Kehadiran Xiao Chengqian bagai mimpi. Lima menit kemudian, ketika Kak Cheng Qing datang dengan petugas ke bar untuk mencarinya, sosok itu telah menghilang tanpa jejak.
Aku bertanya pada Kak Cheng Qing: "Kenapa dari awal tidak bertindak?"
Kak Cheng Qing tersenyum getir, berkata padaku: "Ada hambatan, kau percaya? Dan meski kali ini aku menemukannya, paling hanya bisa berunding, kau pikir masih bisa apa lagi?"
Mendengar ini, kepalaku agak pusing, teringat perkataan Guruku tentang hubungan rumit nan halus yang membuat organisasi tertentu tak tersentuh, setidaknya untuk saat ini.
Pantas saja Yuan Yi bisa begitu sombong datang ke Beijing mencariku. Dia memang arogan, tapi tak terlihat seperti orang bodoh yang nekat menyerahkan diri.
Menghadapi kepasrahan Kak Cheng Qing, aku pun menghela nafas: "Benar, menggerakkan 'kaum bangsawan' dari dulu sampai sekarang memang selalu rumit."
Kak Cheng Qing yang sudah tahu sebagian pembicaraan kami berdesah: "Sepertinya semua hal terkait Leluhur kita. Sayangnya wajah Leluhur kita bagai tanda tanya, selain tahu keberadaannya, segalanya tentang dia seperti misteri."
Di titik ini, kami berdua tak tahan tersenyum kecut. Kehadiran Yuan Yi sendiri terasa tak nyata.
※※※
Kedua kakak perempuan datang bersama orangtua, ditemani ipar laki-laki yang tampak gugup, serta dua keponakan yang masih asing dengan lingkungan Beijing.
Setelah dua tahun lebih tak bertemu, keponakan sulungku menjauhiku, malu-malu bersembunyi di belakang kakak sulungku.
Mengenai keponakanku itu, sejak lahir belum pernah melihatku. Sepasang matanya yang besar memandang penuh rasa ingin tahu dan takut ke arah paman asing ini. Sikap mereka membuatku merasa sedih.
Aku ini anak seperti apa? Adik seperti apa? Tak bisa merawat orang tua setiap hari, bahkan saat kakak melahirkan pun aku tidak tahu.
Saat melihat keluargaku turun dari mobil dinas, pikiran getir ini langsung muncul. Tapi sebelum sempat mendekat, Ibu sudah berlari ke arahku. Belum sempat kusapa "Ibu", tangannya sudah membelai pipiku.
"Kurus, kurus. Nak, jangan jelaskan apapun. Ibu sudah tahu semuanya," katanya.
Kugenggam tangan Ibu. Ribuan kata tersekat di tenggorokan. Apa sebenarnya yang Ibu ketahui?
Kemudian Ayah datang dengan tangan terkepal di punggung. Beliau selalu suka menjaga kewibawaan ayah. Sebelum sempat kuberkata, Ayah sudah bersuara gagah: "San Wa'er, bekerja untuk negara tidak perlu khawatir hal-hal sepele. Keluarga kita harus mendukung tanpa syarat!"
Wajah Ayah penuh kebanggaan saat mengucapkan ini, seolah aku sudah menjadi pahlawan perang. Aku ingin tertawa tapi lebih terharu. Karena ini bukan tempat untuk berbincang, segera kuantar mereka ke rumah Siheyuan-ku.
“Rumah tradisional Siheyuan ini adalah tempat tinggalku bersama Guruku. Bagi kami yang berhubungan guru-murid, tempat ini terlalu luas. Sangat cocok untuk menampung keluargaku. Tapi Guruku pernah bilang, aku ini orang yang suka membawa masalah dan bisa mencelakakan keluarga. Jadi aku tidak boleh tinggal bersama mereka. Jika mereka datang, aku harus pindah keluar. Tempat tinggal sudah diurus Qinhuai, jadi tidak perlu khawatir.”
Tentang hal ini, aku sudah menjelaskan pada keluarga selama perjalanan. Orang tua dan kakak perempuan tentu paham soal harga diri ini. Dua ipar laki-laki yang sedikit tahu tentang hal-hal misterius pada ipar laki-laki mereka ini juga tidak banyak bertanya.
Sepanjang makan malam, kuceritakan pengalamanku selama dua tahun ini pada keluarga dengan selektif, sebagai bentuk pertanggungjawaban.
Lagi pula, orang tua dipindahkan ke Beijing, pekerjaan kakak dan ipar juga dipindahkan sementara secara paksa. Aku harus memberikan alasan.
Meski ceritanya kusaring, tapi perasaan dan arak yang memabukkan, ditambah sedang bersama keluarga, akhirnya aku tak bisa menyembunyikan beban pikiran ini.
“Gadis Ruxue itu begitu baik, bawa dia ke sini biar Ibu lihat. Selama kau suka, Ibu tidak akan menolak.” Ibu saya berseri-seri mendengar anak laki-lakinya menyukai seseorang, seolah ingin segera menikahkannya.
Soalnya usiaku sudah 26 tahun tapi pernikahan belum ada kejelasan. Mana mungkin Ibu tidak khawatir.
Sedangkan Ayahku terlihat jauh lebih tenang, namun nada suaranya tetap tak bisa menyembunyikan kecemasan. Dia berkata, "San Wa'er, apa gadis itu tidak menyukaimu? Sejak kecil kau memang anak yang tidak teliti. Menghadapi perempuan, harus sabar, harus perhatian. Semua hal tak bisa terburu-buru. Bagaimana kalau Ayah temui gadis itu, bantu bicara baik-baik?"
Hehe, Ayahku malah mengajariku cara mendekati perempuan? Bahkan mau membantuku? Aku langsung tertawa. Belum sempat aku berkata apa-apa, kakak perempuan dan iparku sudah mulai memberi saran. Aku benar-benar berusaha menahan diri, tapi tiba-tiba mataku memerah.
Percakapan keluarga biasa, perhatian yang wajar. Kekecewaan cinta, penghiburan dari keluarga. Segala perasaan tumpah sekaligus, membuatku yang sudah berulang kali bilang jangan menangis, akhirnya tak kuasa lagi.
Aku buru-buru menoleh, pura-pura melihat sesuatu di sekeliling sambil mengusap mata. Merasa terlalu banyak bicara, aku segera menghibur keluarga, "Jangan khawatir. Aku sudah punya rencana. Nanti pasti kubawa gadis ini menemui kalian."
Hari-hari berikutnya relatif tenang. Sesekali menemani orang tua, bermain-main dengan dua keponakan. Perasaan gelisah yang sebelumnya ternyata mulai mereda.
Hanya saja, aku selalu punya firasat seperti hujan akan turun di pegunungan. Tapi kusimpan dalam-dalam perasaan ini di hati, tak kusampaikan kepada siapapun.
“Waktu berlalu cepat didampingi kehangatan keluarga. Sekelip mata musim semi berganti musim panas, dan musim panas ketiga setelah kepergian guruku pun tiba.”
“Sejak hari pertama musim panas, setiap hari aku diliputi kegelisahan. Aku sangat ingin melihat sosok yang familiar itu, namun juga takut jika sepanjang musim ini berlalu tanpa kehadirannya, atau bahkan takkan pernah lagi kulihat. Dalam gejolak perasaan yang rumit ini, jiwaku kembali resah.”
“Setiap pagi saat terbangun, ada harapan.”
“Setiap malam ketika terlelap, yang tersisa hanyalah kekecewaan.”
“Di tengah gejolak perasaan ini, cuaca semakin panas hingga akhirnya tiba di puncak musim panas.”
“Di senja itu, aku masih duduk di pelataran Siheyuan menemani Ayah minum teh, sambil mendengar kedua keponakanku bersahutan melantunkan pantun anak-anak. Namun mataku terus menerawang ke pintu gerbang, berharap tiba-tiba pintu itu terbuka dan guruku muncul dihadapanku.”
“Hingga mentari terbenam dan bulan sabit menggantung di langit, pemandangan yang kunanti tak kunjung tiba.”
“Hari yang kembali berakhir dengan kekecewaan.”
“Saat pulang, Ayah bersikap menemaniku berjalan. Di bawah cahaya bulan yang menyelimuti hawa panas khas musim panas, setelah lama terdiam Ayah bersuara: 'San Wa'er, akhir-akhir ini hatimu tak tenang ya?'”
“'Ayah, jangan khawatir. Mana ada?'”
“'Kau menunggu kepulangan Master Jiang, bukan?'”
“Aku diam seribu bahasa.”
“Master Jiang adalah seseorang yang menepati janji, Ayah hanya ingin memberitahumu hal itu.” Ayahku menatap langit, tiba-tiba berkata seperti itu padaku.
Hatiku tersentuh. Masalah anak laki-laki, besar atau kecil, selalu menjadi urusan penting bagi Ayahku. Sungguh sulit bagi sifat 'ceroboh'-nya selama ini, sengaja menghiburku dengan mengatakan kalimat-kalimat ini.
Aku mengangguk kuat sambil berseru, "Hmm."
※※※
Berkat penghiburan Ayah, perasaanku saat pulang di bawah sinar bulan kali ini jauh lebih baik, langkah kakiku pun terasa lebih ringan.
Tempat tinggal yang diatur Qinhuai untukku adalah gedung apartemen sederhana. Saat sampai di bawah gedung dan secara refleks mengeluarkan kunci untuk membuka pintu, tiba-tiba kepalaku terkena pukulan yang cukup keras.
Belum sempat bertanya siapa, suara yang sangat familiar sudah menggema di telingaku, sementara kepalaku terus dipukuli berulang kali.
"Apa yang kuperintahkan padamu? Harusnya kau asah kemampuanmu selama tiga tahun ini, kau malah ngapain?"
"Nangkep penipu? Adu mulut dengan orang?"
"Berurusan dengan desa sinting itu?"
"Bahkan main mata dengan perempuan ahli santet dari Yueyan Miao Zhai?"
"Kemampuanmu meningkat berapa dalam tiga tahun? Malah membuatku dapat tubuh lemah tak berdaya yang sampai sekarang belum pulih?"
Rentetan kalimat ini meluncur bagai meriam, tak memberiku kesempatan menyela. Saat kata terakhir diucapkan, pantatku terkena tendangan keras hingga terjengkang di tanah. Tapi di detik itu juga, air mataku tak tertahan mengalir deras.
"Masih siapa lagi? Ini Guruku, dia akhirnya kembali."
Perasaan ini tak bisa kutahan, akhirnya kuserahkan diri, terkulai di tanah dan menangis tersedu-sedu, bagaikan anak kecil yang sudah terlalu lama menahan kesepian di luar, akhirnya menemukan sandaran. Bagaimana mungkin perasaan seperti ini bisa dibendung?
Tapi tepat di saat itu, sepasang tangan besar menarikku bangkit, dengan nada kesal berkata: "Nak, merayu perempuan ahli santet, si Nona kecil Ruxue itu kan? Sudahlah. Yang parah, kau bahkan belum bisa menggaetnya! Pergi, kejar si nona itu untuk si Kakek! Siapa bilang pacaran dilarang?"
"Gua bilang pacaran itu nggak ada untungnya, murid pasti mirip gurunya." Suara familiar lainnya menyelinap di telingaku. Aku langsung tahu ini suara Hui Dàye, Biksu Hui Jue. Dia juga sudah kembali.
Saat itu, air mataku sudah kering. Memandang siluet yang begitu familiar meski agak kurus, ribuan kata akhirnya menyatu dalam satu kalimat: "Guru."
Guruku mengangguk datar, berbalik dan berjalan mendahului tanpa menoleh: "Tak perlu banyak bicara. Guru tahu segalanya! Aku boleh menghajarmu, tapi tak boleh orang luar yang berani usil. Mari kita bicara pelan-pelan di rumah."
Saat itu, Hui Dàye juga menghampiri. Baru kusadari di belakangnya ada ekor kecil Huigen. Hui Dàye berdiri di hadapanku, matanya menyapu tubuhku dari atas ke bawah. "Kau ditindas saja sudah cukup, masih ajak muridku ikut menderita. Apa ini bukan maksud suruh gua ikut turun tangan? Benar-benar brengsek seperti gurumu!" ujnya.
Aku tersenyum. Hui Dàye ini, meski Huigen tak dizalimi, pasti tetap akan membelaku kan?
