Menghadapi pertanyaan Xuan Lin, aku mengangguk. Meski hatiku masih memikirkan urusan Kunlun, tapi aku juga ingin tahu apa yang membuat pemuda terpelajar, gigih, dan berimpian ini mengambil keputusan gila seperti itu.
“Aku yakin pasti bukan hanya karena sakit!”
“Kasih aku sebatang rokok lagi.” Xuan Lin menyandar di sofa, tidak buru-buru bercerita, malah minta rokok lagi.
Aku mengeluarkan sebatang rokok, ragu bertanya: “Dengan kondisimu, masih boleh merokok?”
Xuan Lin tersenyum, mengambil rokok dari tanganku. “Tahu kenapa aku cerita banyak pada orang asing sepertimu? Karena kau orang baik, mungkin agak naif. Lihat, aku jelas bukan temanmu, bahkan bisa dibilang musuh, tapi kau masih peduli kalau aku merokok banyak, masih menyuruhku melakukan ritual pelepasan arwah.”
Aku tersenyum tanpa kata. Menghadapi komentar seperti ini, apa lagi yang bisa kukatakan? Apa harus kujawab 'ini hanya firasat'?
"Xuan Lin menarik napas dalam-dalam dari rokoknya, lalu batuk keras dengan wajah yang kembali memerah secara tidak wajar. Kemudian dia berkata, 'Aku tidak punya banyak teman. Entah karena miskin sampai tidak bisa berteman di universitas, atau karena punya penolakan alami terhadap orang asing. Intinya aku memang tak punya teman. Karena merasa cocok denganmu, aku memaksamu mendengarkan. Anggap saja jika tidak kusampaikan sekarang, mungkin tak akan ada kesempatan lagi. Ini semacam pesan terakhir.'"
Aku kembali terdiam. Sebenarnya, seringkali aku kehabisan kata di depan Xuan Lin. Aku tahu itu karena dihadapanku ada seorang pemuda yang nyawanya hampir padam. Kata-kata penghiburan terasa palsu, ekspresi emosi apapun terasa berlebihan.
"Di kampus, satu-satunya orang dekatku adalah seorang kakak tingkat. Dia temanku, juga... pasanganku. Namanya Lü Ting." Dalam kepulan asap biru keabu-abuan, Xuan Lin mulai bercerita lagi.
※※※
Xuan Lin masuk universitas di usia 17 tahun.
Karena mulai sekolah dasar lebih awal, usianya relatif muda saat kuliah. Berbeda dengan mahasiswa lain yang datang dengan impian, Xuan Lin memikul tanggung jawab dan beban berat.
Tugasnya adalah mengeluarkan keluarganya dari Desa Shi.
Di bulan September yang terik itu, saat pertama kali berdiri di gerbang universitas dengan surat penerimaan di tangan, Xuan Lin memandangi mahasiswa baru yang bersemangat dan ceria. Perasaan pertamanya adalah dirinya tak akan bisa menyatu dengan teman-teman seangkatan.
Faktanya, perasaan Xuan Lin tidak salah. Dalam hari-hari berikutnya, ia benar-benar tidak cocok dengan teman sekelas di sini.
Alasan ketidakcocokan mungkin bukan karena pakaiannya yang bertambalan atau sepatu pembebasan kuno yang dikenakannya, melainkan karena sosoknya yang selalu tergesa-gesa dan sifat penyendiri yang pendiam.
Ini mungkin bukan sepenuhnya kesalahan Xuan Lin. Sejak hari pertama masuk universitas, ia harus bekerja keras untuk membayar uang sekolah yang tertunggak dan biaya hidup masa depan. Mana ada waktu baginya untuk mengikuti kegiatan teman-teman atau menerima undangan mereka?
Namun di lubuk hati, Xuan Lin sebenarnya ingin menyatu dengan lingkungan ini. Ia pernah berusaha.
Suatu hari setelah melunasi utang uang sekolah, dengan sisa uang hasil kerja paruh waktu di tangan, ia kembali ke asrama dan mengajak teman sekamar makan bersama. Saat itulah ia melihat senyum penolakan halus yang berjarak dari mereka, barulah ia sadar bahwa dirinya benar-benar tak bisa diterima.
Maka Xuan Lin menyerah. Ia mengira kehidupan kampusnya akan terus berlanjut dalam kesendirian, hingga kehadiran Lü Ting yang akhirnya membawa secercah sinar matahari bagi kehidupan universitasnya yang suram dan sepi.
Pertemuan Xuan Lin dan Lü Ting terjadi pada suatu sore yang diguyur hujan lebat.
Di serambi panjang terbuka kampus, Xuan Lin yang baru pulang kerja berusaha lari tergesa-gesa ke asrama dalam keadaan compang-camping, lalu menabrak Lü Ting yang sedang memegang payung.
Dia sopan meminta maaf dan membantu dia bangkit.
Dari arah perempuan itu terdengar suara penuh keheranan: "Kau?"
“Kau?” Kalimat tanya biasa ini terdengar penuh kebingungan bagi Xuan Lin. Ia tak merasa punya interaksi dengan siapa pun di universitas ini yang pantas mendapat sapaan “kau” seperti ini.
Maka ketika Xuan Lin mengangkat kepala dan melihat wajah ayu namun asing itu, hatinya dipenuhi tanda tanya.
“Waktu penerimaan mahasiswa baru, aku yang menemanimu. Lupa? Aku bilang namaku Lü Ting, kakak kelasmu.” Gadis itu berkata.
Penerimaan mahasiswa? Peristiwa yang sudah terjadi lebih dari setahun lalu. Xuan Lin yang sibuk setiap hari, bagaimana mungkin masih ingat? Baru setelah gadis ini mengingatkan, bayangan wajah itu muncul kembali dalam ingatannya.
Xuan Lin yang tak terbiasa berinteraksi pun bingung menjawab. Akhirnya dengan muka memerah, ia buru-buru menyapa “Halo Kakak Kelas” lalu kabur dengan kegagalan.
Di tengah hujan sore itu, mungkin masih bisa dihindari dengan buru-buru.
Tapi dalam takdir kehidupan, Jodohmu—entah baik atau buruk—pada akhirnya takkan terelakkan.
Pertemuan di sore itu bagai membuka gembok rahasia. Sejak itu, Xuan Lin dan Lü Ting mulai sering bertemu di berbagai sudut kampus.
Ruang studi, perpustakaan sepi, kantin, jalan kecil kampus yang bersih...
"Pertemuan yang berulang kali ini bagai katalis yang mempercepat kematangan Xuan Lin dan Lü Ting. Mereka mulai saling menyapa, lalu berbincang sebentar, kemudian obrolan semakin panjang, hingga akhirnya senyum Lü Ting tak lagi bisa diusir dari hati Xuan Lin.
Proses biasa jatuh cinta, namun cinta itu tertanam lebih dalam dan lebih berat di hati Xuan Lin daripada siapa pun!
Akhirnya, Xuan Lin yang sudah tahu lokasi asrama Lü Ting menyusun pertemuan yang bukan kebetulan. Pada sore itu, ia menunggu Lü Ting di depan pintu asramanya.
"Aku traktir makan, ya?" Saat mengucapkan ini, detak jantungnya berdegup kencang. Ia takut ditolak. Jika itu terjadi, keberanian untuk mengajak kedua kalinya, bahkan sekadar menyapa pun mungkin tak akan muncul lagi.
"Ya." Hanya diam sesaat, Lü Ting menyetujui ajakan Xuan Lin.
Dua pemuda yang saling tertarik ini hanya perlu melubangi selembar kertas jendela. Lü Ting akhirnya mendapatkan Xuan Lin.
Makan malam itu berlangsung sangat lama. Saat sudah tak bisa lagi ditunda, Xuan Lin gagap-gagap mengungkapkan perasaan, dan Lü Ting pun menerimanya dengan wajar.
Mereka pun menjalin hubungan asmara.
Tapi karena Xuan Lin miskin, kondisi keluarga Lü Ting juga sangat sederhana, cinta mereka begitu sederhana hingga tak ada mawar, makan malam romantis, pakaian bagus, bahkan nonton bioskop pun tidak.
Pilihan mereka sangat terbatas, hanya berjalan berputar-putar di jalan kecil kampus diterangi cahaya bulan.
Tapi bagaimana kemiskinan bisa menutupi cahaya cinta? Mereka puas, bahkan berbagi satu bakpao dan segelas susu kedelai pun terasa berkah - tak kalah dengan jamuan mewah, karena cinta.
Kegemaran mereka adalah berkhayal tentang masa depan. Sebagai mahasiswa universitas kedokteran, mereka yakin masa depan akan berubah asal rajin belajar.
"Sebelum lulus, aku akan masuk magister. Ada tunjangan, ditambah kerja part-time, pasti lebih mudah. Setelah lulus, aku cari rumah sakit bagus dengan nilai terbaik, lalu menikahimu." Janji Xuan Lin.
"Aku percaya. Kau saham berpotensiku. Aku tunggu." Janji Lü Ting.
Cinta mereka yang miskin bersinar paling terang, menjadi energi positif bagi Xuan Lin. Setiap memandang langit, ia yakin berkah masa depan sudah di depan mata.
Seandainya An Yu tidak muncul.
"Setelah mengucapkan kata-kata ini, mata Xuan Lin berkaca-kaca. Ini pertama kalinya aku melihat anak laki-laki yang tenang dan pendiam ini menunjukkan emosi sebesar itu. Sebenarnya dari penuturannya, aku bisa merasakan bahwa dalam kehidupan kesepian dan terisolasi di universitas, Lü Ting benar-benar segalanya baginya."
"Maaf." Dia melepas kacamata, mengusap sudut matanya dengan lembut, lalu berkata: "Selanjutnya, apakah kau mau mendengarkan? Sayangnya aku sudah tidak ingin bercerita lagi. Hanya kisah klise tentang seorang gadis yang semakin menjadi materialistis. Seorang anak laki-laki tidak bisa lagi memuaskannya, karena selain cinta sejati, dia tidak bisa memberikan apapun. Sayangnya yang dia inginkan sekarang bukan lagi cinta, tapi pakaian merek ternama, tas branded, bisa masuk ke tempat-tempat eksklusif. Menurutmu, dengan apa aku harus memenuhi itu? Jika nyawaku bisa ditukar dengan uang, aku rela."
Aku terdiam, hanya ada satu pikiran dalam hati: bersyukur dalam hidupku telah bertemu Ruxue.
Seolah ada kesepahaman, tiba-tiba Xuan Lin tersenyum getir: "Tapi bahkan seperti ini, aku tetap bersyukur bisa bertemu dia di sisa hidupku. Masa itu adalah hari-hari paling bahagia dalam hidupku."
