"Seberapa besar?" Ekspresi Gu Xindao terlihat aneh menghadapi pertanyaanku. Lama sekali baru dia berkata: "Tak ada yang tahu pasti. Dengan kualifikasiku, baru dua kali ke sini. Tapi dengar-dengar dari yang lain..."
Gu Xindao terlihat bingung melanjutkan. Rasa penasaranku langsung terbakar: "Kakak Xindao, cepatlah bicara! Aku jadi gelisah dibuatnya."
“Aku sebelumnya tidak tahu bagaimana mendeskripsikannya, lebih baik kuberi beberapa fakta: ada yang melintasi pintu gerbang gunung, berada di atas rangkaian pegunungan yang membentang, pemandangannya indah seperti Puncak Emas Emei. Ada juga para Taoist kuno yang membuka altar untuk mewariskan Tao, ajaran mereka penuh misteri yang sulit dipahami, namun hati seperti mendapat pencerahan, memperoleh manfaat besar. Tapi ada pula yang melintasi pintu gerbang, malah berada di gurun luas nan tandus, matahari terbit-terbenam mengandung makna Tao alam semesta... Masih banyak fakta lain, singkatnya ini tempat yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.” Gu Xindao merangkai bahasanya lama sebelum bisa menggambarkan seberapa luas tempat ini padaku.
Mendengar ini aku terkejut. Secara pribadi, karena guruku menghilang dan pencarianku akan Kunlun yang sia-sia, hatiku menolak teori dimensi ini. Ironisnya, justru aku harus membuktikan dan mengejarnya.
Pasar hantu ini, menurut Gu Xindao, memiliki ruang seluas itu. Apakah ini membuktikan teori dimensi? Ataukah keberadaannya seluas imajinasi hati? Mengandung kebenaran tertinggi Buddhisme, dunia idealis yang tersembunyi dalam butiran pasir, sehelai daun - besar atau kecilnya tergantung hatimu, hati dunia, barulah kau bisa melihat sesuatu?
Tapi aku tak ingin mengungkap isi hati, hanya berkata pada Gu Xindao: "Orang-orang yang kau sebut menemukan keberadaan Tao di sini, tapi kami di kota kecamatan biasa ini belum melihatnya?"
Gu Xindao tersenyum memandangku, berkata: "Kau lepaskan dulu urusan transaksi, tenangkan hati dan resapi kota kecil ini. Bukan tidak mungkin terdapat Jalan Tao alam semesta di dalamnya."
Membina hati selalu menjadi kelemahanku. Guruku pernah berkata sifatku yang terlalu terikat dan tidak tegas membuatku tak bisa menembus hakikat. Melihat ekspresi Gu Xindao, dalam hal Jalan Tao, dia jauh melebihiku.
Aku ikuti sarannya, melepaskan transaksi dan Kunlun untuk sementara. Sebagai pengamat, aku mulai meresapi kota kecil ini. Bagaimanapun, sebagai praktisi spiritual dan Taoist, aku tak bisa mengabaikan Jalan Tao-ku, meski kemungkinan penyempurnaannya sangat kecil.
Demikianlah, aku berjalan tanpa tujuan di kota ini. Terkadang berhenti, terkadang merenung dalam. Di sini kusaksikan keseharian, kesederhanaan, keramaian, juga kesepian di balik lentera temaram...
Entah sudah berapa lama berjalan, tiba-tiba kusadari: kumelihat kehidupan atau mungkin ia adalah dunia. Saat kujadikan diri pengamat, kutemukan semua jejak kehidupan pada akhirnya hanyalah upaya meraih kedamaian batin dalam kesederhanaan.
Seperti kerinduan pada orang tua: kau harus berbakti baru batin tenang.
Seperti perasaan pada istri: kau harus mencintai baru batin tenang.
Seperti persahabatan: kau harus setia baru batin tenang.
Seperti ikatan dengan anak: kau harus bertanggung jawab baru batin tenang.
Semua perasaan menyatu, hingga akhirnya tak ada penyesalan, tak ada rasa bersalah, mereka akan berubah menjadi ketenangan batin yang memenuhi hatimu, akhirnya mencapai pembebasan karena kau tak lagi terbebani, kau telah melakukan segalanya dengan sempurna, barulah ini kembali pada keutuhan!
Dan masih ada satu ketenangan yang harus kau lakukan, yaitu kebajikanmu terhadap seluruh umat manusia. Kau tak mengkhianati orang, kau berbuat baik pada semua, hatimu secara alami akan tenang dan utuh.
Inilah esensi sejati melatih hati di dunia fana, kembali ke hati nurani melalui perasaan, tak terikat karma, tak mengkhianati orang, menjalani setiap peran dengan baik...
Pencerahan ini membuatku terdiam sejenak. Tiba-tiba aku mengerti mengapa Guruku berkata perasaanku terlalu berat, sulit mencapai kesempurnaan Jalan Tao. Karena perasaan yang mendalam pasti mengandung obsesi dan nafsu, seperti perasaanku pada Ruxue. Mencintainya membuatku ngotot ingin bersamanya, meski karena suatu hal tak bisa berjumpa, itu pun bertentangan dengan niat sejati. Maka timbullah ikatan dan belenggu, hati yang tak legawa, mana mungkin utuh?
Aku tak bisa memahami bahwa mencintainya saja sudah cukup, sisanya hanyalah bentuk lahiriah.
Mencintainya adalah ketenangan batin, karena cintaku tulus, tak mengkhianatinya sudah cukup. Bersama justru menjadi nafsu.
Di kota kecil ini, aku malah mendapat pencerahan ini. Tapi memahami satu hal, mencapai ketenangan terhadapnya adalah hal lain.
Di sini, kulihat jurang dalam hatiku. Ya, sebuah jurang yang nyata.
Melihat aku berdiri terpaku di sana, Gu Xindao tersenyum dan bertanya: "Apakah ada pencerahan yang kau dapatkan?"
Aku mengangguk dan berkata: "Ya, ada pencerahan! Tiba-tiba aku mengerti mengapa Zhuangzi bisa menerima kematian istrinya dengan begitu ikhlas. Karena hatinya tenang, tak ada beban lagi. Takdir telah berakhir, apa lagi yang perlu disesali? Dia tak mengecewakannya di kehidupan ini, tak perlu upacara pemakaman untuk menunjukkan kerinduan atau obsesinya."
Gu Xindao tiba-tiba bertanya: "Lalu, apakah kau bisa melakukan hal yang sama?"
Aku menggeleng: "Aku tak sebebas itu. Inilah perbedaan kedewasaan mental antara orang suci dan manusia biasa."
Gu Xindao menghela napas panjang: "Ayo, kita hampir sampai di pasar itu."
Aku terkejut: "Ini kan kota kecamatan yang sepi, mana ada pasar?"
"Menurutmu? Bagaimana orang-orang di pegunungan atau gurun bisa mencapai pasar? Kesempatan memahami Tao ini terlalu berharga. Tempat ini ajaib, bahkan aliran sesat pun bisa mendapat pencerahan di sini. Tapi kita hanya boleh tinggal sebentar. Para pemimpin inti yang datang ke pasar hantu ini, kadang bukan untuk transaksi, tapi mencari pencerahan. Aku pernah sekali ke sini, dan tahu waktunya hampir habis. Makanya kukabarkan, kita hampir sampai." Gu Xindao berbicara dengan nuansa misterius.
Dengan perasaan bingung, aku mengikuti Gu Xindao menyusuri gang sempit. Di ujung lorong, muncul pintu gerbang melingkar seperti pintu taman biasa. Tapi aura pintu itu persis seperti gerbang gunung tempat kami masuk tadi.
Aku tak bisa menjelaskan mengapa ada perasaan ini, tapi memang itu memiliki napas yang sama.
Sebelum sempat bertanya, Gu Xindao sudah berkata: "Seharusnya itu pintu gerbangnya, melewati pintu itu berarti kita sudah sampai pasar. Tampaknya, kau dan aku sama-sama orang yang tak berjodoh di pasar hantu ini. Ah..."
"Mengapa berkata begitu?" Aku tak mengerti.
"Memasuki pasar, transaksi tanpa hasil, otomatis akan keluar dari pasar hantu ini, tak ada kesempatan kembali ke tempat-tempat ini. Artinya, kesempatan bertemu jodohmu hanya ada sebelum masuk pasar. Di dalam pasar murni transaksi, tak ada istilah 'bertemu jodoh' di sana, semua barang punya harga jelas." Gu Xindao menjelaskan padaku.
Aku manggut, dalam hati merasa sedikit menyesal. Hanya bisa menaruh harapan pada informasi Kunlun di pasar itu. Bagaimanapun tempat ini sangat ajaib, aku sangat yakin bisa menemukan kabar Kunlun di sini. Meski sebelum transaksi, pegawai tengkorak itu sudah menyiramku dengan N ember air dingin.
Gang kecil ini sangat sepi, sesekali ada beberapa pejalan yang mengabaikan kami. Aku tak yakin bisa menemukan jodoh lagi, tapi tepat saat jarak 10 meter dari pintu gerbang melengkung itu, seorang kakek tua bersinggungan denganku.
Sama seperti yang lain, dia lewat begitu saja tanpa menghiraukan. Aku penasaran meliriknya. Dialah orang paling modern yang kujumpai di kota kecil ini. Dari cara berpakaiannya, sepertinya seangkatan guruku, atau mungkin lebih awal, karena masih ada ciri-ciri era Republik Tiongkok. Karena itu aku memandangnya.
"Lalu aku dan Gu Xindao tetap berjalan menuju pintu gerbang bundar itu. Tapi baru beberapa langkah, tiba-tiba kudengar suara berwibawa bergema dalam pikiranku (dalam kondisi roh): 'Hei nak, berhentilah di situ.'"
Hatiku langsung dipenuhi kegembiraan. Orang-orang di sini biasanya mengabaikan kami. Gu Xindao pernah bilang, kalau ada yang menyapamu, berarti jodohmu datang.
Seketika kupalingkan badan dan kulihat orang tua itu sudah berdiri di belakangku memandangiku, raut wajahnya samar-samar terlihat agak heboh.
Dengan penuh semangat kutanya: "Tuan, apa Bapak memanggilku?"
"Ya, yang kupanggil memang kau! Kalau orang lain yang dipanggil, mana mungkin kau dengar? Jangan panggil Tuan, kedengarangan aneh. Panggil saja Lao Dao!" Orang tua itu mengendalikan ekspresinya lalu bicara padaku dengan tenang.
