Tak kusangka turun gunung akan berhadapan dengan kerumunan sebanyak itu. Sekilas kulihat, mungkin ada ratusan orang.
Di pihak kami, hanya ada kurang dari sepuluh orang: orang-orang dari aliran kami, Hui Dàye, Huigen, Bonco Besar Boqie dari Yueyan Miao Zhai, serta Nenek Ling Qing.
Kerumunan di seberang membawa senter. Di sekeliling, tanpa kusadari, perapian telah dinyalakan. Dalam cahaya itu, kulihat banyak wajah familiar: Bonco Besar Boqie dari Desa Miao Heiyan, Lie Zhou, Bu Zhou dan anaknya, Qiaolan.
Mereka memimpin puluhan orang, menjadi mayoritas dalam kerumunan itu.
Berdiri agak terpisah dari mereka, sekitar belasan orang dari organisasi itu terlihat penuh energi. Di antara mereka kulihat Lin Chen, dan seorang pria tua yang wajahnya terasa familiar - orang tua itu.
Pria tua yang pernah menyelamatkan Xiao Chengqian di pintu Desa Tandus.
Kurang dari sepuluh orang melawan ratusan, seharusnya memberi tekanan. Namun di samping Guruku, semua terasa tenang. Kami saling berhadapan dalam hening, tak satu pun memulai pembicaraan.
Tapi begitu Bu Zhou melihatku, dia langsung melompat keluar seperti disuntik darah ayam, bahkan suaranya berubah sambil berteriak padaku: "Kau kenapa di sini? Dasar licik, apa kau datang mengejar Ruxue di saat seperti ini? Kuberi tahu, Ruxue hanya akan menjadi istriku!"
Setelah itu, dia dengan penuh emosi berkata pada Lie Zhou: "Ayah, kali ini Ayah harus bawa Ruxue pulang untukku. Aku hanya mau Ruxue."
Menghadapi Bu Zhou ini, aku sudah tak punya tenaga dan mood untuk berdebat. Aku bahkan tak meliriknya sekalipun. Tapi ucapannya memicu suara batuk-batuk di sekitar, bahkan orang-orang organisasi itu sudah tak sungkan lagi tertawa terbahak-bahak.
Membuat Lie Zhou naik darah, berteriak pada Bu Zhou: "Pulang sana, Aku bilang!"
Tapi ulah Bu Zhou sudah merusak suasana konfrontasi ini, memaksa Bonco Besar Boqie dari Desa Miao Heiyan maju berkata: "Desa kami dan Yueyan Miao Zhai awalnya hidup damai, asalkan kalian mau tunduk. Tapi desa kalian malah menyimpan niat jahat, bahkan bersekutu dengan musuh kami. Jadi kami harus datang minta penjelasan."
Kakek Poche ini, setelah mendengar ucapannya, aku merasa pusing. Ini kan sudah zaman masyarakat modern, kok masih ada perundingan kuno antar desa? Tapi kenyataannya memang begitu. Di luar peradaban, banyak fakta yang tak bisa kau pahami, dan justru fakta-fakta inilah yang kadang harus diizinkan eksis oleh negara.
Menghadapi pertanyaan seperti ini, Bonco Besar Boqie dari Yueyan Miao Zhai juga tampil ke depan dan berkata keras: "Apa yang dimaksud musuh? Bukankah Guru Jiang selalu menjadi pengawas desa kalian? Kapan kami Yueyan pernah menyatakan tunduk? Kami hanya ingin mempertahankan perdamaian ini. Justru kalian, apa maksudnya mengeroyok desa kami dengan membawa sekumpulan orang asing?"
Ini hampir tak berbeda dengan negosiasi politik. Selama tidak ada pengakuan terbuka, semua pihak bisa berkelit atau menyangkal total. Guruku seketika menjadi musuh Heiyan, sementara Yueyan juga menolak mengakui bahwa selama ratusan tahun mereka hidup dalam kondisi takluk.
Mengesampingkan retorika berbelit-belit di permukaan, semua pihak bisa menangkap satu hal tajam: Yueyan Miao Zhai secara terang-terangan telah merobek hubungan baik dengan Desa Miao Heiyan.
Benar saja, ucapan bonco besar di pihak kami membuat wajah Kakek Botze dari Desa Miao Heiyan berkedut. Dia berteriak: "Hari ini kami hanya menuntut jawaban! Pilih tunduk pada kami, seluruh penduduk desa kalian bergabung dengan Desa Miao Heiyan. Atau... kita selesaikan dengan tangan!"
Tampaknya setelah lama berkuasa, Si Kakek Botze tak bisa menahan diri lagi. Tongkat tulang di tangannya menghantam lantai keras, sementara suaranya mendesis penuh ancaman.
Setelah bicara, dia menunjukku dari kejauhan: "Dan orang ini harus kubawa pulang. Dia punya hubungan dengan seorang pengkhianat besar di desa kami. Kami perlu interogasi dia!"
Aku terdiam di dalam hati. Benar juga, kalau seseorang sudah mencapai tingkat kebejatan tertentu, bahkan para dewa di langit pun akan takut. Kau ingin menangkapku untuk menguras darahku, ya? Ini masih menggunakan nama Gao Ning sebagai dalih, tapi niat jahatmu padaku tak kunjung padam?
Saat itu, Guruku akhirnya berbicara: "Qi Shou, kau berani terus-terusan memaksa muridku pergi di hadapanku? Apa karena sudah tua, kau jadi suka bercanda? Aku diutus negara untuk mengawasi desa kalian. Kapan aku menjadi musuh desa kalian? Maksud tersiratmu adalah...?"
Wajahku berkedut. Guruku benar-benar licik. Diam-diam dia sudah menempatkan Desa Miao Heiyan berseberangan dengan negara. Dosa sebesar ini pasti takkan sanggup mereka tanggung. Sekarang lihat saja bagaimana reaksi mereka.
Ini juga pertama kali aku tahu nama asli si Kakek Poche, ternyata Qi Shou. Tampaknya Guruku memang tidak menghormatinya, sampai-sampai enggan memanggilnya "Poche".
Seperti dugaan, Qi Shou tidak berani masuk ke perangkap ucapan Guruku. Setelah lama tertekan dalam kesunyian, akhirnya dia berkata: "Kami bagian dari negara ini. Kami juga tidak gegabah melakukan hal-hal di luar wewenang. Musuh kami bukan kau. Apa muridmu bisa mewakili negara? Jiang Lichun, jangan kau kibarkan bendera besar untuk melindungi siapa pun. Aku juga tak keberatan meminta keadilan pada negara."
“Ternyata Qi Shou ini juga seekor rubah tua, kata-katanya menyiratkan ancaman terhadap Guruku. Dengan mengatakan mereka tidak bertindak gegabah, sebenarnya mengingatkan bahwa mereka punya senjata pamungkas, bahkan memperingatkan Guruku agar tidak merusak hubungan hanya karena seorang murid.”
“Tapi, mungkinkah Guruku menyerahkan aku? Tentu tidak mungkin. Guruku menghela napas dan berkata, ‘Pergilah kalian. Dengan bekerja sama dengan mereka, desa kalian sudah menempuh jalan buntu. Tapi sekarang bukan saatnya menghitung ini, kami beri kesempatan untuk introspeksi. Jika kalian masih belum puas, kami akan datang menagih penjelasan.’”
“Hng, menunggu kalian datang menghancurkan desa kami? Jangan kira aku tidak tahu kelicikan kalian!” Qi Shou berkata dengan geram.
Tampaknya mereka tahu banyak hal? Aku dalam hati menghela napas, sekaligus merasa kasihan pada si Nona kecil Ailin yang naif itu.
“Ayo pergi.” Guruku hanya berkata singkat sambil membungkukkan punggung hendak berbalik badan, sepertinya tak ingin bertele-tele dengan orang-orang ini.
Tapi aku merasa aneh, bagaimana mungkin sekelompok besar orang yang datang ini bisa pergi begitu saja? Melihat Guruku yang tampak tenang-tenang saja, seolah punya kartu as? Sayangnya aku tak tahu apa-apa.
Guruku hendak pergi, sebagai murid tentu aku tak bisa tinggal. Segera kukejar langkah Guruku.
Pada saat itu, aku mendengar Qi Shou mendesah. Tanpa bicara panjang lebar, dia justru memulai dengan melantunkan mantra. Begitu mantra mulai dikumandangkan, sekitar belasan orang langsung membentuk formasi aneh mengelilingi Qi Shou di tengah, ikut melantunkan mantra bersamanya.
Wajah Dàwū Boqie dari Yueyan Miao Zhai berubah pucat. Bergumam pelan, "Qi Shou terlalu kejam. Baru datang langsung menggunakan kutukan sejahat ini untuk menyerang desa kami. Apa dia anggap desa kami tak berpenghuni?"
Namun baru saja dia selesai bicara, terdengar suara senjata dimuat. Orang-orang dari organisasi itu maju belasan orang, semuanya membawa senjata. Bukan pistol konyol, melainkan senapan mesin militer standar. Aku tak paham persenjataan, tapi dari bentuknya bisa kukenali ini senapan mesin standar negara tertentu yang mematikan.
Apakah ini kombinasi metode modern dan 'misterius' yang digunakan bersamaan?
Guruku mendesah dingin. Untuk pertama kalinya kulihat dia mengeluarkan pistol. Ada perasaan aneh kuat: Taoist membawa senjata? Jangan-jangan Guruku adalah penembak jitu rahasia yang hendak duel satu lawan satu melawan banyak orang?
Tentu saja tidak mungkin. Guruku hanya menembak ke udara. Seketika terdengar suara gemerisik dari segala penjuru, banyak orang bermunculan.
Mereka mengenakan seragam tentara dan membawa senjata. Ini adalah pasukan khusus dari departemen kami. Rupanya mereka sudah lama mengendap di sini.
Pasukan khusus setidaknya datang lima puluh orang, langsung mengepulung belasan orang itu, keunggulannya tak perlu dijelaskan lagi. Guruku memandang kelompok itu berkata: "Masalah Desa Miao, persoalan Tao, ilmu Wu, dan ilmu santet, lebih baik diselesaikan masing-masing dengan caranya sendiri. Urusan lain jangan dicampuri. Kalau sampai berlarut-larut, muka kita semua bakal rusak."
Orang tua dari organisasi itu menatap dalam-dalam ke arah guruku, lalu mendengus sambil mengucapkan sesuatu. Anggota organisasinya pun menurunkan senjata, pasukan khusus juga mundur dua langkah.
Si kakek itu lalu berkata pada guruku: "Jiang Lichun, bagaimana kalau kita bertarung tangan kosong?"
Begitu ucapannya selesai, Lin Chen melompat ke depan sambil menatapku: "Jadi, kamu ini Chen Cheng Yi."
