakak Cheng Xin. Perasaan tertekan yang tak jelas asalnya mulai menyergap.
Cheng Zhen si nona kecil justru bersikap santai, seolah tak mendengar atau mungkin sudah menerima kenyataan itu dalam hati, tapi seperti dulu aku yang enggan memikirkannya lebih dalam.
Hidup berpindah-pindah bersama Paman Wang persis seperti yang dikatakan Paman Li. Aku tak mengerti apa yang sedang dikejar atau diselidiki Paman Wang. Kami tak pernah tinggal lama di satu tempat sebelum buru-buru pergi.
Entah ini kekhawatiranku saja, tapi setiap kali meninggalkan suatu tempat, selalu ada ekspresi kecewa yang tersembunyi di wajahnya.
"Selain itu, hari-hari bersama Paman Wang juga agak... agak berliku. Karena salah satu hobi Paman Wang adalah suka berpura-pura jadi dukun gadungan, berlagak misterius memberi petunjuk fengshui ke orang. Penampilan seperti itu siapa yang mau percaya?"
Bersamanya, aku baru merasakan pahitnya yang dialami adik Chengzhen. Sering dicap penipu, bahkan diusir dari rumah orang - siapa yang tahan? Tapi Paman Wang malah menikmatinya. Katanya: "Melihat panas-dinginnya perasaan manusia, terutama sisi dinginnya, hati jadi tak terlalu sakit lagi."
Aku tak terlalu paham. Tapi adik Chengzhen pernah menjelaskan: "Ahli ilmu firasat yang mengerti isi hati orang sebenarnya menyakitkan. Hal-hal yang tak kau harapkan, tak akan membuatmu kecewa."
"Manusia tak sampai segitu buruknya, kan?" Meski mengalami banyak perpisahan sejak kecil, ingatanku penuh hal indah. Kurasanya manusia tak seburuk itu.
"Itu sifat guruku. Dia selalu suka memeluk duri, membesar-besarkan kejelekan manusia. Sedangkan aku suka melihat titik terang, jadi lebih bahagia darinya." Penjelasan adik Chengzhen ini membuatku tiba-tiba paham kenapa Paman Wang memilih murid perempuan ceroboh bermental baja seperti dia.
Setidaknya, murid seperti ini yang mewarisi aliran ilmu firasat tak akan menderita melihat banyak keburukan. Melihat wajah muram Paman Wang, kusadari itu cerminan beban psikis yang berat.
Mengikutinya, meskipun yang kupelajari hanya fengshui rumah yang, namun karena sering terpapar, aku juga memahami seni membaca karakter orang. Memasuki bidang ini adalah psikologi yang sangat halus, memahami pikiran orang sebenarnya bukan hal yang terlalu menyenangkan.
Walau aku orang yang peka, terkadang kupikir lebih baik hidup dalam kebodohan.
Dari sudut pandang lain, hari-hari seperti ini justru tenang dan membahagiakan. Setiap hari hidupku teratur, kecuali waktu 'berkelana di dunia persilatan' yang terjadwal. Entah di kota mana pun, atau sekadar di atas kereta, aku bisa belajar dengan tenang, menyerap ilmu yang kubutuhkan.
Seolah kembali ke masa-masa di Pondok Bambu bersama Guruku dulu.
Hari-hari ini juga penuh rasa aman. Tak perlu khawatir bangun tidur sendirian lagi, atau diberi tahu harus pergi karena keadaan. Setiap hari bisa melihat Paman Wang dan Cheng Zhen, hidup bersama tanpa kekhawatiran mereka akan pergi - inilah rasa aman bagiku.
Selain itu, hidup ini menyenangkan. Paman Wang benar-benar kaya, memperlihatkan 'kekuatan' ahli ilmu firasat. Meski suka berpura-pura jadi dukun gadungan di masyarakat, faktanya dia punya jaringan elite yang mempercayai ilmu fengshuinya. Inilah sumber penghasilannya. Kami tak khawatir sandang pangan, bisa makan apa saja, beli apa pun tanpa tekanan besar.
Contohnya, aku selalu mengira Paman Wang pelit. Tapi selama di Dongbei, dia rela mengeluarkan uang untuk membelikanku banyak akar ginseng liar agar latihan Aliran "Gunung"-ku tidak terputus. Inilah yang disebut 'kekayaan melimpah' dari ahli ilmu firasat!
Lima Aliran Metafisik memang saling melengkapi. Menggunakan segala cara untuk mendukung latihan gunung demi meraih Jalan Suci. Tapi sayangnya, tak satu pun dari lima aliran ini mudah dipelajari. Hanya guru leluhurku si orang aneh itu yang bisa menguasai semuanya. Selebihnya, memang perlu kerjasama erat antar anggota lima aliran.
Tapi sering juga aku putus asa berpikir: Bukankah mereka semua yang membantuku?
Dari sudut pandang lain, hari-hari ini bisa dibilang periode paling bahagia dan bermakna dalam hidupku. Aku hampir lupa pada cap yang takkan pernah hilang seumur hidup, juga hampir melupakan para orang Miao yang masih memburuku.
Ya, cukup bahagia... Asal jangan mengingat hal-hal menyakitkan. Seperti tak bisa menghubungi orang tua, merindukan Guruku dan teman-teman, atau ancaman para orang Miao itu...
Waktu mengalir perlahan di sela jemari. Sekilas mata, sudah tiba musim semi 1993.
Hari itu kami berada di Guilin, Guangxi. Dua hari sebelumnya masih di Xi'an, Shaanxi. Entah kenapa Paman Wang tiba-tiba berseru: "Pemandangan Guilin terindah di dunia! Aku rindu ke sana. Ayo, kita pergi!"
Maka kami pun bergegas menuju Guilin.
Guilin sangat indah, gunung hijau, air jernih, bebatuan unik, dan bambu anggun - seolah semua keindahan alam terkumpul di sini, pantas menyandang gelar "Terindah di Bawah Langit".
Tapi di tengah pemandangan seindah ini, Paman Wang berkata padaku: "Cheng Yi, kita harus berpisah."
Hatiku berdebar kencang. Meski sudah ada persiapan mental, namun perasaan berat tak terelakkan.
Aku tahu, ini bukan berarti aku tak akan bertemu Paman Wang dan adik Chengzhen lagi. Tapi semuanya akan berbeda, seperti saat kita hidup bersama seseorang untuk beberapa waktu lalu berpamitan. Kau tahu akan bertemu lagi, tapi masa-masa itu takkan kembali. Sesungguhnya, terkadang yang kita tinggalkan bukanlah seseorang, melainkan sebuah bab kehidupan kita sendiri.
Manusia takut pada perpisahan semacam ini. Karena itulah di dunia yang kadang dingin, kadang hangat ini, kita mati-matian mencari kestabilan. Terlalu banyak perpisahan, hati akan terluka.
Menjadi Taoist itu baik, memiliki kemampuan mengusir setan dan iblis itu hebat, hidup penuh petualangan itu menyenangkan. Tapi apakah penderitaan ini juga baik?
Baik atau tidak, inilah hidupku. Meski perasaan sedih tak terhindarkan, aku tetap tenang berkata: "Mengerti, Paman. Apakah harus pergi hari ini juga?"
Saat aku selesai bicara, mata adik Chengzhen sudah memerah. Sungguh langka melihat gadis tomboi sepertinya bisa seperti ini, tapi bagaimanapun dia tetap perempuan.
"Tapi, aku sangat tenang. Bahkan sebelum Paman Wang menjawab, aku masih bisa menghibur Chengzhen beberapa patah kata. Setelah mengalami ini berkali-kali, aku sudah terbiasa menyembunyikan perasaan."
"Ya, hari ini kita harus pergi ke Kunming. Setelah sampai, pergilah ke toko bunga di daerah XXX. Pasti ada yang akan menjemputmu." Paman Wang berbicara dengan tenang. Aku yakin ketenangannya tulus. Lebih dari itu tak ingin kupikirkan.
Aku hanya menjawab singkat "Baik" dan hendak pergi. Tapi melihat adik Chengzhen di samping sudah menitikkan air mata, tanpa sadar kuberjalan mendekat. Kukecup hidungnya dan berkata, "Jangan menangis. Aku akan pergi. Adik Yuanxi akan datang menemui kalian dalam beberapa hari. Punya teman perempuan, bukankah lebih baik daripada aku?"
Mendengar kata-kataku, wajah adik Chengzhen akhirnya cerah kembali. Dia berhenti menangis. Benar, kita semua kesepian. Sejak kecil mengikuti Guru hidup mengembara atau terisolasi. Punya teman pendamping adalah hal yang sangat berharga.
Seperti diriku, meski bersekolah, hampir tak punya kesempatan bergaul dengan teman sekelas. Apalagi bermain bersama. Karena masih banyak yang harus kupelajari. Dulu sering kupikir sambil mengejek diri: Teman-temanku main sepak bola, basket. Sedangkan aku... bermain dengan hantu...
Melihat adik Chengzhen sudah membaik, aku hendak pergi. Tapi Paman Wang yang biasanya tenang tiba-tiba memanggilku.
Aku menoleh, mendengar Paman Wang berkata padaku: "Klien-klienku semua pernah bertemu denganmu, dan mereka juga mengenalmu. Kedepannya kau bisa mencari nafkah di bidang fengshui, jangan nodai reputasiku! Ingat, aku boleh berpura-pura jadi dukun gadungan karena aku master, tapi kau tidak boleh."
Usai bicara, Paman Wang melemparkan sebuah buku catatan padaku. Kuambil, kubuka, ternyata berisi daftar klien penting Paman Wang.
Tanganku bergetar karena haru dan sedih, tapi tetap kuselipkan buku itu ke saku celana, lalu pergi tanpa menengok.
