"Bukankah Paman Chen tidak bilang akan kembali?" Aku agak bingung. Kak Cheng Xin tersenyum kecut, "Untung Pondok Bambu ini di selatan. Kalau di utara, aku pasti tidak mau datang di musim dingin. Selatan lebih baik, Tahun Baru Imlek belum tapi sudah tercium aroma musim semi. Sedangkan utara masih diselimuti salju."
Paman Chen tidak menanggapi. Aku dan Kak Cheng Xin saling pandang dengan wajah getir. Sebenarnya ucapan Kak Cheng Xin tadi adalah cara halusnya untuk mengorek informasi dari Paman Chen - apakah benar-benar harus datang ke sini, dan apa alasannya.
Sayangnya Paman Chen pura-pura tuli. Andai dia menjawab "Memang kenapa kalau di utara? Aku tetap akan datang", pasti Kak Cheng Xin langsung mengejar-ngejar pertanyaan.
Setelah kedatangan Paman Chen, semakin banyak orang berdatangan ke Pondok Bambu. Pertama Hui Dàye dan Huigen, lalu Nenek Ling Qing yang datang sendirian. Kemudian Paman Wang, Cheng Qing adik seperguruan, terakhir Paman Li dan Kak Cheng Qing...
Aliran kita berkumpul secara misterius di sini. Tapi hatiku semakin resah. Jangan-jangan Guruku hanya mengundang orang untuk merayakan Tahun Baru Imlek?
Generasi tua jelas-jelas menduduki bangunan utama Pondok Bambu. Setiap hari mereka mengunci diri, entah membicarakan apa. Kami generasi muda sering disuruh turun gunung tanpa alasan jelas - mau tidak mau harus pergi.
Fenomena ini, selain Huigen yang tak punya perasaan, generasi kami semua dipenuhi pertanyaan dan kegelisahan. Kak Cheng Xin kembali mengulang pendapatnya: selama bertahun-tahun, generasi tua selalu terkesan seperti sedang mempersiapkan sesuatu.
Ucapannya jelas menggugah resonansi kami, tapi kami tak punya cara. Hanya Cheng Zhen yang berkata, "Aku akan mengawasi guruku ketat-ketat. Aku takkan biarkan dia menghilang begitu saja."
Cheng Zhen yang termuda, ucapannya masih terasa kekanak-kanakan, tapi tak bisa disangkal sebagai solusi. Seperti urusan diri sendiri yang paling kita pahami, kami sangat mengenal masing-masing guru kami. Generasi muda seperti kami tak bisa memaksa mereka bicara terbuka.
Tepat saat generasi muda kami dibuat seram dan semakin gelisah, generasi tua tiba-tiba berhenti mengadakan pertemuan rahasia. Mereka mulai hidup normal seolah tak terjadi apa-apa, dan tak lagi menyuruh kami turun gunung.
Hari bergulir. Betapapun gelisahnya hati, tak bisa dipungkiri masa-masa ini adalah kebahagiaan. Satu-satunya kebahagiaan penuh keriangan dalam hidupku.
Dalam kebahagiaan ini, Tahun Baru Imlek tiba. Guruku memerintahkan untuk berkumpul meriah. Semua mulai sibuk mempersiapkan perayaan.
Pondok Bambu pertama kali ditempeli gantungan Tahun Baru yang meriah, pertama kali digantungi lentera. Aku juga pertama kali mempersiapkan yang disebut persediaan tahunan, memasak yang disebut makan malam tahun baru. Hal-hal biasa bagi orang biasa ini terasa sangat segar bagiku, mengingat sejak usia 15 tahun aku meninggalkan rumah, tak ada ingatan tentang perayaan Tahun Baru Imlek, apalagi mempersiapkan sendiri persediaan tahunan atau memasak makan malam tahun baru.
Mendengar kabar kita akan merayakan reuni tahunan di Pondok Bambu, Paman Hu bahkan khusus mengumpulkan kembang api dan petasan dalam jumlah besar, bilang harus meriahkan satu tahun ini.
Malam tanggal 30 Imlek, kami sekelompok besar duduk mengelilingi meja makan. Mejanya masih pinjam dari kantor desa, karena di sini tidak ada meja sebesar itu. Ini pertama kalinya aku menikmati makan malam tahun baru seramai ini, terasa seperti mimpi yang terlalu indah.
Guruku, saudara seperguruan, orang tua, Hui Dàye, Huigen, Nenek Ling Qing, Paman Hu... Dalam hati kupikir jika ditambah Surou dan Qinhuai, Tahun Baru Imlek ini dalam hidupku akan sempurna.
Makan malam ini berlangsung meriah selama beberapa jam. Di meja makan malam tahun baru, aku mabuk, Guruku juga agak mabuk. Huigen sudah sejak tadi merengek ingin menyalakan kembang api.
Akhirnya sekelompok orang seperti orang gila itu mulai menyalakan kembang api dan petasan dengan riuh di halaman Pondok Bambu.
"Kembang api yang dibawa Paman Hu adalah barang mewah." Saat kami menyalakannya satu per satu, bunga-bunga api besar mekar di atas Pondok Bambu, keindahannya membuatku semakin mabuk kepayang.
"Kembang api ini sungguh indah ya." Aku tak sengaja bergumam pelan.
Guruku berdiri di sampingku, tiba-tiba menyambung ucapan: "Kembang api cepat dingin, manusia pun pasti berpisah. Tapi kenangan takkan bisa dirampas siapa pun, itu saja sudah cukup."
Hatiku langsung berat, tapi Guruku sudah berpaling untuk bersama Hui Dàye menggoda Nenek Ling Qing. Aku linglung, jangan-jangan tadi salah dengar?
※※※
Setelah Tahun Baru Imlek berlalu, satu per satu orang mulai berpamitan.
Yang pertama pergi adalah Hui Dàye dan Huigen. Kata Hui Dàye, Huigen harus masuk sekolah jadi harus buru-buru pulang. Kemudian semua mulai beranjak, yang terakhir pergi adalah Paman Li.
Katanya, dia sudah pensiun dan ingin menikmati hari-hari tenang lebih lama.
Setelah Paman Li pergi, Pondok Bambu hanya tersisa aku, Guruku, Yuan Xi, dan Yuan Yi.
Kesadaran Yuan Yi sudah mulai pulih perlahan, tinggal pemulihan dan terapi. Dengan bantuan Paman Chen, kondisinya semakin membaik. Meski belum bisa bicara lancar, dia sudah bisa merawat diri sederhana.
Melihat semua ini, Guruku sangat terharu.
Hari-hari pun berlalu dengan normal. Guruku tidak menyebutkan apa-apa, tidak melakukan apa-apa, hanya mengajar Yuan Xi dengan serius, dan tetap membimbingku.
Kehidupan seperti ini sangat tenang, seolah kembali ke masa kecil di Pondok Bambu. Seiring waktu, hati gelisahku dan urat saraf yang tegang pun perlahan mengendur.
Karena sikap guru yang terlihat sangat normal, dan hari-hari yang berjalan damai, membuatku merasa semua kecurigaan kami sebelumnya hanyalah kekhawatiran berlebihan. Lagi pula, para generasi tua masih hidup sehat di sini. Bagaimana mungkin mereka menghilang setelah memberikan pesan-pesan tertentu kepada kami?
Dunia ini kan tidak sebesar itu. Bagaimana cara mereka menghilang? Pasti akan ada jejak yang bisa dilacak. Kecuali kematian, tak ada yang bisa memutus hubungan kami dengan para guru!
Dengan berpikir begitu, hatiku pun menjadi tenang.
Sekejap mata, dua bulan telah berlalu. Cuaca sudah sangat hangat. Beberapa waktu lagi mungkin akan memasuki awal musim panas.
Saat ini sudah tahun 1994. Aku tiba-tiba menyadari usiaku sudah 27 tahun. Betapa cepat waktu berlalu.
Pada suatu hari, guru tiba-tiba berkata kepada Yuan Xi: "Beberapa metode dasar Aliran 'Gunung' sudah kuajarkan padamu. Kau bisa dianggap telah memulai perjalanan ini. Tapi ingat, bertapa selalu bergantung pada diri sendiri. Jika ada yang tidak dimengerti, tanyakankah pada Kakak Cheng Yi. Selain itu, ini ada catatan tulisan tanganku tentang praktik Aliran 'Gunung'. Pelajarilah baik-baik setelah pulang."
Saat mengucapkan ini, kami berempat sedang makan. Aku tak bisa menahan diri untuk mengangkat kepala, memandang Yuan Xi dengan heran dan bertanya: "Apakah kalian akan pergi?"
Yuan Xi juga tampak bingung, berkata: "Aku mengambil cuti satu tahun, masih banyak waktu. Bagaimana mungkin kami akan pergi?"
Guruku meletakkan sumpit dan berkata: "Ini keputusanku. Proses pemulihan Yuan Yi sudah mencapai titik jenuh, lebih baik melanjutkan pemulihan sistematis di rumah sakit besar agar tidak terhambat. Bakat Nona kecil Yuan Xi ini lebih condong ke warisan aliran lain, bukan Aliran 'Gunung'. Jadi tidak perlu menghabiskan waktu terlalu lama di Aliran 'Gunung', lebih baik fokus mempelajari aliran-aliran lain untuk menentukan arah yang tepat. Bagaimanapun, mempelajari semuanya hanya akan membuat tidak ada yang dikuasai. Kami sudah memberikan fondasi kuat untuk Yuan Xi, dan warisan dari sisi Yuan Yi juga akan diberikan padanya."
Menghadapi penjelasan Guruku, Mas Yuan Yi menyetujui dengan kalimat-kalimat yang terputus.
Selama ini kami juga terus-menerus berkomunikasi dengan Mas Yuan Yi. Bagaimanapun, dulu keputusan membawa Yuan Xi ke jalan ini adalah pilihan impulsifku. Kini saat Mas Yuan Yi semakin sadar, kami harus mendengar pendapatnya.
Kakak Yuan Yi dengan susah payah menjelaskan pada kami bahwa aliran mereka juga termasuk Aliran "Gunung". Namun bakat Yuan Xi dalam aliran ini kurang menonjol. Kakak Yuan Yi berpendapat pewarisan ilmu tak harus ke keluarga sendiri. Ia tak berani mengkhianati warisan leluhur, dan selalu berencana mencari murid di kemudian hari. Untuk putrinya sendiri, daripada belajar setengah matang dan terjun ke kehidupan Taoist, lebih baik menjalani hidup biasa.
Tapi takdir tak pernah mengikuti keinginan manusia. Pada akhirnya Yuan Xi tetap menginjakkan kaki di jalan bertapa. Ya sudah, diterima saja. Lagipula Kakak Yuan Yi mulai legawa. Yang penting Yuan Xi belajar dengan bahagia, pencapaian tingkat apa bukan lagi hal utama.
Dulu aku terlalu ngotot.
Setelah percakapan ini, Kakak Yuan Yi dan putrinya pergi pada hari ketiga. Guruku khusus menghubungi mobil dinas untuk mengantar mereka.
Sekejap mata, Pondok Bambu yang pernah ramai itu kembali hanya menyisakan aku dan Guru.
Perubahan ini selalu mengingatkanku pada ucapan Guru: Kembang api mudah dingin, manusia pasti berpisah. Segala keramaian yang megah akhirnya kembali ke kesederhanaan.
