Mungkin melihat kebingunganku, sebelum sempat bertanya Xuan Lin berkata: "Dengarkan saja, jangan tanya apa-apa."
Menghadapi anak lelaki muda yang sisa hidupnya mungkin tak sampai tiga bulan ini, aku tak bisa tidak menghormatinya. Kuanggukkan kepala, menandakan akan mendengarkan dengan serius.
Di atas meja teh, asap kehijauan dari teh panas mengepul lembut. Xuan Lin yang mengidap kanker paru-paru ini tak menghiraukan penyakitnya, malah meminta sebatang rokok dariku. Begitu menghisap tarikan pertama, batuk-batuk hebat langsung menyergap. Wajah pucatnya memerah tak wajar, tapi dia hanya tersenyum sopan padaku sebelum mulai bercerita.
※※※
"Aku lahir tahun 78. Kampung halamanku adalah tempat yang mungkin tak pernah kau dengar. Desa tempatku tinggal lebih terpencil lagi dari daerah terpencil itu. Kau tak akan membayangkan betapa miskinnya kami..." Napas Xuan Lin agak tersengal, tapi tak mengurangi ketenangan nada bicaranya yang lembut.
Dari tuturan Xuan Lin, terbentang lukisan visual di benakku: sebuah desa gersang. Kala itu tak kusangka, cerita yang kudengar secara kebetulan ini ternyata menyimpan petunjuk penting tentang guruku.
Desa tempat Xuan Lin dilahirkan mari kita sebut Desa Batu. Nama ini dipilih karena ciri khas utama desa tersebut adalah bebatuan yang bertebaran di mana-mana.
Gunung-gunung di sekelilingnya adalah gunung batu. Lembah dan dataran di bawahnya pun bertanah keras berbatu. Lahan subur yang bisa ditanami hampir tak ada, membuat desa ini menjadi yang termiskin di kabupaten termiskin yang sudah terkenal itu.
Xuan Lin lahir di Desa Batu pada musim panas tahun 1978.
Di desa seperti ini, anak-anak pergi ke sekolah adalah hal yang mewah. Belum lagi masalah uang, bahkan SD terdekat berjarak belasan kilometer dari Desa Shi. Apalagi SD "terdekat" itu hanyalah sekolah miskin dengan 40-an murid.
Inilah kemewahan bersekolah di Desa Shi. Meski orangtua rela kehilangan tenaga kerja dan mengeluarkan sedikit uang untuk buku, anak tetap harus bangun pukul 4 pagi, mendaki gunung selama berjam-jam untuk sampai ke sekolah.
Karena itu, anak-anak di sini tak punya konsep bersekolah. Saat kecil mereka berlarian di ladang, sampai usia tertentu mulai membantu pekerjaan rumah, lalu dewasa, menikah, beranak pinak, dan mengulangi kehidupan yang sama...
Terpengaruh lingkungan, Xuan Lin menganggap hidupnya juga harus demikian. Bukankah ini irama kehidupan warga Desa Shi? Tapi kenyataannya berbeda. Di usia 5 tahun, ayahnya membawanya keluar dari gunung tinggi. Entah dengan pengorbanan apa, Xuan Lin dititipkan di rumah seseorang di kota kabupaten dan bersekolah di SD sana.
Saat itu Xuan Lin masih kecil. Ia tak tahu arti perjuangan ini bagi warga Desa Shi. Yang ia rasakan hanya jarak yang mulai memisahkan nyawanya dari orangtua - begitu jauh sampai hanya bisa menunggu liburan sekolah untuk diajak ayah pulang ke Desa Shi!
“Mengapa begitu merindukannya？Karena keluarga tempatnya menumpang itu sebenarnya bukan kerabatnya, hanya kenalan ayahnya di kota kabupaten sejak dulu. Mereka memperlakukannya tidak baik, bahkan bisa dibilang hampir menyiksa diri. Jelas hati kecil anak yang rapuh tak mampu menanggung semua ini.
Ia tak tahu berapa fen yang diberikan ayahnya setiap tahun kepada keluarga itu. Yang ia tahu hanyalah tak bisa melarikan diri. Beberapa kali ia mencoba kabur dari rumah orang itu, atau lari dari sekolah. Tapi setiap kali, paling lama beberapa hari, ayahnya yang datang dari Desa Shi akan menangkapnya kembali, lalu memukulinya habis-habisan.
“Sebenarnya ke mana bisa kulari? Anak kecil tak punya uang, tak tahu jalan, hanya bisa berkeliaran di kota kabupaten yang miskin itu. Kenangan masa lalu ini, pahitnya sudah kulupakan,” Xuan Lin menunjukkan senyum sopannya yang khas, lalu melanjutkan: “Yang kuingat hanyalah, sejak kecil aku kekurangan kehangatan dan rasa aman. Sifat sensitif yang berlebihan inilah hasilnya.”
Benar, pengalaman masa lalu seperti itu memang bisa membentuk karakter seperti itu. Orang seperti ini cenderung ekstrem, ketika menemukan kehangatan, akan menganggapnya sangat berharga, tak sanggup menanggung biaya kehilangannya.
Pelarian terakhir Xuan Lin terjadi saat kelas empat SD. Kali ini ketika ditangkap ayahnya, untuk pertama kalinya ia tidak dipukuli. Ayahnya hanya membawanya kembali ke Desa Shi dengan wajah pucat membatu dalam keheningan.
“Dia mengira dirinya telah bebas, namun kenyataannya, begitu kembali ke desa Shi, ayahnya langsung menggantungnya di pohon besar depan rumah dengan tali rami dan memukulinya habis-habisan. Kali itu ayahnya benar-benar kejam, sampai-sampai kemudian dia hampir tidak merasakan sakit lagi, yang ada hanya keinginan untuk cepat pingsan.
Akhirnya, Kakek-lah yang menyelamatkannya, membawanya ke dalam ruangan dan mengatakan beberapa hal padanya.
Xuan Lin kecil saat itu belum paham detailnya. Saat itu dia hanya mengerti samar bahwa keluarganya dulu sangat terpandang, namun karena alasan khusus terpaksa menetap di desa miskin pegunungan ini, sudah turun-temurun.
Keluarga tidak ingin terus begini. Maka dialah harapan seluruh keluarga untuk membawa mereka keluar dari desa Shi melalui sekolah. "Tidak sekolah tidak mungkin mengubah takdir desa Shi yang miskin dan membosankan, bukan?"
Kakek memberitahunya bahwa keluarga sudah tidak sabar, berharap ini terakhir kalinya dia kabur. Jika tidak, nasibnya akan tinggal di jalanan pun harus menyelesaikan SD.
"Tahu tidak? Emas terakhir yang disembunyikan keluarga akan dihabiskan untukmu. Kau harus terus sekolah! Kakek tahu kau diperlakukan tidak adil di sana, tapi kau harus tahan. Kau anak laki-laki, hanya dengan belajar menahan diri kau bisa melesat tinggi." Saat mengucapkan ini, batuk Kakek sangat hebat, namun tongkatnya terus menghujam tanah berulang-ulang, juga menghujam hati kecil Xuan Lin.
Jadi dia tidak kabur lagi, jadi dia belajar dengan serius, jadi meski masih kecil, namun dia yang sensitif ini pertama kali menyadari bahwa keluarganya sepertinya berbeda dengan keluarga biasa di Desa Shi, seolah menyembunyikan rahasia besar.
Tapi Xuan Lin tidak bertanya, juga tidak memberitahu siapa pun, karena bagaimanapun dia masih terlalu kecil, beberapa hal tidak sampai ke tingkat yang akan diperhatikan anak kecil.
Waktu berlalu cepat, mengubah banyak orang, banyak hal, tapi seolah tak bisa mengubah Desa Shi.
Tahun itu Xuan Lin berusia 16 tahun, sudah menjadi siswa kelas 2 SMA di sekolah menengah unggulan di kota kabupaten. Sejak SMP dia sudah melepaskan diri dari keluarga angkatnya, dan dengan nilai rapor yang luar biasa memperoleh pembebasan biaya asrama, SPP, dan biaya lainnya dari sekolah. Ini perubahan baik, membuatnya percaya pada kekuatan perjuangan.
Tapi, saat kembali ke Desa Shi pada liburan musim panas tahun itu, dia menemukan dirinya sulit melihat kekuatan perubahan ini. Desa ini seolah bisa membelenggu vitalitas, kreativitas, dan rasa penasaran terhadap dunia hingga musnah. Dia merasa harus benar-benar membawa keluarga pergi dari sini.
Pikiran seperti ini tumbuh liar seperti rumput di hatinya. Hampir lupa makan-minumnya merencanakan: apa yang harus dilakukan, bagaimana caranya membawa keluarga pergi dari sini. Saat merencanakan ini, dia akhirnya teringat kejadian saat kelas 4 SD.
Teringat keluarganya yang sepertinya berbeda, teringat keluarganya pernah mengeluarkan sebatang emas, teringat tebakannya dulu bahwa keluarga ini menyimpan rahasia besar...
Dia awalnya berusaha menahan diri untuk tidak bertanya. Sebagai anak yang berbakti, dia tahu bahwa jika orang dewasa tidak membicarakan sesuatu, anak kecil tidak boleh memaksa. Namun semakin dia mengamati detail-detail di sekitarnya, semakin dia merasa rumahnya dipenuhi keanehan yang tak biasa.
Pertama-tama adalah aturan-aturan rumit. Ada tata cara tetap saat makan, tidur, bersikap sopan... Aturan-aturan ini membuat Xuan Lin yang sudah punya sedikit wawasan menyadari bahwa ini bukanlah hal yang biasa diperhatikan dan dipertahankan oleh keluarga desa pegunungan. Apalagi aturan-aturan ini bukanlah takhayul, melainkan mencerminkan keanggunan keluarga terpelajar.
Selain itu, Xuan Lin memperhatikan bahwa ayahnya yang berwajah keras dan terkesan tidak berpendidikan, ternyata tidak kasar dalam bicara. Dalam beberapa kali percobaan sengaja, dia bahkan merasa ayahnya sangat menguasai sejarah dan pemikiran Konfusianisme kuno, dengan pandangan yang lebih mendalam darinya.
Akhirnya Xuan Lin tidak bisa menahan diri lagi. Pada suatu malam musim panas yang pengap, dengan alasan jalan-jalan, dia mengajak ayahnya ke tepi sungai kecil. Di sanalah sang ayah membuka sejarah keluarga yang mustahil seperti dongeng.
Di tepi sungai kecil yang sama itu, sang ayah berkata bahwa sudah waktunya Xuan Lin mewarisi keahlian keluarga.
