Kemampuan adaptasi manusia sungguh luar biasa. Setidaknya aku merasa begitu. Pada hari ketiga, aku sudah terbiasa dengan ritual pengambilan darah si orang tua Bocie setiap siang, tak lebih sakit dari disuntik. Aku juga mulai terbiasa dengan teriakan aneh sialan setiap malam di sini. Larangan bergerak satu jam setelah pengambilan darah? Bagi itu cuma permainan anak-anak. Singkatnya, selain hal-hal ini, hidupku terasa cukup santai.
Setiap hari ada yang menyajikan makanan enak dan minuman lezat, semua hidangan istimewa, ditambah buah-buahan. Kebutuhan apapun tinggal perintahkan orang Miao yang berjaga di luar, langsung dikerjakan. Contohnya kemarin aku sadar rokok dalam barang bawaanku habis, begitu bilang, langsung dibawakan dua bungkus rokok. Hidup di sini tanpa rokok untuk menghibur kesepianku, pasti takkan sanggup.
Selain jam-jam tidak bebas itu, aku bisa bergerak leluasa karena area pergerakanku diperluas. Hampir seluruh desa boleh kujelajahi kecuali beberapa tempat terlarang. Tentu saja, aku dilarang berbicara dengan orang-orang Miao itu.
Aku tahu Bocheng ini memperlakukanku seperti babi, setiap hari diberi makan enak, kadang dikasih gelatin kulit keledai untuk menguatkan badan. Tujuannya cuma satu: darahku. Fakta ini kadang bikin aku berpikir, haruskah aku berterima kasih pada Bocheng si kakek tua yang menganggap babi sepertiku begitu berharga, statusnya jauh lebih tinggi daripada babi-babi di desa.
Dasar! Sungguh menyedihkan!
Huigen cuma anak kecil, tapi setelah beberapa hari hidup begini, dia juga mulai curiga. Hari ini dia mendatangiku dan berkata serius: "Kak, eh... maksudku, menurutmu apa kita harus melakukan sesuatu?"
Aku langsung tertawa. Pertama, karena bocah ini tiba-tiba bicara bahasa Mandarin alih-alih logat Shaanxi. Kedua, ekspresi seriusnya lucu sekali.
Aku dengan riang mencubit pipinya sambil berkata: "Menurutmu apa yang harus kami lakukan? Dan kenapa kau tiba-tiba bicara pakai bahasa Mandarin?"
Huigen menepis tanganku, dengan wajah kesal berkata: "Guruku selalu pakai bahasa Mandarin kalau bicara hal serius." Dia diam sejenak, lalu menangkupkan tangan di belakang punggung seperti orang dewasa, mondar-mandir di hadapanku dengan serius: "Kak, jangan anggap aku anak kecil. Aku sudah 12 tahun. Waktu itu aku dengar obrolan Kak sama Kakak (Ruyue). Aku tahu ini tempat tidak baik. Kita dikurung di sini. Kak, mau dikurung seumur hidup? Kenapa tidak melakukan sesuatu?"
Mondar-mandirnya membuat mataku berkunang-kunang. Kuraih bahunya untuk diam. Aku terkejut, ternyata si nak ini lebih cerdas dari dugaanku. Setelah berpikir, kubicara serius padanya: "Karena kau sudah tahu, Kak tidak akan sembunyikan. Situasi kita memang sulit, tapi bertindak sembarangan sangat berbahaya. Kita harus tunggu kesempatan. Kau cukup tetap di sampingku. Percayalah, ke mana pun aku pergi pasti membawamu. Mengerti?"
Huigen patuh. Melihat keseriusanku, dia mengangguk: "Aku paham." Lalu dengan manut melanjutkan tugas harian-nya. Katanya Guruku berpesan, tugas harian tak boleh terlewat sehari pun.
Memandangi sosok kecil Huigen, hatiku dipenuhi kegelisahan. Aku mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakannya. Benar, membawa Huigen bersama sangat berisiko dan penuh tanggung jawab. Tapi terpaksa kulakukan karena ada mata-mata itu. Aku tak paham dari pihak mana mata-mata itu berasal. Sejak awal sudah kuduga ada pihak ketiga yang ikut campur, sementara surat itu hanya menyuruhku menjaga Huigen. Jadi tak bisa kutetapkan pihak mana yang mengincar Huigen.
Bagaimana jika itu pihak ketiga? Baik ditinggal di desa Miao maupun mengikuti Surou dan Qinhuai ke Beijing, Huigen tetap dalam bahaya. Sebaliknya, hanya di desa ini, bersamaku, dia akan aman.
Alasan kuambil langkah berisiko ini: pertama, sejak tiba di sini kuperhatikan baik-baik, mereka sama sekali tak tertarik pada Huigen. Andai ada sedikit saja kecurigaan, pasti kukira desa ini yang mengincarnya. Maka akan kugunakan diriku sebagai tumbal untuk mengamankan Huigen.
Nyatanya langkah ini tepat, tapi situasi malah makin rumit bagai kabut tebal yang mengaburkan pandangan! Kuhembuskan asap rokok. Permainan strategi ini lebih melelahkan daripada bertarung dengan Bupati Tua. Aku bahkan tak yakin bisa bertahan, mencari celah vitalitas untukku dan Huigen dalam labirin ini.
Yang bisa disalahkan hanyalah tulisan di amplop yang terlalu samar. Sudah berisiko mengirimkan surat, kenapa tidak menulis jelas siapa yang tertarik pada Huigen, siapa mata-mata, dan dari pihak mana?
Saat aku sedang asyik berpikir, sebuah tangan meraih rokok di mulutku. Kuangkat kepala, tak lain adalah Ling Ruxue. Aku tersenyum getir, "Kenapa jalanmu tanpa suara?"
Ling Ruxue mematikan rokok setengah hisap di tangannya, "Bukan jalanku yang sunyi, tapi pikiranmu terlalu tenggelam. Seorang yang menekuni Tao, tak tahukah rokok itu berbahaya? Kenapa tak pernah lepas dari tanganmu?"
Kutatap Ling Ruxue. Apakah ini bentuk perhatiannya? Di bawah pandanganku yang menyelidik, ia tetap tenang tanpa rasa canggung. Aku merasa tak bergairah. Untuk sejenak, kami terhening.
Tapi kali ini Ling Ruxue yang memecah kesunyian, "Ada yang mereka lakukan padamu? Jika merasa ada yang aneh, beri tahu aku. Aku akan membantumu."
Aku paham maksudnya. Ia khawatir aku kena santet. Jika iya, ia ingin membantu mencabutnya. Tanpa jawab langsung, kutanya balik, "Kenapa kau tetap tinggal?"
Lama ia terdiam sebelum berucap, "Ada alasan yang harus kujalani. Tak perlu kau tanya lebih jauh."
Aku mengulurkan kedua tangan, di pergelangan tangan tampak beberapa luka yang belum sembuh. Aku berkata pada Ruyue: "Kau lihat? Mereka tidak memberiku ilmu santet, hanya memperlakukanku seperti bank darah, setiap hari mengambil darahku. Ruyue, jujur saja, aku tidak tahu harus percaya padamu atau tidak. Tapi bukankah manusia harus punya sedikit simpati? Melihat kondisiku seperti ini, masihkah kau menyembunyikan sesuatu tentang desa ini dariku? Atau kau tinggal di sini hanya untuk menyaksikan aku mati kehabisan darah suatu hari nanti?"
Ruyue menundukkan kepala. Aku tidak bisa melihat jelas ekspresinya. Jarinya perlahan menyentuh lukaku. Akhirnya dia berkata: "Bukan maksudku tidak memberitahu. Seperti pernah kukatakan sebelumnya, jika tidak bisa menghentikan, kita harus tetap menjaga keadaan saat ini. Mengetahui pun hanya akan menambah masalah sia-sia."
"Jika aku harus tahu?" Terlalu banyak kabut tebal yang sudah menyelimuti hingga aku tak bisa bernapas. Aku merasa harus mengetahui sesuatu untuk memutuskan langkah selanjutnya. Bahkan jika aku harus menunggu Paman seperguruan dan mereka datang menyelamatkanku, setidaknya mereka perlu tahu situasi konkret desa ini.
Ruyue mengangkat kepalanya menatapku, akhirnya berkata: "Jika kau memang ingin tahu, baiklah, akan kukatakan."
※※※
Di tanah luas Tiongkok ini, terdapat banyak bangsa. Yang paling misterius tak diragukan lagi adalah suku Miao.
Sejak zaman kuno mereka mendiami wilayah bernama perbatasan Miao, pernah memiliki sejarah gemilang, bahkan sempat mendirikan negara sendiri di perbatasan Miao.
Pada masa itu, perbatasan Miao hanyalah pembagian wilayah yang samar dalam sejarah Tiongkok kuno, dan orang Miao saat itu merupakan etnis yang paling merepotkan bagi kaisar Han.
Baik ilmu sihir kuno maupun ilmu Gu mereka yang misterius, ditambah dengan kemampuan bertarung penjaga Miao yang tangguh dan ahli perang!
Namun segala sesuatu yang pernah mencapai puncak kejayaan pasti akan mengalami kemerosotan. Setelah melewati aliran panjang sejarah, budaya suku Miao yang pernah jaya akhirnya mengalami kemunduran.
Penyebab utama yang sebenarnya telah tertutupi, namun sebagian kecil orang masih mengetahui fakta bahwa penyebab utama kemunduran orang Miao sebenarnya adalah perseteruan internal antara Miao Hitam dan Miao Putih!
Melewati sejarah perjuangan yang rumit, ketika warisan suku Miao sampai di Dinasti Ming, Miao Hitam dan Miao Putih asli sudah sangat sedikit. Sisa anggota suku biasa telah berasimilasi dengan budaya Han, sementara etnis baru yang tinggal di perbatasan Miao juga disebut sebagai orang Miao.
Orang Miao asli sangat memperhatikan kemurnian garis keturunan. Dengan kecenderungan sejarah yang tak terbendung, mereka yang masih memiliki darah murni memilih untuk bermigrasi ke daerah terpencil, memindahkan seluruh desa mereka ke lokasi terisolasi guna mempertahankan ikatan darah dengan cara mengisolasi diri dan sikap pasrah.
Inilah yang disebut Sheng Miao (orang Miao yang tidak berinteraksi dengan luar). Desa Miao Yueyan tempat Ling Ruxue tinggal juga bermigrasi saat itu. Saat itu mereka adalah Miao Putih sekaligus Sheng Miao.
Sedangkan Desa Hitam Batu (Heiyan Miao Zhai) juga mengalami situasi serupa, hanya saja mereka adalah Suku Miao Hitam dengan garis keturunan murni.
