“Setelah jamuan makan, aku mengemudikan gerbong kereta mengantar Surou pulang. Di era itu, mengemudi setelah minum arak belum dilarang keras. Surou duduk santai di sampingku, menyilangkan kaki dan mengunyah tusuk gigi sambil berkata, "Masalah Anyu itu cukup serius, apa kau yakin bisa?"”
“"Sekarang masih sulit menilai situasi. Harus dilihat dulu baru bisa bicara." Aku mengerutkan kening lalu berkata.”
“Lokasi masalah Anyu adalah gedung perkantoran perusahaannya. Sebelumnya Anyu selalu menyewa, tapi setelah kaya raya dia membeli sebuah gedung sebagai investasi. Tak disangka gedung baru itu terus-menerus terjadi hal aneh, membuat karyawan tak ada yang berani lembur.”
"Gedung perkantoran ini memang menghabiskan banyak dana Anyu. Sekarang setelah kabar menyebar, tidak bisa dijual, lantai lain juga tidak bisa disewakan, benar-benar menjadi beban pikiran Anyu. Apalagi entah karena gedung ini atau tidak, bisnis perusahaannya juga tidak lancar. Ia merasa bisnisnya hampir runtuh karena gedung ini."
"Makanya, begitu melihatku, dia langsung minta tolong. Pernikahan yang gagal, tidak punya anak, keluarga hanya mengincar uangnya. Selain orang tua, bisnis ini satu-satunya sandaran hati Anyu. Kalau ini hilang, katanya dia sendiri juga tidak bisa hidup lagi."
"Tapi penjelasannya samar, karena dia sendiri takut berlama-lama di gedung itu. Jadi tidak mengalami hal aneh langsung, hanya mendengar kabar burung tentang berbagai keanehan. Aku juga belum bisa menilai situasinya."
"Selain itu, kalau gedung itu memang tidak bermasalah dan ini sudah takdirnya, aku juga tidak bisa berbuat apa-apa."
"Melihatku ragu-ragu, Surou meludahkan tusuk gigi lalu berkata: 'San Wa'er, Lao An ini aku kenal baik. Kalau masalah ini tidak terselesaikan, sebagian besar uangnya akan terperangkap di gedung itu, ditambah bisnis perusahaan yang tidak lancar, dia benar-benar bisa bunuh diri.'"
"'Kalau ini memang takdirnya mengalami pasang surut, aku tidak akan ikut campur. Tapi akan kucoba! Pokoknya, aku akan menasihatinya, bunuh diri bukan solusi baik, karma-nya sangat berat,' kataku sambil menyetir."
"'Goblok, masa begitu? Nyawa sendiri tidak boleh menentukan, bunuh diri karma-nya masih berat?' Surou berteriak kaget.
“Hidup, tua, sakit, mati. Empat ujian dari Langit bagi manusia, setiap tahap harus dialami dan dihadapi. Orang yang penuh berkah mungkin bisa terhindar dari penyakit, tapi jumlahnya sangat sedikit. Bunuh diri adalah bentuk ketidakmampuan menghadapi ujian hidup, sekaligus secara tak langsung juga gagal menghadapi ujian kematian, karena tidak melalui proses kematian alami sesuai Tao. Ini adalah perbuatan melawan takdir Langit, menurutmu dosanya berat tidak?” Aku menjelaskan pada Surou, bahwa orang yang nekat bunuh diri biasanya membutuhkan kekuatan pikiran yang besar untuk ritual pelepasan arwah, jika tidak benar-benar akan dililit dosa.
Surou menghela nafas, berkata: “Udahlah, jangan bahas dia lagi. Ayo ke rumahku. Chunyan tadi tahu kami minum arak, dia sudah masak panci bubur, bilang mengajakmu juga.”
“Aku tidak ikut.” Saat mengucapkan ini, kami sudah sampai di rumah Surou. Kukinjak rem, menghentikan gerbong kereta di pinggir jalan, lalu melanjutkan: “Tunggu sebentar, aku harus menjemput Ruyue. Pesawatnya malam ini tiba di sini.”
Surou mengorek sebatang rokok dari saku bajuku dan menyalakannya, lalu memandangiku dengan sedikit khawatir: “Apa si Qinhuai yang nakal itu ikut bersama dia kali ini?”
Aku juga menyalakan rokok, bersandar di kursi gerbong: “Tidak, kali ini Ruyue sendirian. Katanya dia ke sini untuk bahas proyek, aku cuma menjemput saja.”
“Ah, San Wa'er, kamu masih belum paham isi hati Ruyue? Si Qinhuai ini juga... Kapan kalian bertiga baru mau menikah dan berkarir? Ruyue terus bilang tidak mau menikah seumur hidup, sibuk kerja, orang bodoh pun tahu hatinya tertuju padamu. Sedangkan Qinhuai ini, gonta-ganti pacar terus, bilangnya menikmati hidup, tapi siapa yang tidak tahu kalau hatinya tertuju pada Ruyue? Masalah ini, apa harus terus begini seumur hidup?” Surou berkata dengan nada kesal.
Sebenarnya dia sedang mengkhawatirkan kami.
Aku menghembuskan asap rokok, terdiam lama. Sebenarnya ini hal yang selalu kuhindari untuk dipikirkan. Setelah lama, akhirnya kuucapkan: "Mengikuti takdir saja."
"Takdir? Bagaimana denganmu dan Ruxue? Terus begini? Dulu kau bilang setahun sekali bertemu Ruxue, tapi tiap musim dingin mana ada yang tidak kau habiskan sebulan di Yueyan Miao Zhai? Kadang Ruxue juga datang ke sini mencarimu! Menurutmu ini tidak aneh? Selain hubungan fisik, kalian seperti pasangan suami istri yang jarang bertemu, tapi memaksa bertahan. Ini benar-benar di luar pemahaman orang biasa seperti aku." Surou memaki. Terdiam sejenak, seolah belum puas, dia meludah dan berkata: "Nikahlah saja! Ke luar negeri. Di sana kalian suami istri, hukum China mungkin tidak mengakui, jadi tidak melanggar adat. Atau, kau terus menunggu Ruxue bukan perempuan ahli santet lagi, lalu?"
Aku sedikit mengerutkan kening, lalu tertawa sambil memaki: "Pergi dengan hubungan fisikmu, sudah lah, ikuti takdir. Bukankah Guruku dan Nenek Ling Qing juga menghabiskan seumur hidup seperti ini?"
"Kau memang berani, benar-benar hebat! Rela tidak memberi harapan untuk orang tuamu." Surou membuang puntung rokok, lalu memberikan jempol padaku.
Aku malas berdebat lagi, langsung mendorong pintu mobil di sisi Surou dari kursi pengemudi, berkata: "Turun kau dari sini. Reproduksi populasi dunia bukan tanggung jawabku seorang. Paling-paling kau saja yang bikin anak ekstra untuk menutupi kekuranganku."
"Coba tanya ayah ibumu mau tidak?" Surou mengunyah permen karet sambil berkata padaku dengan marah.
"Bukan semua hal bisa tercapai hanya dengan kemauan. Sejak kecil, saat bekas lahir ini muncul, semuanya sudah ditakdirkan. Ada hal-hal yang tidak bisa dipaksakan meski orang tua atau aku menginginkannya. Dalam seumur hidupku, kulihat banyak hal. Ini memang bagian tambahan dari kehidupan orang biasa, wajar jika ada yang harus dikorbankan." Kataku datar.
Surou menunjukku, lalu menggelengkan tangan dengan pasrah: "Sebentar lagi jemput Ruyue ke rumah kami, jangan biarkan dia menginap di hotel. Aku suruh Chunyan siapkan makanan, jangan berani menolak."
Aku mengangguk. Surou menghela napas lalu turun dari mobil.
Aku menutup pintu gerbong, tak bisa menahan diri mengerutkan kening. Lama aku termenung di dalam gerbong. Di luar jendela, ribuan rumah berpendar. Pasti hangat di balik cahaya itu. Sayang, itu milik orang lain, tak ada hubungannya denganku.
Jika mau, bisakah? Guruku, aku rela menghabiskan seumur hidup untuk menemukanmu. Tapi mungkinkah? Hidup memang begitu. Hal-hal yang kita inginkan sering meninggalkan penyesalan. Tapi anehnya, meski menyesal, keinginan itu tetap ada. Kau tak tega untuk tidak menginginkannya.
"Sialan!" Tiba-tiba aku mengumpat sambil menggoyang-goyangkan jendela gerbong, lalu menghidupkan mesin.
※※※
Kali ini pesawat tak terlambat. Aku bersandar di pilar, memegang cangkir teh. Dari kejauhan sudah kulihat sosok Ruyue yang gesit itu.
Nona kecil ini sekarang sudah jadi wanita karir sukses. Aku tak terlalu paham bisnisnya yang berkaitan dengan bunga dan tanaman. Pokoknya lancar-lancar saja. Katanya dia sedang mencari uang untuk desa mereka.
Dengan kesepahaman yang aneh, saat aku melihat Ruyue, si nona kecil ini juga melihatku. Dengan semangat dia menarik koper dan berlari ke arahku.
Begitu bertemu, ucapan pertamanya langsung tak enak didengar.
"Kalau kau pegang cangkir kertas kopi sambil bersandar di pilar, mungkin masih bisa dibilang sok misterius, sok kelas menengah. Tapi kok pegang cangkir baja nirkarat begini? Mirip bapak-bapak tua saja!"
Aku mengusap wajah lalu berkata pada Ruyue: "Bapak tua? Perlu disamar? Memang dari sananya aku sudah begitu."
Ruyue memutar matanya, lalu mengulurkan tangan mengayun-ayun di depan wajahku.
Aku tidak mengerti, bertanya heran: "Apa?"
"Kepala kelinci, hmm, dalam dialek Sichuan bilangnya apa ya, tu nao ke er ya, ini oleh-oleh khas daerah tempat bandara ini berada. Kau bahkan tidak menyiapkan untukku, sungguh tak punya hati nurani." Ruyue menggerutu tidak puas.
Aku menghela napas pasrah, lalu berkata: "Kalau tidak ada, mau apa? Pakai ilmu santet lagi untuk menyiksaku?"
"Aku malas. Kau pikir bahan-bahan ilmu santet mudah didapat? Menggunakannya padamu adalah pemborosan." Ruyue menyeringai sinis padaku. Aku sambil lalu menaruh barang bawaan Ruyue ke gerbong kereta.
Di dalam gerbong, Ruyue berkata padaku: "San Wa, besok ada waktu? Temani aku beli dua pakaian."
Aku paling pusing kalau harus jalan-jalan, tapi untung sudah punya alasan kuat: "Besok tidak bisa, ada pesanan yang harus dikerjakan."
"Pesanan apa? Menarik tidak? Boleh aku lihat?" Ruyue tiba-tiba menawar.
Dengan tenang aku langsung menolak: "Tidak boleh."
