"Bangunlah, si bocah nakal! Berbaring di sini tidak pantas." Dalam keadaan setengah sadar kulihat Guruku, ia telah kembali.
Dengan gembira hampir menangis kutanya: "Guruku, tadi ke mana saja?"
Guruku diam seribu bahasa. Ia berpaling sambil berkata: "Lapar. Cari makanan."
"Guruku, kau tetap di sini, aku akan mengambilkan untukmu, kau tetap di sini." Aku buru-buru bangkit, ingin menyambar Guruku, tapi mendapati tanganku menggenggam udara. Seketika aku membeku, sosok Guruku di hadapanku tiba-tiba menguap bagai asap, berubah menjadi monster kecil ungu yang selama ini menghilang itu yang sedang menatapku.
Sama sekali tidak takut, dengan penuh kemarahan dan kegilaan aku menerjang, menangkap monster kecil itu sambil berteriak: "Kembalikan Guruku padaku, kembalikan..."
"Kembalikan..." Aku terus menggumamkan itu, lalu tiba-tiba membuka mata lebar-lebar.
Langit-langit yang familier, kamar yang sunyi. Aku masih tertidur di tempat yang sama seperti kemarin malam. Mana ada Guruku? Mana ada monster?
Pikiranku kosong, dengan kaku aku berdiri. Gemerisik hujan di luar terdengar. Sepertini hujan musim semi terakhir kali. Sesak di ruangan ini membuatku ingin gila, akhirnya kuberjalan keluar dan duduk di tangga Pondok Bambu. Memandangi gerimis yang berjatuhan, tiba-tiba merasa tempat ini sangat nyaman.
Hmm, aku akan menunggu Guruku di sini saja.
Selama ini tak pernah kumengerti seberapa dalam perasaanku pada Guruku. Seperti sekarang, meski tak setetes air mata pun jatuh, nafasku terasa sesak. Duduk bodoh seperti ini, untuk sementara kehilangan kemampuan berpikir.
Selalu terasa harus melakukan sesuatu, tapi tak bisa meninggalkan tempat ini. Karena aku harus menunggu Guruku.
Dia pernah bilang ke Nenek Ling Qing: "Aku selalu ada di Pondok Bambu." Apaan sih, kok sampai sekarang belum pulang juga?!
Dari pagi duduk sampai gelap gulita, hmm, sehari sudah lewat. Aku rasa harus tidur, tapi begitu berdiri kaki mati rasa, langsung terjatuh di serambi panjang. Ya udah, tidur di sini aja.
Pas bangun beneran pagi harinya, matahari sudah bersinar lagi, silau banget. Aku nggak ingat berapa kali terbangun semalam, pokoknya pas bangun kali ini, kepalaku masih linglung. Kuretas wajahku, masih ada bekas air mata yang belum kering.
Aku nggak tahu harus ngapain, nggak juga lapar. Cuma merasa sakit hati banget, pengin putusin rasa ini.
Kutubruk ke dapur, nemuin labu air. Guruku selalu pake ini buat nyimpen arak. Melihatnya, hatiku sakit lagi. Jiang Lichun, kok bisa ninggalin aku? Masa nggak bisa kayak dulu di Beijing, bilang mau pergi beberapa tahun? Atau bilang "Kamu sudah gede, jangan ikutin gurumu lagi". Bahkan bisa marahin aku. Tapi kok bisa tega ninggalin gitu aja?
Kok bisa - diam-diam pergi?
Mikirin itu, kulepas tutup labunya. "Gubrak, gubrak" kubegahkan arak ke mulut. Langsung tersedak pedasnya. Dulu si orang tua itu emang suka arak enak, tapi keuangan kami cuma pas-pasan. Arak Daqu jiu (arak tradisional Tiongkok) yang pedas begini, wajar aja bikin tersedak.
Tapi seketika itu juga aku merasa lebih baik. Rasa arak yang hangat membakar otakku. Darahku mendidih, hatiku menegang. Aku malah bisa tertawa. Aku berteriak di dapur yang kosong: "Jiang Lichun, keluarlah! Aku akan membelikanmu arak enak!"
Tapi siapa yang akan menjawabku? Aku menyunggingkan senyum sinis. Asal saja kumeruak isi labu itu. Limbung aku berjalan ke serambi panjang, terus minum. Cairan arak mengalir dari sudut bibirku, ke leher, membasahi kerah baju di dadaku. Tapi air mata tak mau jatuh.
Di bawah pengaruh arak, pikiranku mulai bekerja. Aku merasa diri terlalu pengecut. Haruskah aku cuci muka lalu turun gunung mencari guruku? Tapi kebencian menggerogotiku. Bagaimana kau bisa pergi diam-diam? Bagaimana kau tega meninggalkanku? Bagaimana?!
Ingatanku mulai kabur. Aku muntah-muntah tak karuan. Lalu merebah di suatu tempat. Dalam kekaburan, bayangan-bayangan muncul: Diriku kecil berlatih jurus di tepi kolam. Guruku berlatih jurus di halaman sambil sesekali membentakku. Di serambi panjang, kami minum teh panas sambil main catur. Di ruang utama, kami makan bersama...
Tak sanggup lagi melihat, kupaksakan pejamkan mata. Dunia berputar-putar. Akhirnya aku terlelap dalam kehancuran, tak sadar apa-apa.
Saat aku terbangun lagi, aku sudah tidur di tempat tidur, tubuhku sudah dibersihkan, tapi bau arak masih tercium. Kulihat ibu menatapku dengan mata berkaca-kaca sambil memegang mangkok bubur, sementara ayahku memandangiku dengan kesal.
"Nak, kau sudah sadar? Mau makan?" Ibu mengulurkan mangkuk, bertanya dengan hati-hati.
Ku dorong mangkuk itu. Tak ada nafsu makan.
"Ada masalah apa, ceritakan ke Ibu?" Di seberang, pandangan ayah juga penuh harap.
Tapi aku tetap hening.
Bukan sengaja ingin membuat marah orang tua. Bukan tak mau makan. Hanya tak bisa bicara. Juga tak lapar.
Dalam keheningan, ayahku meledak. Dengan gerakan cepat dia menamparku sambil berteriak: "Lihat kau jadi apa? Puluhan tahun Master Jiang membimbingmu untuk ini? Diam saja, kami juga tahu pasti Master Jiang sudah pergi. Waktu itu sudah terasa aneh. Tapi kau pikir, Master Jiang itu siapa? Pasti dia punya tujuan sendiri. Sudah puluhan tahun berbuat baik sebesar lautan, kenapa kau begini? Marah sama siapa? Aku bisa pukul kau sampai mati!"
"Sambil berkata, tangan Ayahku sudah siap mencambuk lagi. Aku memandang kosong, Ibu segera menarik lengan Ayah sambil berkata padaku: "Nak, Ibu tahu kau sedih. Makanlah sedikit, jangan buat kami susah. Ayahmu sudah susah payah menggendongmu dari luar. Jangan buat dia marah lagi. Makanlah, habiskan. Nanti Ibu temani kau cari Master Jiang. Orang hidup pasti bisa ditemukan.""
"Hah..." Tangan Ayah turun lesu. "San Wa'er, di mata Ayah, Master Jiang itu seperti dewa. Mereka sangat menghormati takdir. Jika jodoh sudah habis, ya berpisah. Tapi kau... kau harus terus hidup, mengerti? Master Jiang mengajarimu banyak, menerimamu sebagai murid, agar kau mewarisi ilmunya. Ini budi baiknya, kau harus membalasnya.""
Begitulah sifat jujur Ayahku. Dadaku sesak. Ingin menangis tapi air mata tak keluar. Hati masih perih. Kuangkat mangkuk, menyuap bubur buatan Ibu sesuap demi sesuap.
※※※
Demi aku, orang tuaku malah menetap di Pondok Bambu. Aku malu di usia begini masih merepotkan mereka. Tapi kesedihan ini tak bisa kutahan.
Aku tak mencari Guruku. Sudah kusadari, dia sengaja menghilang. Sekarang aku paham, tatapan terakhirnya dulu—itu jelas mata berkaca-kaca.
Aku tak tahu alasan sebenarnya apa yang membuatnya pergi diam-diam. Mungkin secara logika, sebagai orang dewasa, kepergian guru tak bisa disebut meninggalkan. Tapi secara emosional, ini sangat sulit kuterima. Dengan keras kepala, kupikir pergi tanpa pamit seperti ini sama saja dengan meninggalkan.
Kucoba mati-matian mencari tahu alasannya, tapi tetap tak bisa kupahami.
Kesedihan datang beruntun. Pada hari ketiga orang tuaku menetap, Kak Cheng Xin datang. Sama sepertiku, berjanggut tidak terurus. Kalimat pertamanya, "Guruku hilang. Tak usah kau jelaskan, dari rautmu saja aku tahu gurumu juga hilang. Tapi Paman Li menyuruh kami menunggu di Pondok Bambu."
Tak banyak kutanya. Hening. Kak Cheng Xin pun sama.
Sore itu, Cheng Zhen datang sambil terisak. Jelas, gurunya hilang. Juga dapat pesan: tunggu di Pondok Bambu.
Esok atau lusanya, aku tak ingat pasti, Qinhuai datang sambil menggandeng Huigen yang terus menangis. Begitu melihatku, Huigen langsung memelukku sambil berteriak, "Gua nggak mau makan kue lagi!"
Qinhuai berkata sedih, suatu hari Hui Dàye membawa Huigen mencarinya. Katanya Huigen ingin makan kue. Karena tak punya uang sebanyak Qinhuai, dia minta Qinhuai mengajak Huigen makan kue enak. Lalu...
Aku tahu, Hui Dàye juga menghilang dengan cara yang tidak bertanggung jawab. Usiaku 27 tahun, sayangnya Huigen baru 13 tahun.
Akhirnya, Ruxue dan Ruyue datang.
Aku tak pernah ingin bertemu Ruxue dengan penampilan gagal seperti ini, tapi begitulah kenyataannya. Di hadapan banyak pasang mata, Ia memelukku dari belakang sambil berkata: "Jangan menoleh. Anggap ini dorongan dari teman yang ingin kau bangkit. Nenek buyutku telah pergi, aku sedih, tapi Ia meninggalkan pesan. Katanya mungkin Gurumu akan pergi diam-diam sesuai karakternya, dan kau akan sangat terluka. Ia menyuruhku datang untuk menguatkanmu."
Saat ini aku tidak menoleh, tapi air mata akhirnya mengalir di pipi. Rupanya menangis terasa begitu melegakan.
