Hanya tersisa satu ulat lagi. Hampir semua orang serentak menghela napas lega. Baru saat itu Cheng Xin menjawab pertanyaan Paman Wang: "Paman Jiang memiliki tenaga dalam yang sangat kuat, jadi tidak perlu minum pil itu. Semoga beliau bisa bertahan sampai formasi besar ini selesai."
Paman Wang diam saja, hanya memandang guruku dengan tatapan khawatir, entah apa yang ada dalam pikirannya.
Sejak ulat terakhir mati tersambar petir, sudah berlalu setengah jam lagi. Sepertinya keberuntungan kami sudah habis. Jarum jam menunjukkan pukul 3 lebih sedikit, tapi petir itu tetap enggan menyambar.
Di dalam formasi besar, beberapa orang dengan tenaga dalam yang relatif lebih rendah sudah mengalami pendarahan di sudut mulut atau hidung. Ini adalah pertanda konsentrasi pikiran yang berlebihan dan habisnya tenaga dalam hingga merusak sumber energi asli. Melihat kondisi Guruku yang juga parah, raut wajahnya tidak bisa lagi disebut lelah, melainkan keletihan yang menyentuh tulang sumsum.
Tapi bagi Guruku yang sumber energinya sudah rusak, lebih baik menghindari obat jika memungkinkan. Jika tidak, pemulihan akan semakin sulit. Aku menatap kilat di dalam formasi, cemas berharap petir surgawi itu segera menyambar.
Karena fokus penuh pada petir surgawi, aku tidak memperhatikan situasi di lembah. Tiba-tiba, seseorang berbisik pelan, "Bagaimana bisa itu terbang?"
Mendengar ini, bulu kudukku langsung berdiri. Apa yang terbang? Paman Wang di sampingku sudah berdiri dengan suara "Huo". Dari reaksinya, aku langsung tahu hal paling tidak kita harapkan telah terjadi.
Aku tidak ingin melihat, tapi harus memaksa diri. Karena di dunia ini, ketika sesuatu terjadi, menghindar tidak akan membuatnya lenyap.
Perlahan kuarahkan pandangan, dan akhirnya melihat induk serangga yang terluka ringan itu terbang. Ia sudah beradaptasi dengan petir! Saat ini ia hanya melayang di udara, seolah sedang menyesuaikan diri. Tapi dari dalam hatiku muncul rasa ngeri: Makhluk apa ini? Pantas Paman Wang menggunakan sistem level. Hanya dalam beberapa jam, ia sudah beradaptasi dengan petir yang semestinya menjadi musuh alaminya. Ini adalah nyawa yang jauh lebih perkasa dari manusia.
Pada saat ini, aku secara refleks menatap Guruku. Kulihat dia sedang menurunkan satu tangannya. Dari gerakan itu, aku tahu Guruku telah menelan pil.
Petir dalam Formasi Sepuluh Ribu Petir kini sudah semakin jarang. Kilat hanya menggelegar di langit, yang turun ke bumi semakin sedikit, sehingga fenomena ini terjadi!
Pertama, karena durasinya terlalu lama, orang-orang mulai kelelahan.
Kedua, induk serangga yang terbang telah mempengaruhi semangat semua orang, terutama dalam kondisi lelah.
"Fokuskan pikiran! Terus kendalikan formasi! Meski petir tak bisa melukainya banyak, setidaknya bisa mengganggu. Sekarang aku akan menarik petir surgawi!" Suara Guruku terdengar. Guruku akan memanggil petir langit?!
Aku langsung tegang. Bukankah katanya sekarang sudah tidak ada lagi Taoist yang bisa mengendalikan petir surgawi?
Paman Wang dan Paman Chen langsung panik, terutama Paman Chen yang berteriak: "Shixiong, biarkan operasi ditingkatkan saja! Kau tidak boleh menarik petir surgawi seperti ini!"
Guruku hanya menjawab: "Ini beban hati dan keinginan Guru. Sebagai murid, aku harus memenuhinya." Setelah berkata demikian, Guruku mengabaikan kedua pamannya dan mengeluarkan beberapa bendera formasi yang ditancapkan di sekelilingnya sesuai posisi tertentu.
Di sisi lain, induk serangga mulai terbang goyah-goyah, lebih lambat dari bayi yang belajar berjalan.
Petir menyambar tubuhnya tanpa henti, kami berusaha mati-matian menghalanginya terbang cepat. Jika sampai berhasil, mungkin tak ada satu pun dari kami yang bisa keluar hidup-hidup dari lembah ini.
Guruku mulai melantunkan mantra dengan cepat dan gugup, namun seiring itu kecepatan induk serangga juga semakin bertambah!
Aku melihat jelas target ulat ini adalah orang-orang dalam formasi besar. Meski tak bisa berkomunikasi, aku merasakan kebencian dan kemarahan yang menyala-nyala darinya.
Akhirnya induk serangga mulai terbang normal dengan kecepatan seperti anak panah. Ini di luar pemahamanku, secara fisik semakin besar ukuran seharusnya hambatan udara semakin besar. Bentuk ulat ini pun tidak aerodinamis, bagaimana bisa secepat itu?!
Di tengah formasi, Guruku berada di garis depan. Tak tahan lagi, aku berlari ke arahnya. Dulu di Desa Tandus kami pernah memanggil petir bersama, kenapa sekarang tidak?!
Tiba-tiba Paman Chen dan Paman Wang bersama-sama menahanku. Paman Chen berkata: "Percayalah pada gurumu. Biarkan dia menyelesaikan sendiri. Ikatan dia dengan gurunya sama dalamnya dengan perasaanmu padanya."
Tapi di ambang hidup-mati, sebesar apapun kepercayaanku, kekhawatiran tak mungkin hilang. Badanku bergetar hebat karena cemas. Aku tak bisa hanya diam melihat guruku tewas di depan mata - itu pasti akan menghancurkan diriku.
Untungnya, perkataan Guruku selalu berguna. Meski induk serangga bergerak cepat, hantaman petir yang bertubi-tubi akhirnya berhasil menghambatnya. Makhluk itu terbang sejenak, berhenti sebentar, memberi waktu bagi guruku untuk menyelesaikan ritual.
Akhirnya, lantunan mantra guruku selesai. Jarak antara induk serangga dengan guruku kini tinggal 50 meter. Padahal bagi kecepatan makhluk itu, 50 meter hanyalah sekejap mata.
Hatiku sedikit lega, hanya berharap petir surgawi segera menyambar!
Induk serangga kembali melesat maju, menempuh sekitar 30 meter. Tiba-tiba guruku memuntahkan darah segar dari mulutnya, dan sebuah petir surgawi menghujam dari langit tepat mengenai tubuh induk serangga.
Tubuh makhluk itu miring, terhenti mendadak. Separuh badannya mengeluarkan asap kehijauan, namun tetap melayang di udara.
Satu petir surgawi mana cukup untuk membunuh induk serangga?
Guruku bahkan tak sempat membersihkan darah di sudut mulutnya. Kembali sebuah petir menyambar. Induk serangga terhuyung-huyung namun pantang menyerah mendekati guruku yang kini hanya berjarak 10 meter.
Proses menghujamnya petir membutuhkan waktu. Hatiku seperti tercabik. Tak tahan lagi, aku melepaskan diri dari pegangan dua paman seperguruan dan berlari tergopoh-gopoh ke arah guruku. Dari belakang, suara Paman Chen bergema: "Lao San! Berhenti menarik perhatiannya! Kau ingin meregang nyawa?"
‘Lao San’ adalah panggilan akrab Paman Chen untuk Guruku, jarang digunakan sehari-hari apalagi di depan orang. Ini menunjukkan seberapa paniknya Paman Chen?
Mendengar Guruku bisa kehilangan nyawa karena memanggil petir surgawi, mataku nyaris melotot keluar. Aku berharap bisa tumbuh sayap dan terbang ke sisi Guruku.
Tapi seseorang bergerak lebih cepat dariku. Seketika, sosok itu sudah berada di depan Guruku lalu melompat tinggi, menendang keras induk serangga yang terbang sekitar 2 meter!
‘Peng!’ Induk serangga itu terpental mundur beberapa meter. Sosok itu begitu gagah perkasa!
Baru kusadari, sosok itu adalah Hui Dàye. Tanpa perlu berpikir, aku tahu Hui Dàye telah menjelma sebagai Arhat lagi. Bagaimana mungkin bisa menendang induk serangga sampai mundur beberapa meter?
Jantungku berdebar kagum, tak kuasa berteriak: "Hui Dàye, ilmu ringanmu hebat! Lompat dua meter, kau yang paling keren!"
Hui Dàye tidak menoleh, hanya berteriak: "Aku selalu bertarung berdampingan dengan gurumu. Kau dan Huigen juga harus begitu nanti."
Tentu saja! Hatiku bergejolak. Kehadiran Hui Dàye membuatku merasa Guruku lebih aman. Induk serangga yang terpental itu mungkin merasa terhina ditendang manusia, langsung menyergap Hui Dàye.
Meskipun terkena dua Ons petir surgawi dari Guruku, induk serangga itu mengalami luka parah, namun kecepatannya masih sangat tinggi. Hampir seketika ia sampai di depan Hui Dàye yang tanpa takut mengayunkan tinju.
Jantungku serasa naik ke tenggorokan. Aku juga khawatir dengan Hui Dàye, melawan induk serangga dengan tubuh daging dan darah. Bagaimana jika Hui Dàye juga...?
Tapi apa arti rekan? Guruku dan Hui Dàye adalah contohnya! Di saat genting ini, petir surgawi Guruku kembali menyambar, 'Gemuruh!' menghujam tubuh induk serangga!
Kali ini induk serangga terjatuh keras ke tanah tak bergerak. Kerumunan orang bersorak gegap gempita. Akhirnya makhluk ini mati, sebab semua menyaksikan induk serangga maksimal hanya tahan tiga atau empat petir surgawi.
Hui Dàye tertawa terbahak-bahak lalu menunjuk Guruku sambil memaki: "Jiang Lichun, kau mau duel satu lawan satu denganku? Petirmu hampir mengenai aku, tidak bisa kendali sedikit pun!"
Guruku tidak membalas. Orang-orang tertawa riang. Tiba-tiba induk serangga melompat ke udara. Kulihat sedotan fluoresensi ungu menyambar cepat ke arah Hui Dàye...
Awalnya aku juga tertawa, tapi tiba-tiba wajahku menjadi kaku. Tertawa terhenti, teriakan tertahan, hanya bisa mengeluarkan suara serak: "Hui..." lalu membeku di tempat.
‘GEMURUH’ Sebuah petir surgawi lagi menyambar, menghantam tubuh induk serangga. Dengan suara ‘BRUK’ tubuh induk serangga itu terjatuh ke tanah, Guruku mundur terhuyung beberapa langkah, memuntahkan darah dari mulutnya ke langit sebelum akhirnya terjatuh duduk di tanah.
“Guru!” Darahku serasa memenuhi kepalaku, tak kuasa kutahan teriakan meluap dari kerongkonganku.
