"Perasaan campur aduk ini muncul karena si nenek ternyata sedang 'mengancam' diriku."
"Pada dasarnya Hantu adalah makhluk yin. Karena kebutuhan dan lamanya berdiam di tempat gelap, semua sifat hantu cenderung eksentrik. Wajar jika mereka melakukan tindakan tak baik karena perselisihan sepele. Hanya saja si nenek ini agak 'lucu'. Ia sengaja menampakkan wajah muka hijau taring panjang dengan mata berdarah di depanku. Gerakan seperti ini hampir bisa dibilang kekanak-kanakan."
"Aku tidak bisa membenci 'itu' karena statusnya sebagai hantu yang bisa 'menampakkan wujud' sesuka hati, menunjukkan kemampuan yang cukup tinggi. Tapi ia hanya ingin menakut-nakutiku saja. Nenek hantu seperti ini memang pantas disebut hantu baik."
"Hanya saja, 'tingkah nakal'-nya itu jika dihadapkan pada orang biasa dengan daya tahan mental yang lemah, mungkin bisa membuat orang itu gila. Inilah yang membuatku kesal."
Aku mengusap kepala yang mulai pusing, berkata pada nenek itu: "Tidakkah Nenek bisa tampil lebih ramah? Level horor seperti ini bahkan belum cukup untuk film horor!"
"Apa? Lalu bagaimana level yang pantas untuk film horor menurutmu?" Nenek itu bertanya dengan heran.
"Begini..." Aku menggaruk dagu sambil berpikir, "Harus ada kombinasi atmosfer menegangkan, efek suara yang mendebarkan, lalu muncul secara tiba-tiba! Ya, seperti itu."
"Efek suara? Seperti suara bising di jalanan yang membuatku hampir 'hancur lebur' itu? Ah, sudah terlalu lama aku mati. Keturunanku kini tak lagi mengenaliku, tak bisa kuberi mimpi untuk minta mereka 'membakar kertas sembahyang'. Tapi kalau dibakar tanpa pola jimat dari Taoist ber-cultivation, itu sama saja membakar sampah dan merusak lingkungan." Nenek ini kembali ke wujud aslinya, sesosok nenek yang sebenarnya sangat penyayang.
"Masih merusak lingkungan juga, aku tak lagi bisa menahan senyum kecil, berkata: \"Bagaimana kalau lain hari aku buatkan nenek satu yang dibakar? Soal keterampilan melipat kertas uang sembahyang ini, sejak kecil aku memang belajar dua tiga jurus dari Guruku. Speaker ini lebih sederhana daripada Boneka Pengganti, setuju ya Nek?\""
"Cuma segini syaratnya mau mengusirku? Tidak bisa, tidak bisa! Nenek tua ini saja belum bisa beristirahat dengan tenang di dalam tanah, kau bakar speaker pun tidak akan sampai. Ganti yang lain!" sang nenek melambaikan tangan.
Ini memang masalah. Arwah tak bertuan yang belum dikuburkan memang tidak bisa menerima barang-barang fisik. Mereka hanya bisa memunguti kertas sembahyang yang beterbangan. Kasihan benar. Kukatakan: "Bagaimana kalau kucarikan orang untuk melakukan ritual pelepasan arwah untuk Nenek?"
Ekspresi sang nenek menunjukkan keraguan, akhirnya ia menghela napas: "Sudahlah. Manusia hidup sekali, mati adalah keniscayaan. Arwah yang menginginkan reinkarnasi juga pada dasarnya mati. Kehidupan berikut tidak akan mengingat apapun, itu bukan aku lagi. Bagiku, tidak ada bedanya dengan suatu hari nanti rohku hancur lebur. Yang ada hanya soal apakah di kehidupan berikut ada berkah kemewahan yang menyertai. Semua itu tak ada artinya. Urus saja keturunanku, anggap itu sebagai syarat transaksi kita."
Yang dimaksud hancur lebur adalah ketika energi jiwa murni menyatu kembali dengan Langit, menghapus semua jejak keberadaan dan ingatanmu! Berbeda dengan reinkarnasi yang merupakan proses akumulasi karma baik dan buruk, dimana pada akhirnya ada kesempatan untuk mengingat segalanya dan terbebas dari siklus kelahiran kembali.
Hancur lebur berarti tidak ada kesempatan sama sekali.
"Tapi tak disangka sang nenek ini terlalu terikat pada keinginan semasa hidupnya, malah menganggap reinkarnasi sama mengerikannya dengan hancur leburnya roh. Aku tak bisa menasihati kondisi mental pribadi seperti ini, hanya diam sejenak lalu berkata, 'Anda tahu ini transaksi, jadi perawatan yang diminta terlalu umum. Tolong jelaskan secara spesifik.'"
Benar, bertransaksi dengan hantu adalah melanggar hukum Langit. Memaksakan transaksi seperti menandatangani kontrak dengan kekuatan Tao yang tak dikenal namun dahsyat. Jika tak dijelaskan rinci, aku mungkin harus merawatnya seumur hidup.
"Kau memang cerdik! Aku hanya ingin nasib keturunannya lancar: kaya di saat seharusnya, sakit ringan di waktunya. Tak melanggar takdir, hanya menambah keberuntungan. Ini bisa diperkuat lewat fengshui, kan?" Nenek ini memang hantu yang lama bergaul dengan Taoist. Dia paham aturan dan takut konsekuensi melanggar takdir.
"Nenek, bagaimana kalau begini? Beri alamat keturunanmu, aku akan memasang formasi fengshui di rumah mereka. Tentu mereka akan bingung, jadi pilihlah keturunan yang akrab untukmu beri mimpi, ya?" Aku bertanya hati-hati, mengingat nenek ini punya kemampuan spiritual.
Transaksi dengan hantu tak boleh diwakilkan. Pemasangan formasi fengshui rumah masih dalam kendaliku, meski akan lebih baik jika adik Chengzhen yang melakukannya.
"Baiklah, efek formasi fengshui rumah ini juga terbilang cukup bagus. Aku yakin anak kecil sepertimu tak berani membohongiku, jadi biarlah!" Begitu kata nenek itu sebelum menghilang. Setelah beberapa lama, sosok berjubah polos itu bangkit sambil memutar-matukan bola putih matanya.
Dengan nada suara si nenek, dia berkata padaku: "Di laci ada kertas dan pena, ambilkan."
Aku segera mengambil kertas dan pena dari laci. Si nenek menggerutu kenapa bukan kuas kaligrafi, namun tetap menulis coretan-coretan terhuyung di atas kertas sambil memuji diri sendiri: "Nenek memang pintar! Cuma ikut pasar hantu beberapa kali sudah bisa pakai 'pulpen babi bulat' ini."
Lalu dia bergumam bingung: "Ini kok tidak mirip babi sama sekali? Dibilang babi bulat lagi?"
Aku menahan tawa sampai muka merah padam. Meski hantu berkeliaran di dunia fana, kebanyakan mereka bersembunyi. Nenek ini cukup menggemaskan dengan keterbatasan pengetahuannya tentang dunia modern.
Akhirnya setelah selesai menulis sambil bergumam, dia meletakkan pena dan berkata: "Kesepian, jadi agak cerewet. Watakmu sebagai anak kecil ini memang baik, mau mengobrol berhari-hari denganku. Para Taoist jahat itu, kalau tidak dapat yang mereka mau, langsung mengusirku. Nenek ke pasar hantu juga cuma ingin ngobrol saja."
Sambil berkata, nenek itu menggerakkan tubuh orang berbaju putih pergi. Melihat punggungnya, aku bisa memahami, menjadi manusia dalam satu kehidupan tidaklah mudah. Sungguh jangan merusak moral diri sendiri. Menumpuk kebajikan sepanjang kelahiran kembali sebagai manusia, bukankah itu baik?
Melihat kertas itu, tulisannya cukup detail. Aku melipat kertas itu dan langsung keluar dari gubuk jerami. Menurut adat, setelah keluar dari gubuk tidak boleh masuk lagi. Pokoknya transaksi paling mendesak yang kubutuhkan sudah selesai.
Melihat waktu, tinggal sekitar dua puluh menit lagi, kelompok pertama kami akan dikeluarkan dari pasar hantu. Aku berjalan santai, tidak tahu Kak Cheng Xin pergi ke mana. Mungkin sedang bertransaksi dengan hantu, tapi aku tidak buru-buru.
Mungkin karena berbicara dengan nenek tadi, aku sadar menjadi manusia itu sulit sekaligus berkah. Barang-barang yang dijual di gubuk-gubuk itu sekarang benar-benar tidak menarik bagiku lagi.
Dalam satu kehidupan sebagai manusia, aku hanya mengejar kedewasaan mental yang utuh. Hal-hal duniawi benar-benar seperti awan berlalu.
Pencerahan adalah tujuan yang jauh. Jika kedewasaan mental tidak penuh, pencerahan hanyalah ilusi. Karena aku yakin yang berbentuk fisik akhirnya akan busuk, roh adalah tujuan lebih tinggi yang abadi - seperti jiwa, pikiran, kedewasaan mental... Mungkin "pencerahan" merujuk pada kedewasaan mental yang sempurna. Melatih raga fisik hanya untuk mendapat lebih banyak waktu, menyempurnakan kedewasaan mental di kehidupan ini.
Memikirkan ini, aku menjulurkan lidah. Pencerahan seperti ini sungguh bertentangan dengan ajaran, toh menjadi dewa adalah tujuan akhir kami penganut Taoisme.
"Tanpa sadar berputar-putar, karena pasar hantu ini tidak ada yang menarik perhatianku, aku pun merasa bosan. Aku bahkan menguap lebar di sini, mendapat beberapa pandangan aneh. Mungkin hanya aku satu-satunya yang bisa merasa bosan dan menguap di tempat ini, sedangkan orang lain sibuk bertransaksi."
"Aku jadi agak malu. Guruku pernah berkata menjadi orang istimewa yang terpisah dari keramaian seperti gunung tinggi yang sunyi itu tidak menarik - maksudnya menyuruhku jangan pamer atau sok beda, tapi harus menyatu dengan lingkungan. Aku segera menahan gerak-gerikku, mataku melirik ke sekeliling, dan tiba-tiba melihat 'ruang dalam ruang' itu."
"Karena memang sedang tidak ada kerjaan, aku melangkah ke sana. Begitu mendekat, salah satu penjaga berpakaian hitam di depan pintu menghampiri. Dia bertanya, 'Apakah kau mau masuk untuk bertransaksi?'"
"'Masuk bertransaksi, apakah harus bayar lagi?' tanyaku sembarangan."
"'Perlu membayar tambahan 10 juta rupiah untuk bisa masuk ke dalam dan bertransaksi,' kata orang berbaju hitam itu dengan datar."
"'Apa? 10 juta? Apa di dalam sana ada gunung emas?' Aku benar-benar 'terkejut'."
"'Gunung emas tidak bisa dibandingkan! Karena 'teman-teman' yang bisa masuk ke dalam setidaknya berusia 300 tahun ke atas, ada juga dewa-dewa dengan kesaktian besar. Bagaimana pendapatmu?' Sikap orang hitam itu cukup baik, mungkin aku bukan orang pertama yang bertanya. Dia tidak menganggapku kampungan."
"Apa? 300 tahun ke atas?"
"300 tahun, Guru leluhur, Dinasti Ming, Kunlun... Seketika otakku seperti diledakkan bom, kacau balau."
