Mungkin ketenanganku menular ke Kak Cheng Xin. Tatapannya akhirnya mulai fokus, ada sedikit emosi di matanya - tapi semua emosi itu adalah kesakitan. Ia menutupi wajahnya: "Cheng Yi, sungguh menyakitkan ketika dokter tak bisa menyelamatkan orang, apalagi orang pentingmu roboh tepat di depanmu. Aku sangat takut, takut Shen Xing..."
Aku berdiri, tanpa kata menatap langit-langit sejenak, lalu dengan kasar menarik Cheng Xin ke kamar mandi. Kran kubuka, kepalanya kutetakkan di bawah aliran air dingin yang deras menyiram otaknya!
Mungkin rangsangan air dingin itu membuat Kak Cheng Xin tersadar. Dengan geram ia mengangkat kepala dari kran, berteriak: "Kau ngapain?" Sambil mengepal, tinjunya melayang ke arahku.
Kutangkap tinjunya, kuhardik: "Kau masih belum sadar? Otakmu cuma dipenuhi 'tak bisa menyelamatkannya'! Shen Xing itu cerdas, jika ia marah padamu, takkan memilih cara ini! Masih ada harapan... Kau boleh marah, sedih, tapi jangan jadi pecundang! Mengerti?"
Aku paham betul siksaan rasa bersalah ini. Harus kusadarkan Kak Cheng Xin secepatnya. Aku khawatir pada Shen Xing, tapi juga tak ingin Kak Cheng Xin tenggelam dalam keputusasaan.
Akhirnya kecerdasannya bekerja. Atau mungkin air dingin itu yang mendinginkan pikirannya. Ia tersadar, tiba-tiba tenang. Kemejanya ditanggalkan untuk mengelap rambut, lalu dipakai kembali dengan rapi.
Tak buru-buru keluar, ia berkata: "Cheng Yi, kasih rokok."
Kubakar dua batang. Satu kujepit di bibirku, satunya kuselipkan di mulutnya...
※※※
Waktu menunggu terasa begitu menyiksa, setiap menit terasa seperti satu jam. Tapi Si Kakek mengatakan waktu menunggu juga berharga, kita selalu berharap waktu berjalan lebih lambat. Karena selama masih bisa menunggu, berarti masih ada harapan.
Hanya saat keputusasaan datang, seseorang akan berhenti mengantri.
Jarum jam terus berdetak, di dalam hati aku terus mempertanyakan: "Mengapa Shen Xing memilih pilihan seperti itu?"
Kak Cheng Xin sudah menjelaskan kronologi kejadian secara singkat padaku. Justru penjelasan ini membuat segalanya semakin tak terpahami.
Sejujurnya, hari ini sebenarnya hari yang membahagiakan bagi Kak Cheng Xin. Kencannya dengan Shen Xing berjalan lancar. Menurutnya, hubungan mereka sudah hampir menyentuh tahap kekasih.
Shen Xing hari ini berbeda dari biasanya. Meski terlihat antusias bergaul dengan kami, sebenarnya ada tembok hati yang tebal menyekat.
"Hari ini, tembok itu tidak ada, Cheng Yi! Aku bisa merasakannya! Ia mengajakku menjelajahi gang-gang, menunjukkan tempat masa kecilnya di Tianjin, mengajakku mencicipi kuliner khas yang hanya dikenal warga lama Tianjin. Ia bercerita panjang lebar tentang pekerjaannya, nilai rapornya yang selalu gemilang... Cheng Yi, Shen Xing hari ini benar-benar tanpa tembok hati." Demikian kata-kata asli Kak Cheng Xin.
Aku percaya pada Kak Cheng Xin. Aku yakin kebahagiaan saat mereka berdua menjelajahi sudut kota itu benar-benar berada di sana.
Mereka terus menjalani hubungan yang bahagia seperti ini hingga malam tiba, Shen Xing tiba-tiba mengajak Kak Cheng Xin untuk menemaninya minum arak di suatu tempat yang hampir mencapai perbatasan pinggiran kota. Tempat yang dimaksud Shen Xing ternyata adalah atap rumah petak yang sudah ditinggalkan, lokasi yang baru saja ditunjukkan Shen Xing padanya sebelumnya - tempat masa kecilnya dulu.
"Sebenarnya, tinggal lama di sana sangat menyenangkan! Tidak ada keramaian kota, hanya angin sepoi-sepoi yang membawa aroma tanah dan rumput, plus bulan di atas kepala. Aku dan dia benar-benar menikmati minum bersama." Hingga saat itu, Kak Cheng Xin merasa semuanya normal dan penuh berkah.
Pada akhirnya, Kak Cheng Xin menghabiskan lima kaleng birnya. Shen Xing mengatakan siapa yang habis duluan harus turun lebih dulu, ini aturan permainan masa kecilnya. Saat mengucapkan ini, bir di kaleng Shen Xing masih tersisa separuh.
"Aku tidak mencurigai apapun, langsung turun! Dari bawah, aku tidak bisa melihat jelas apa yang dilakukannya di atas, hanya melihat kakinya terus bergoyang-goyang dengan riang. Tidak sampai sepuluh menit menunggu, dia pun turun." Ini deskripsi Kak Cheng Xin tentang kejadian saat itu.
Kemudian mereka pun mulai perjalanan pulang. Sepanjang jalan, Kak Cheng Xin terus mempertimbangkan apakah akan mengungkapkan perasaan pada Shen Xing, tapi ragu karena belum lama berkenalan. Apalagi ia mulai menyadari semangat Shen Xing semakin merosot.
"Baru berjalan kurang dari 5 menit, Shen Xing sudah terlihat kelelahan. Ia tiba-tiba berkata pada Kak Cheng Xin: 'Su Cheng Xin, kau gendong aku. Aku tidak bisa jalan lagi!'"
Kak Cheng Xin merasa heran, tapi juga diam-diam sedikit senang. Kalau Shen Xing mau digendongnya, apakah itu artinya ia menerima dirinya? Tapi melihat keadaan Shen Xing yang benar-benar mulai lemas bahkan seperti mengantuk.
Tanpa menolak, Kak Cheng Xin menggendong Shen Xing di punggungnya. Mereka menyusuri jalan raya sepi di pinggiran kota.
Saat itu, Shen Xing tiba-tiba berkata: "Dulu sekali, ada seseorang yang suka menggendongku bolak-balik di jalan ini. Waktu itu, kami tidak punya uang untuk tinggal di kota."
Mendengar ini, Kak Cheng Xin hanya terdiam. Ia tidak tahu harus merespons apa. Ia menduga orang yang disebut Shen Xing pasti sangat penting baginya - mungkin seorang pria, pasti pria yang memiliki hubungan sangat dekat dengannya.
Sebenarnya saat itu hati Kak Cheng Xin sedikit cemburu, tapi ia tak mempermasalahkan. Siapa yang tidak punya masa lalu? Atau di usia ini, siapa yang belum pernah mencintai?
Ia hanya merasa suara Shen Xing terdengar samar. Apakah ini cara menghindari kenangan? Begitulah pikiran Kak Cheng Xin saat itu.
Tapi belum genap satu menit, Shen Xing tiba-tiba berkata lagi: "Su Cheng Xin, aku akan mati."
"Apa yang kau omongkan? Kondisimu baik-baik saja, bagaimana mungkin kau akan mati?"
“Su Cheng Xin, kau pria yang baik. Aku sempat berpikir untuk menerimamu, tapi... tapi aku tak bisa melewati batasan dalam diriku sendiri.” Suara Shen Xing semakin samar.
Kak Cheng Xin tertegun sejenak, tapi segera berkata lembut: "Tak apa, tak ada yang memaksamu melewati batasan sekarang. Waktu masih panjang, aku akan menantimu, perlahan-lahan."
"Ti... tidak ada waktu lagi. Aku sudah minum banyak... banyak obat tidur... obat tidur." Suara Shen Xing berangsur menghilang. Ia tergeletak di punggung Kak Cheng Xin tanpa gerakan, tubuhnya semakin berat.
Ini fenomena saat manusia kehilangan kendali atas tubuhnya sendiri! Kak Cheng Xin seorang dokter, bagaimana mungkin ia tak tahu?
Ekspresi wajaknya berubah drastis. Segera ia menurunkan Shen Xing, meraba nadinya. Detak jantung melambat - ciri khas keracunan obat tidur!
Kak Cheng Xin panik. Seperti dikatakannya, berbagai cara terlintas: induksi muntah, dll. Tapi Shen Xing bahkan kehilangan kemampuan menelan, rahangnya terkunci rapat...
Tak berani membuang waktu, sebagai dokter ia tahu setiap menit, setiap detik berharga!
Hampir berlari ke tengah jalan menghentikan mobil yang lewat, lalu mengantar Shen Xing ke rumah sakit!
Benar, Shen Xing menipu semua orang dengan kebahagiaan semu seharian itu - termasuk Kak Cheng Xin. Tapi tak ada yang tahu alasan di baliknya! Aku pun hanya bisa menduga tindakannya terkait pembicaraannya dengan Guru Liu.
"Tapi, bukankah Ia bilang akan menghadapi? Menghadapi sama dengan bunuh diri? Itu pelarian paling pengecut, ngerti?"
Aku agak tak paham, jadi merasa gelisah. Dalam keheningan yang menyedihkan ini, tiba-tiba Kak Cheng Xin berbicara: "Cheng Yi, tahukah kau? Itu keajaiban! Dalam kondisi efek obat sudah bekerja, Ia masih bisa bicara begitu jelas padaku! Tahukah kau? Butuh kehendak yang sangat kuat untuk itu... pasti itu hal yang sangat ingin Ia sampaikan padaku."
Saat mengucapkan ini, setetes air jatuh dari rambut Kak Cheng Xin yang masih lembap, bagai tetes air mata.
Topik pembicaraan mereka begitu... aku tak tahu harus mendeskripsikan bagaimana. Menghadapi kekaguman Kak Cheng Xin akan keajaiban itu, aku sama sekali tak bisa menyela, hanya bisa diam.
Persis saat itu, lampu ruang gawat darurat padam. Dokter keluar. Aku dan Kak Cheng Xin berdiri, menghampiri. Tak satu pun dari kami berani bertanya, hanya diam membeku.
Dokter menarik masker dengan kasar, berkata dengan ekspresi penyesalan: "Maaf, Ia menelan pil tidur dengan arak. Dosisnya terlalu besar. Kami sudah berusaha maksimal."
"Ti-Tidak... tidak mungkin..." Kak Cheng Xin menggelengkan kepala, ekspresi antara tertawa dan menangis, lalu tiba-tiba bersimpuh di lantai.
