Kedatangan Gu Chaowen sudah cukup membuat kami heran, apalagi dia langsung membahas hal ini.
Aku bingung menjawabnya. Pertama, kami tak akrab, aku tak paham maksudnya. Kedua, dia pernah membantuku, jadi rasanya tak enak menolak mentah-mentah.
Dia tak ambil pusing, langsung duduk di kasurku. Tangannya menyentuh sprei, meninggalkan cap tangan berdebu. Seberapa jorok sih kakek tua ini?
Untung aku bukan Kak Cheng Xin yang perfeksionis kebersihan, pasti sudah menggaruk-garuk geli.
Aku dan Kak Cheng Xin terdiam menyambut kedatangan Si Kakek Gu beserta pertanyaannya. Justru Shen Xing yang dengan manis menyapa, "Kakek Gu."
Si Kakek Gu tersenyum ramah menyahut Shen Xing, lalu berkata kepada kami berdua, "Kalian kira gua khawatir pada kalian berdua? Yang gua cemaskan adalah Shen Xing ini. Dia jelas bersama kalian, Feng Wei pasti memperhatikan. Feng Wei itu tipe penuntut balas sampai ke akar rumput. Jangan meremehkan pengaruhnya. Ngerti maksud gua? Demi kuota yang tak berguna buat kalian, ngejegal dia itu tindakan bodoh."
Sebenarnya aku paham. Di balik dalih mengkhawatirkan Shen Xing, Si Kakek Gu sedang mengingatkan kami bahwa berseteru dengan Feng Wei akan membuat hidup susah. Dengan pengaruhnya, mana mungkin dia tak tahu gejolak di seperguruan kami? Kami memang generasi muda tanpa back-up. Dia takut kami mati sia-sia karena berurusan dengan Feng Wei.
Tapi bagaimana harus kujawab? Setelah bicara dengan pejabat tengkorak itu, mustahil aku bocorkan urusan Kunlun. Kuota ini terlalu vital bagi kami. Di saat genting ini, Shen Xing malah berkata pada Si Kakek Gu, "Kakek Gu, aku nggak takut! Jangan pakai namaku buat ngingetin mereka. Feng Wei mana berani ganggu aku. Biarin mereka pilih sendiri lah."
"Shen Xing, nona kecil ini, langsung menelanjangi masalah di depan umum. Aku juga malas menghindar, akhirnya mengeratkan gigi dan berkata pada Kakek Gu: 'Kakek Gu, kuota ini benar-benar tidak bisa kulepaskan. Lagipula Feng Wei sudah terang-terangan mengincar barangku. Sekalipun aku lolos kali ini, belum tentu bisa menghindar kedua kalinya. Lebih baik begini saja.'"
Ucapanku ini jelas menempatkan aliran kita pada posisi berbahaya. Ke depannya, mungkin hanya kami bertarung melawan sebuah organisasi. Tapi apa yang perlu ditakutkan? Keturunan Lao Li tak pernah mundur menghadapi penindas. Bukankah Guru dan yang lain juga tumbuh dengan menghadapi cobaan sendiri dulu?
Menanggapi jawabanku, Kak Cheng Xin tersenyum tipis, jelas menyetujui keputusanku. Sementara Kakek Gu menatapku dalam-dalam: "Anak muda, saat pertarungan tadi siang, kau pakai ritual Mao atau ilmu memanggil dewa?"
"Ritual Mao," jawabku.
"Bakatmu bagus, indera spiritualmu kuat! Tapi jangan sok tak terkalahkan. Karena kau nekat ke pasar hantu, aku hanya bisa mengawasimu di sana. Ke depannya, harap kau lebih berhati-hati." Usai bicara, Kakek Gu langsung berdiri hendak pergi.
Kesan saya terhadap orang tua itu cukup baik. Melihatnya hendak pergi, saya tetap mengantarnya dengan sopan. Saat sampai di pintu, Si Kakek Gu berkata padaku: "Nak, yang bisa kulakukan hanyalah mengingatkanmu. Feng Wei meski berkarakter rendahan, tapi kesombongan dan keganasannya mengerikan. Ditambah dia mengincar barangmu, awalnya mungkin akan menyerangmu sendiri. Jika kau bisa menyelesaikan masalah ini sepenuhnya dalam waktu ini, itu juga sebuah solusi. Kami praktisi spiritual dari aliran benar, meski berhati mulia, bukan berarti lemah hati. Masa iya saat membasmi siluman dan iblis harus ragu-ragu? Kau ini terlalu belas kasihan."
Setelah berkata demikian, Si Kakek Gu pun pergi. Saya paham maksudnya. Bagaimanapun dia melihat langsung pertarungan ilmu antara saya dan Lin Chen. Dia menegurku karena terlalu toleran sehingga sering membuat diri terjebak dalam posisi pasif.
Dia mengingatkanku: Dalam menghadapi Feng Wei, harus menyelesaikan masalah dengan tegas.
Kedatangan Si Kakek Gu hanyalah selingan kecil. Kami tidak membahasnya panjang lebar. Hari ini pukul 12 malam masih ada sesi pasar hantu, tapi di waktu yang sama pintu gerbang akan dibuka untuk kepergian peserta.
Sekitar pukul 11 lewat sedikit, banyak orang sudah mempersiapkan barang bawaan dan mengantri di pintu gerbang. Biaya mengikuti sekali pasar hantu sangat mahal. Hanya segelintir orang yang mengikuti ketiga sesi. Karena itu cukup banyak yang memilih pergi di waktu ini.
Sekitar lewat jam 12, perkemahan yang tadinya ramai tiba-tiba sepi dalam waktu kurang dari 10 menit. Yang harus pergi sudah pergi, sisanya menuju ke pasar hantu terakhir. Hanya tersisa beberapa orang yang jarang-jarang, seolah keramaian beberapa hari sebelumnya hanyalah mimpi belaka.
Aku berdiri bosan di pintu gerbang sambil memandang sekitar. Dalam hati aku menghitung: Pasar hantu terakhir jam 2 pagi ini, Feng Wei sudah kalah memberiku satu kuota. Tapi sampai sekarang tak ada yang memberi tahu cara ikut pasar hantu terakhir ini. Jangan-jangan harus pergi ke pasar hantu biasa?
Saat sedang berpikir begitu, dari kejauhan kulihat seorang pria berbaju hitam mendatangiku. Mungkinkah dia yang dicari?
Benar saja. Dia berhenti tepat di hadapanku. Dengan nada formal dan sopan bertanya: "Bapak Chen Cheng Yi, Anda mendapatkan satu kuota untuk pasar rahasia. Apakah Bapak akan hadir sendiri atau...?"
"Saya sendiri yang akan pergi." Aku menyela pembicaraannya. Ini sudah kami musyawarahkan sebelumnya - lebih baik semua urusan ditangani satu orang, agar tak ada yang curiga kalau keturunan Lao Li sedang menyelidiki Kunlun.
"Baik, silakan ikut saya sekarang." Kata pria berbaju hitam itu dengan sopan.
Aku agak terkejut. Pasar hantu yang diadakan jam 2 pagi ini harus berangkat sekarang? Tapi aku tak banyak bertanya. Kuminta pria itu menunggu sebentar, masuk ke dalam memberi tahu Kak Cheng Xin dan Shen Xing, lalu berangkat bersama si pria berbaju hitam.
Sepanjang perjalanan, aku dan orang berbaju hitam itu tetap hening. Dia hanya memimpin jalan, sementara aku terus mengikuti. Pernah kukatakan lembah ini berbentuk tetesan air mata, pasar hantu berada di area yang lebih dalam, tapi orang berbaju hitam ini malah membawaku berjalan di tepian lembah.
Cara berjalan seperti ini jelas paling memakan waktu. Tapi aku tak bisa banyak bertanya. Setelah berjalan dalam keheningan selama lebih dari satu jam, orang itu tiba-tiba berkata: "Sampai?"
Sudah sampai? Hatiku dipenuhi keraguan. Di sini sama sekali tidak ada bangunan buatan manusia, hanya lereng gunung yang gelap gulita. Bagaimana mungkin dia bilang sudah sampai?
Aku tak buru-buru bertanya, hanya mengamati sekeliling. Tapi orang berbaju hitam itu mengeluarkan perangkat walkie-talkie yang cukup canggih untuk masa itu, berkata: "Keluar jemput tamu." Lalu ia berpaling padaku: "Aku tak punya wewenang untuk tetap di sini. Semoga transaksimu lancar."
Setelah itu, dia berbalik dan pergi. Aku juga tak banyak bertanya. Dari walkie-talkie yang dia bawa, aku tahu pasar hantu rahasia ini pasti tersembunyi di sekitar sini. Tapi ucapan "jemput tamu" membuat keringat dinginku mengucur, terdengar seperti aku diajak 'mengunjungi rumah pelacuran'.
Tak sampai 3 menit menunggu di tempat, kudengar suara xi xi su su datang dari lereng gunung. Ketika kupalingkan kepala, seorang lagi orang berbaju hitam tiba-tiba muncul entah dari mana.
Ini juga seorang yang tidak banyak bicara. Setelah menemukanku, dia langsung mengajakku mendaki lereng bukit. Aku mengikutinya dari belakang, hingga tiba di mulut gua, barulah aku akhirnya tahu di mana Pasar Hantu rahasia ini berada!
Ternyata Pasar Hantu rahasia ini terletak di dalam gua alami. Di bawah pemandangan malam, lubang legenda yang tidak terlalu besar ditutupi selembar kain hitam besar, ditambah dengan tumbuhan yang menyamarkannya, membuatnya sangat sulit untuk ditemukan.
Orang berbaju hitam membawa senter berjalan di depan, sementara aku mengikuti dari belakang. Gua ini tidak berkelok-kelok, hanya berupa jalan lurus. Tidak sampai dua menit berjalan, orang itu berkata, "Tamu, kita sudah sampai." Kemudian dia berbalik dan mundur berjaga di lubang legenda.
Tempat yang dia bawaku ini mungkin area terluas di gua tersebut. Dengan beberapa pahatan buatan manusia, tempat ini terlihat seperti aula kecil.
Semua ini seharusnya biasa saja, tapi pemandangan di hadapanku membuatku tak bisa menahan keraguan besar: apakah aku datang ke tempat yang salah?!
Mengapa? Karena di sini sama sekali tidak terlihat seperti tempat transaksi. Yang ada hanyalah tempat tidur sederhana berjejer, atau lebih tepatnya tikar yang digelar di tanah. Banyak dari tempat tidur itu kini diisi orang-orang yang sedang berbaring atau duduk. Jika tidak tahu, mungkin mengira ini asrama besar.
Pasar Hantu yang disebut-sebut paling misterius ini sedang main apa? Keraguanku muncul. Saat aku melangkah maju, tiba-tiba kurasakan getaran formasi yang luar biasa kuat, begitu hebatnya hingga membuatku linglung – apakah aku masih berada di Dunia Manusia?
