"Menghadapi pertanyaan Kak Cheng Xin, Shen Xing tidak menghindar, melainkan berkata langsung: "Ya, karena dia. Dalam hidupku, dia adalah kakak, teman, sekaligus pasangan. Bahkan, dia juga memainkan peran sebagian ayah. Di masa-masa bersamanya, dia hampir menjadi segalanya bagiku."
Kak Cheng Xin terdiam. Kata-kata Shen Xing sederhana, tapi justru kalimat sederhana ini mengandung perasaan yang menyentuh hingga ke roh! Karena itu, Kak Cheng Xin sama sekali tak bisa berkata apa-apa.
Ini adalah perasaan yang terbangun melalui rentang waktu panjang dalam hidup. Berapa banyak masa seperti itu yang dimiliki seseorang?
Atau mungkin kesalahan Shen Xing hanyalah pada keengganannya memberi kesempatan lagi pada diri sendiri, maupun pada Kak Cheng Xin, untuk membangun ikatan seperti itu.
"Su Cheng Xin, aku kembali untuk menunggumu. Aku selalu merasa berhutang penjelasan padamu. Dengan egois aku memanfaatkanmu untuk membuat diri sendiri bahagia sehari dalam keputusasaan. Sebenarnya aku ingin memberi diri sendiri sebuah pilihan. Su Cheng Xin, bisakah kukatakan maaf padamu?" Suara Shen Xing terdengar sayup.
"Jangan minta maaf padaku. Kau sudah akan pergi, bukan? Perasaan sendiri harus diambil kembali sendiri. Jika tak bisa, serahkanlah pada waktu." Kak Cheng Xin berbisik.
"Di lemari bajuku ada buku harian, biar Cheng Yi yang menyimpannya. Barang lainnya bisa dibakar." Tiba-tiba Shen Xing berkata demikian.
Aku agak bingung, bertanya: "Kenapa harus aku yang menyimpan?"
“Buku harian itu mencatat beberapa hal tentangku, bisa dianggap sebagai jejak bahwa aku pernah hadir di dunia fana. Tidak menyerahkannya kepada Su Cheng Xin, karena aku ingin dia cepat melupakanku, aku... aku berharap dia mendapat berkah. Jika suatu hari nanti, Su Cheng Xin bisa melepaskanku, kau boleh memberikan ini padanya, atau ceritakan kisah dalam buku harian ini padanya.” Shen Xing berkata padaku demikian.
Kak Cheng Xin di sampingku memegang titik antara alis, tak bisa membantah.
“Sudahlah, pertemuan seperti ini hanya untuk memberi penjelasan pada Su Cheng Xin. Sisanya, biarkan Guru Liu yang mencari cara untuk melepas pergi diriku.” Shen Xing tersenyum lembut, berkata dengan tenang. Senyum itu persis seperti hari ketika aku dan Kak Cheng Xin melihatnya sedang mengantri di pintu gerbang – saat itu adalah pertemuan pertama mereka.
“Aku yang meminta orang untuk melakukan ritual pelepasan arwahmu.” Kataku pada Shen Xing.
“Siapa yang melakukan tidak penting. Aku telah menggunakan nyawa untuk menjaga kesempurnaan ikatan perasaan ini. Aku lelah, sudah waktunya melepaskan kehidupan ini. Jadi, siapa pun pelaksananya tak masalah, yang kutetahui hanyalah sudah saatnya aku pergi.” Demikian jawaban Shen Xing padaku.
“Tidak, jangan pergi dulu.” Kak Cheng Xin yang selama ini hening tiba-tiba bersuara.
Aku langsung menatapnya dengan khawatir – apakah dia masih bersikeras ingin menahan Shen Xing? Ekspresi Shen Xing pun berubah agak terkejut, diselimuti duka.
Kak Cheng Xin tidak peduli, hanya melangkah ke tepi tempat tidur itu sambil berkata, "Berikan aku pelukan. Dengan pelukan ini, hatiku mungkin tak akan begitu sakit. Mungkin pelukan ini akan membuat cinta yang kau jaga tak lagi sempurna. Tapi aku bersikeras menginginkannya. Kau tak berhutang penjelasan atau permintaan maaf padaku, yang kau hutang adalah sebuah pelukan."
Mendengar ucapan Kak Cheng Xin, aku menghela lega. Dengan khawatir kutatap Shen Xing. Ia begitu terobsesi dengan perasaannya, akankah ia memeluk Kak Cheng Xin?
Ekspresi Shen Xing seperti orang yang hendak menangis, sayang sebagai roh tak ada air mata bisa mengalir. Ia berdiri, mendekati Kak Cheng Xin, lalu memeluknya erat. Kepalanya bersandar di dada Kak Cheng Xin.
Pasrah, ini adalah pelukan Yin Yang yang terpisah, Kak Cheng Xin sama sekali tidak bisa merasakan tubuh Shen Xing, sementara Shen Xing juga tak bisa merasakan suhu tubuh Kak Cheng Xin.
Tapi momen ini juga menjadi saat keajaiban terjadi, Kak Cheng Xin seolah benar-benar merasakan sesuatu hingga mengulurkan kedua lengannya, membalas pelukan Shen Xing dengan sempurna. Di bawah Mata Ketigaku, mereka benar-benar berpelukan dengan sempurna.
"Inilah bentuk tubuhmu yang kuingat dalam memoriku," bisik Kak Cheng Xin memulai pembicaraan.
"Maafkan aku yang egois ingin menjaga sebuah perasaan, hingga menyakitimu. Jika benar ada reinkarnasi, semoga di kehidupan berikut kita bisa bertemu lagi. Saat itu, aku tak akan melewatkanmu lagi. Pertemuan di hari itu anggaplah sebagai kencan kita yang belum selesai, dan kata-kata hari ini adalah janjiku untukmu." Suara Shen Xing terdengar dari pelukan Kak Cheng Xin.
"Hm." Kak Cheng Xin menitikkan air mata, namun berusaha santai: "Bagus juga, calon istri di kehidupan berikut malah sudah ketemu di hidup ini."
Aku tak sanggup melukiskan duka saat ini. Pelukan yang terpisah Yin Yang itu memang indah, sayangnya sebelum kata 'indah' itu sendiri, definisinya adalah kepedihan. Keindahan yang menyakitkan lebih mengharu daripada sekadar kesedihan murni.
Bertahun kemudian, tanpa sengaja aku dan Kak Cheng Xin menonton sebuah drama. Saat lagu tema drama itu berkumandang, tiba-tiba air mata Kak Cheng Xin mengalir deras, sementara aku selalu teringat pelukan terpisah Yin Yang itu.
"Maafkan aku yang dulu tak tahu menghargai, hanya bisa bersikap manja dan merusak segalanya. Semoga kau di alam sana bisa mendengar suara hatiku... Jika benar nanti ada janji pertemuan yang belum terpenuhi, jika benar masih ada kelembutan seperti ini, kuharap langit menjadi saksinya..."
※※※
Segala jenis duka dalam hidup pada akhirnya akan memudar bersama waktu. Kau mungkin tak bisa melupakan, tapi waktu bisa melupakannya. Karena kau akan mati, bereinkarnasi, sementara waktu tetap ada. Kesedihanmu tak berarti bagi waktu, karena pada akhirnya waktu bahkan bisa melupakanmu sendiri...
Aku tak ingin dengan sengaja menghibur Kak Cheng Xin. Masih bisa meluapkan perasaan, berarti dia masih terikat pada dunia fana ini, maka timbul duka.
Saat seseorang menghadapi emosi dengan tenang sempurna, bukan berarti dia telah mencapai pencerahan. Itu artinya dia—sudah jatuh dalam keputusasaan.
Jadi, selama dua hari ini kubiar Kak Cheng Xin mabuk berat setiap hari. Bahkan aku ikut minum bersamanya. Tapi aku sama sekali takkan mengucapkan sepatah kata penghiburan.
Kami adalah rekan seperguruan, juga teman dan saudara. Saudara sejati bukanlah yang selalu menasihatimu untuk rasional, tapi yang bisa menemanimu berduka.
Pada sore hari ketiga, sambil mengusap kepala yang masih sakit pasca-mabuk, kulihat Kak Cheng Xin yang masih tertidur lelap karena hangover. Dengan kepala pusing, aku pergi ke kamar kecil dan membasuh wajah dengan air dingin.
Dirangsang oleh dinginnya air, kondisiku membaik. Menatap wajahku yang masih meneteskan air di cermin, aku berpikir: "Apa tidak masalah mengemudi ke bandara menjemput si nak Huigen dalam keadaan begini?"
Sekilas sudah bertahun-tahun berlalu. Selama ini Huigen sibuk mengikuti berbagai guru, plus harus sekolah! Setiap pertemuan kami selalu terburu-buru, tak bisa lama. Yang lebih penting, jika dihitung, sudah satu setengah tahun aku tak melihat si nak ini.
Sudah lima tahun sejak Guru-guru kami pergi, Biksu Hui Jue meninggalkan kami. Kini lima tahun berlalu, Huigen si nak ini pasti sudah 18 tahun.
Karena sejak kecil, si nak ini hidup dalam kemurnian, jadi agak terlambat matang. Aku sering teringat saat dia berusia 13 tahun, ketika bertemu denganku masih suka melompati tubuhku. Memikirkannya, aku tak bisa menahan tawa.
Selain itu, Liu Shifu juga memiliki ikatan emosional dengan Shen Xing. Untuk ritual pelepasan arwah Shen Xing, dia sengaja menunda beberapa hari waktu ritual untuk putrinya. Dia juga memberitahuku bahwa putrinya meneteskan air mata atas kepergian Shen Xing.
Benar, manusia bukanlah tumbuhan, siapa yang bisa tanpa perasaan?
Sekalipun hidup di neraka, seseorang tetap berhak memiliki perasaan dan kesedihan, selama dia masih manusia!
Cepatlah menjemput Huigen. Dalam hatiku, ingin sekali malam ini juga melepaskan arwah Shen Xing. Itu yang terbaik untuk Shen Xing. Dililit karma buruk memang bukan hal baik.
Mungkin air dingin yang membekukan membuatku sadar, mungkin angin sepanjang perjalanan yang menyadarkanku. Singkatnya, setelah mabuk semalaman, aku bisa menyetir gerbong kereta dengan stabil ke bandara. Haruskah aku berterima kasih pada performa gerbong pinjaman Qinhuai?
Di bandara, aku membeli majalah sembarangan dan duduk di tempat acak sambil menunggu Huigen.
Memperkirakan waktunya hampir tiba, mataku terus mengawasi pintu kedatangan. Tapi kulihat ke segala arah, Huigen tetap tak terlihat. Apakah Huigen...? Alisku berkerut. Karena tak bisa menghubungi Jue Yuan yang sulit dilacak, barulah aku mencoba menghubungi Huigen. Sebenarnya aku tak ingin mengganggu sekolahnya. Apa si nak ini benar-benar membatalkan janji?
Saat aku masih asal menebak-nebak, tiba-tiba mataku berkunang-kunang. Sebelum sempat bereaksi, sesosok siluet menyergapku dengan pelukan beruang yang begitu erat, hampir mencekik leherku.
Ketika sosok itu melepaskanku, aku membeku kaku. Huigen?
