Akhirnya, aku dan Kak Cheng Xin memasuki pasar transaksi ini. Begitu masuk, kami langsung pusing oleh kerumunan padat dan suara hiruk pikuk.
Aku berkata tak banyak orang terlihat di tempat lain, ternyata semua berkumpul di sini. Tampaknya banyak praktisi spiritual yang kaya, atau mereka rela menghabiskan uang di tempat seperti ini.
Setelah cukup lama, aku dan Kak Cheng Xin baru bisa menyesuaikan diri dengan suasana ini, beradaptasi dengan ribuan orang berdesakan di lapangan beratap besar ini, seperti sedang jalan-jalan di pasar, tapi pasar sayur pasti tak seseibuk ini.
Jika harus diibaratkan, ini mirip pameran pekerjaan zaman sekarang. Bayangkan, berapa banyak orang di sini! Pantas saja Er Lang bilang dua organisasi di sini bisa dengan mudah mengumpulkan puluhan juta.
Tapi kalau dihitung, rasio populasinya sebenarnya mengejutkan. Mengingat Tiongkok yang megah dengan miliaran penduduk, total orang di sini hanya sekitar sepuluh ribu. Xing pernah bilang pasar hantu ini mengumpulkan 80% orang dalam lingkaran ini.
Kami datang ke sini tentu bukan untuk melihat kerumunan. Ruang di sini jauh lebih luas daripada pameran pekerjaan modern, setidaknya masih memungkinkan orang berjalan santai. Setelah beradaptasi, aku dan Kak Cheng Xin langsung mulai menjelajah dengan antusias.
Baru sekarang kami melihat jelas bahwa atapnya hanyalah selembar kain putih besar sederhana. Di bawahnya, terdapat deretan stan sangat sederhana yang terbagi dalam 10 baris berjejalan. Sederhananya seperti apa? Hanya beberapa bambu menyangga terpal anti-air, dengan satu meja dan satu kursi di bawahnya.
Meja digunakan untuk menempatkan barang-barang yang akan diperdagangkan, sementara kursi secara alami diduduki oleh penjaga stan. Anehnya, setiap penjaga ini mengenakan topeng dan tubuh mereka ditutupi kain di depan-belakang, menunjukkan tingkat kewaspadaan yang ekstrem!
Pada jarak sekitar satu meter dari stan, terdapat garis-garis kuning yang mencolok. Aku dan Kak Cheng Xin hampir bersamaan menyadari dengan sensitif: di dalam area garis kuning setiap deretan stan, selain puluhan orang berbaju hitam yang mondar-mandir, tak seorang pun berani mendekati stan saat berjalan.
Selain itu, ketika masuk untuk melihat barang, segera akan ada 1 orang berbaju hitam mengawasi di luar. Hanya satu orang yang boleh masuk melihat barang setiap kali. Aku belum sepenuhnya memahami aturan detailnya, tetapi ini mungkin untuk mencegah orang memanfaatkan situasi keruh dan mencuri barang di meja.
Dengan penuh rasa penasaran, kami memasuki pasar barter ini. Namun saat sampai di stan pertama, Kak Cheng Xin langsung berhenti melangkah. Meski barang konkret di stan ini tak terlihat, di depan meja terpampang jelas papan bertuliskan: "Ginseng Tua Gunung Berumur Ratusan Tahun."
Di era kelangkaan sumber daya seperti sekarang, sebagai penerus aliran pengobatan, bagaimana mungkin Kak Cheng Xin tidak heboh melihat ini? Warisan Guru leluhur kami memang melimpah - setahuku, Kak Cheng Xin memiliki dua batang ginseng tua berumur ratusan tahun plus sejumput akar yang konon merupakan esensi ginseng. Tapi siapa berani sembarangan menggunakannya? Persis seperti aku yang tak gegabah menggunakan pusaka Aliran 'Gunung' kami.
Hampir tanpa ragu, Kak Cheng Xin langsung melangkah menuju ke lapak tersebut, namun dihadang oleh seorang pria berbaju hitam. Perasaannya yang hampir tak terkendali membuatnya terlihat tidak tenang untuk pertama kalinya. Ia mengernyitkan alis dan bertanya pada pria itu: "Apa maksudmu?"
Pria berbaju hitam itu tetap sopan, mengabaikan ketidaksopanan Kak Cheng Xin, dan berkata: "Silakan membuat janji temu."
Saat Kak Cheng Xin hendak membalas, aku sudah mendekat dan menepuk bahunya lembut. Antara kami saudara seperguruan memang ada keselarasan. Tanpa perlu banyak bicara, dia mulai meredakan kegelisahannya dan bertanya: "Bagaimana cara membuat janji?"
"Silakan tunggu sebentar." Pria itu kemudian mendekati penjual lapak, mengambil papan kayu kecil bertuliskan nomor 7, lalu menyodorkannya ke Kak Cheng Xin: "Masih ada 6 orang sebelum Anda. Perhatikan angka di sana. Ketika menunjukkan 7, tunjukkan papan ini kapan saja. Jika papan habis, transaksi penjual selesai. Setiap nomor menunggu maksimal 20 menit, jangan mengambil terlalu banyak papan saat berkeliling."
Rupanya pria itu menyadari kami pertama kali bertransaksi di sini. Dengan detail dia menjelaskan sambil menunjuk ke papan aktivitas di samping lapak yang mirip pencatat skor manual zaman dulu saat bermain basket, cukup sederhana namun jelas.
Dia juga memberitahu kami tak perlu buru-buru. Setiap kali hanya ada 10 papan yang dibagikan. Jika terlewat, tunggu giliran berikutnya.
Setelah memahami situasi, dia meminta bayaran layanan sebesar 50 yuan dari kami lalu pergi. Tempat ini benar-benar semuanya butuh uang, tak heran sikap pelayanan mereka begitu baik.
Setelah pergi, sikap Kak Cheng Xin tampak gelisah. Dia khawatir ginseng gunung berumur ratusan tahun itu akan didahului orang lain. Aku hanya bisa membujuknya pelan-pelan, mengatakan bahwa segalanya bergantung pada jodoh.
Saat kami berbisik-bisik, suara desahan dingin terdengar di telingaku. Aku menoleh dan langsung melihat Lin Chen berdiri di sana.
Reaksi pertamaku: kebetulan sekali! Tapi kemudian aku sadar: di sini berkumpul 80% orang dalam lingkaran ini. Wajar saja bertemu dia. Yang aneh justru pria tua yang pernah membentak Lin Chen itu kini berdiri di belakangnya dengan sikap hormat.
Tampaknya kepergian generasi Wu Liyu telah membuat posisi Lin Chen naik drastis.
Aku memandang Lin Chen tanpa niat berbicara. Menurutku takkan ada lagi interaksi. Biarlah organisasi mereka yang ingin melawan takdir itu dihajar pihak lain. Apalagi setelah sekelompok pilar penting mereka 'diculik' oleh guruku, kemampuan melawan takdir mereka pasti menurun.
Waktu berharga. Aku masih harus mencari barang yang kubutuhkan di pasar transaksi ini.
"Tapi tak disangka, baru saja aku menoleh, Lin Chen sudah membuka mulut dengan suara yang sangat keras: "Waduh, bukannya keturunan Lao Li itu sangat angkuh? Kok murid utama yang menutup aliran Gunung, penerus Chen Cheng Yi dari Aliran Gunung, datang bertransaksi di pasar hantu? Aliran munafik kalian ini kan paling takut tercemar karma? Apa tidak tahu dasar, transaksi dengan hantu itu bayarannya mahal, karmanya juga besar? Jangan-jangan si murid utama ini punya jiwa pemberontak, mau bawa angin segar untuk keturunan Lao Li kalian?"
Begitu ucapan Lin Chen selesai, kudengar gemuruh diskusi bermunculan di sekeliling.
"Apa? Keturunan Lao Li?"
"Aliran yang membuatku terkucil seperti anjing kehujanan itu, aliran Wang Lipu?"
"Orang keturunan Lao Li datang ke sini? Apa sedang terjadi sesuatu di lingkaran ini?"
"Katanya Jiang Lichun kabarnya hilang."
"Benarkah?"
Rangkaian komentar sarat informasi ini membanjiri telingaku, membuatku sesaat linglung. Ini baru sebagian yang kudengar, belum yang lain? Jelas kurasakan beberapa tatapan penasaran mengarah ke aku dan Kak Cheng Xin, membuatku dalam hati mengumpat: Dasar indera spiritual sialan, sensitif amat sampai bisa tahu orang sedang mengawasiku.
Kutarik napas dalam-dalam, tak ingin menggubris provokasi Lin Chen. Aku cuma datang untuk transaksi, tak tertarik berdebat atau masuk lebih dalam ke lingkaran ini. Apa yang dilakukan guruku pasti ada prinsipnya, tak ada alasan bagiku untuk tidak mengikuti.
Jadi, aku tidak menanggapi, menarik lengan Kak Cheng Xin lalu berbalik hendak pergi.
Tapi Lin Chen sama sekali tidak menyerah, tiba-tiba ia berteriak: "Chen Cheng Yi, lihat ini."
Aku menghentikan langkah, berbalik dan melihatnya mengeluarkan liontin terbungkus kain hitam dari lehernya. Aku menatapnya bingung, tapi dia berkata: "Di dalamnya ada ruas jari tulang, di dalamnya tersimpan simpul hati paling menyedihkan dalam hidupku. Karena penyesalan, harus kubawa terus siang-malam! Kau tahu simpul hati apa ini?"
Jantungku mulai berdegup kencang. Kain hitam membungkus artefak tulang - ini jelas alat ritual pengurung roh. Jadi isinya hanya mungkin satu hal: arwah-arwah!!
Mataku mulai menyala kemarahan. Kuharap Lin Chen tidak akan mengucapkan jawaban yang tak bisa kuterima. Kutatap bibirnya dengan tajam, tapi kulihat senyum mengembang di bibirnya sebelum perlahan bergerak mengucap dua kata: "Ai Lin."
"Goblok!" Tak tahan lagi, kuhampiri dia dengan langkah cepat. Kemarahanku beralasan - Ai Lin sudah mati, cara terbaik adalah ritual pelepasan arwah. Lin Chen ini malah menggunakan tulang jari Ai Lin untuk memanggil rohnya dan mengurungnya di sini. Betapa menyiksanya ini bagi Ai Lin?
Dia terlalu egois, terlalu gila. Cinta Ai Lin yang rela mati demi mempertahankannya, justru dihinakan seperti ini oleh Lin Chen.
Tapi aku bahkan tidak berhasil sampai di depan Lin Chen, sudah dihalangi 'dengan sopan' oleh beberapa orang berbaju hitam yang mengingatkan, di pasar transaksi ini tidak diperbolehkan pertarungan atau Pertarungan Ilmu dalam bentuk apapun.
Lin Chen dengan tenang berdiri di sana berkata: "Chen Cheng Yi, kau tidak tahu seberapa dalam kebencianku padamu? Dulu kalau bukan karena kau dan Gurumu menghalangiku membawa Ai Lin pergi, mana mungkin aku hanya bisa memanggil sisa roh yang seperti idiot, aku akan memiliki dia secara utuh. Lagipula kau, sudah ditakdirkan menjadi batu pijakanku. Tunggulah, ada pertunjukan bagus yang menantimu di pasar transaksi ini."
Setelah bicara Lin Chen langsung pergi, sementara mataku merah karena kemarahan, aku berteriak ke arahnya: "Kau sialan, alat ritual seperti ini paling lama dua puluh tahun akan membuat Ai Lin hancur lebur, lepaskan dia!"
Tapi Lin Chen sama sekali tidak menengok.
