Tiga hari ini kuhabiskan untuk menemani Huigen. Si nak ini setelah bebas dari batasan dua gurunya di sekolah, bagai burung lepas sangkar yang beterbangan riang. Hobinya tiap hari adalah menggangguku untuk membelikannya pakaian.
Membelikan Huigen pakaian tentu tak kusayangkan. Tapi kami selalu bertengkar. Aku sungguh tak bisa menerima celana besar dengan ujung lebar, atau baju dan sepatu warna-warni yang kutolak secara instingtif. Namun akhirnya aku selalu kalah, tak tahan digebraknya.
Dalam tiga hari ini, Kak Cheng Xin telah pulih. Senyum lembutnya kembali menghias wajahnya. Ia tenang namun sedikit bicara, hanya berhenti minum arak. Tak kutanya apakah ia benar-benar sudah melepaskan atau pura-pura, karena tahu beberapa luka perlu waktu.
Pagi hari ketiga aku hendak ke Liu Shifu. Huigen memaksa Kak Cheng Xin mengajaknya belanja - si nak ini lebih suka belanja daripada wanita. Akhirnya mereka berdua naik gerbong keretaku.
Di dalam gerbong, kami berdiskusi tentang sarapan apa yang akan dimakan. Karena Huigen vegetarian, awalnya kami setuju makan kacang kedelai dan youtiao. Namun saat melewati suatu jalan, kulihat toko kue yang sudah buka pagi-pagi. Rupanya mereka sedang memanggang kue, aromanya menyebar hingga separuh jalan.
Kuhentikan gerbong di pinggir jalan. Kukatakan pada Huigen: "Tunggu di sini, Kak akan belikanmu kue." Dalam ingatanku, kue adalah makanan favorit Huigen. Tapi setelah bertahun-tahun, aku sudah melupakannya. Hari ini aroma kue itu mengingatkanku kembali.
Namun begitu kata-kataku meluncur, segera kusesali. Tiba-tiba kuingat, dulu ada anak muda yang menangis sambil berkata padaku: "Aku takkan pernah makan kue lagi."
Apakah karena waktu telah berlalu terlalu lama? Apakah aku telah melupakan begitu banyak kepedihan konkret, hanya menyisakan tekad mencari Guruku di hati?
Benar saja. Sebelum sempat menarik kembali ucapanku, suara tenang Huigen sudah terdengar dari kursi belakang gerbong: "Kak, aku tak mau makan. Begitu mencium aromanya, ingin rasanya aku menangis."
Kumenyalakan mesin dalam hening. Seketika, suasana sedih menyelimuti ketiga kami di gerbong. Seolah kami kembali ke Pondok Bambu lebih dari lima tahun lalu, masa-masa ketika kami menangis histeris terpuruk dalam kesedihan.
Pertama yang memecahkan keheningan adalah Kak Cheng Xin. Dia berkata pada Huigen: "Sebenarnya ini bukan masalah kue. Kalau ingin makan, silakan saja. Kau ini orang Buddhis, tuntutan membina hati lebih ketat dibanding kami penganut Taoisme. Jangan sampai muncul obsesi karenanya."
Huigen menjawab: "Aku juga tahu ini bukan soal kue. Tapi aku takut, setelah makan kue nanti, ketika menoleh ke belakang, ada lagi orang penting yang hilang dariku."
Aku tetap diam dari awal sampai akhir. Luka hati ini benar-benar bisa menyeret banyak hal. Seperti bertahun-tahun ini, aku tak pernah sekalipun berani kembali ke Pondok Bambu.
※※※
Kembali aku datang ke tempat Liu Shifu. Adapun Kak Cheng Xin dan Huigen sudah pergi jalan-jalan. Setelah sekian lama, kami sudah belajar: setiap kali sedih, segera menyesuaikan suasana hati.
Seluruh bangunan ini hanya ada Liu Shifu seorang. Setelah duduk, aku bertanya penuh perhatian: "Liu Shifu, urusannya sudah beres? Anak perempuannya mana?"
"Masalahnya sudah selesai. Adapun Zhenmeng pergi belanja. Beberapa hari ini dia tak bisa diam. Menurutnya rumah ini terlalu menekan. Dia minta aku membeli rumah, katanya ingin tinggal di tempat ramai." Liu Shifu tersenyum pasrah.
"Lalu kau belikan?" Aku penasaran. Hanya dua tahun waktu tersisa, bagaimana Liu Shifu akan menangani hal ini?
“Beli saja, asal dia bahagia, selama aku mampu menanggungnya, aku akan melakukannya untuknya.” Saat membicarakan hal ini, tatapan Liu Shifu dipenuhi kelembutan dan kemesraan. Aku yakin jika Liu Zhenmeng meminta bintang, Liu Shifu akan berusaha mengambilnya seandainya mungkin.
Tapi apakah memanjakan seperti ini baik? Aku mengerutkan alis tipis, namun tak bisa mencampuri urusan keluarga orang lain.
Saya terdiam sejenak sebelum bertanya: “Liu Shifu, bisakah Anda sekarang menceritakan tentang Kunlun?”
Liu Shifu tersenyum sambil mengeluarkan sebuah buku catatan dari laci, memberikannya padaku dan berkata: “Sebelum bercerita tentang Kunlun, saya harus memberikan ini dulu. Ini daftar jaringan koneksi gurumu yang kususun selama beberapa hari ini. Sudah kuperiksa berulang kali, sepertinya tidak ada yang terlewat.”
Kuambil buku itu dan membuka halaman pertamanya. Informasi di dalamnya memang sangat detail, tidak hanya mencantumkan nama, usia, alamat, tapi juga deskripsi hubungan dengan guruku. Ini sangat membantuku.
Tapi ini bukan tempat yang tepat untuk mempelajarinya secara mendalam. Hanya dengan sekilas melihat satu halaman, kulepaskan kembali buku itu.
Liu Shifu kemudian menjelaskan: “Beberapa orang dalam daftar ini sulit ditemui. Level mereka dalam komunitas praktisi spiritual bisa disebut sebagai bumi dewa. Mungkin petunjuk terpenting untuk mencapai Kunlun ada pada mereka.”
“Lalu bagaimana dengan petunjuk yang Anda berikan? Bukankah katanya hanya dengan petunjukmu kita bisa menapaki jalan ke Kunlun?” Tanyaku dengan bingung.
“Tentu saja, aku tidak akan menipu kau. Hanya saja, petunjuk yang kumiliki ini terlalu banyak ketidakpastian, dan sangat sulit untuk direalisasikan. Jika suatu hari petunjuk ini tidak membuahkan hasil dalam pengejaranmu, kau bisa mencoba jaringan koneksi ini.” Begitu kata Liu Shifu padaku.
“Aku akan melakukannya.” Sebenarnya jika memungkinkan, aku tidak ingin menghubungi orang-orang di buku catatan ini. Bagaimanapun mereka adalah kenalan Guruku. Aku enggan merepotkan mereka. Alasannya pertama untuk menjaga gengsi Guruku - murid yang meminta bantuan kenalan pribadi gurunya sendiri, bagaimana pantasnya? Kedua, untuk merahasiakan kasus hilangnya Guruku, mengingat reputasi Kunlun pasca-kejadian itu terlalu berbahaya di kalangan ini.
“Baiklah, pertama-tama akan kuberikan delapan karakter. Delapan karakter ini adalah petunjuk terpenting dariku: Jika ingin mencari Kunlun, cari terlebih dahulu Penglai.” Liu Shifu berkata dengan sangat serius delapan karakter itu padaku, sama sekali tidak terlihat seperti bercanda.
Mataku membelalak. Kukira Liu Shifu sedang bercanda. Satu Kunlun saja sudah cukup membuat pusing, bagaimana bisa Penglai juga muncul? Bukankah Penglai adalah pulau dewa dalam legenda? Di mana harus kucari?
Ekspresiku jelas mengkhianati pikiranku. Liu Shifu menghela napas dan berkata: “Jangan biarkan legenda mengaburkan penglihatanmu. Terkadang jika dikupas kulit mitosnya, legenda pun tak seajaib itu! Leluhurku pernah berkata, cara tercepat kembali ke Kunlun adalah seperti ini - temukan dulu Penglai.”
"Tapi bagaimana aku harus mencari Penglai?" Benar, aku juga setuju untuk tidak terbuai oleh legenda. Jika Kunlun saja bisa ada, mengapa Penglai tidak mungkin ada? Masalahnya, aku sama sekali tidak punya sedikitpun pemahaman tentang Penglai, bahkan lebih buruk daripada pengetahuan tentang Kunlun.
"Secara spesifik begini, entah kau pernah dengar legenda bahwa negara kita beberapa kali menemukan pulau mengambang misterius, tapi tak terdeteksi oleh instrumen ilmiah canggih! Mereka kadang muncul, tapi menghilang tiba-tiba. Sebenarnya informasi ini rahasia negara. Alasan beberapa kasus bocor menjadi legenda karena dilihat orang biasa, lalu tersebarlah kabarnya." Guru Liu berkata tenang padaku.
Saat itu jaringan informasi masih baru berkembang, jauh belum secanggih zaman modern. Penyebaran legenda juga terbatas secara geografis. Jelas aku belum pernah dengar legenda ini. Namun napasku mulai memburu. Jika bicara pulau mengambang, dibanding Kunlun yang samar dan tak nyata, ini memang lebih realistis. Dengan ragu aku bertanya: "Guru Liu, maksudmu...?"
"Ya, maksudku jelas. Jangan tertutup mata oleh legenda. Pulau mengambang itu adalah Penglai." Guru Liu berkata tegas padaku.
"Tapi bagaimana aku harus mencari pulau-pulau itu? Bagaimana kau bisa begitu yakin?" Aku mengerutkan alis bertanya.
“Aku bisa begitu yakin karena ayahku yang memberitahuku. Ini adalah rahasia turun-temurun keluarga kami, sebab seperti pernah kusebutkan, leluhur kami berasal dari Kunlun. Sumber informasi ini berasal darinya. Mengenai cara mencari pulau terapung, pertanyaan ini sulit kujawab. Kau mungkin harus menghabiskan separuh hidupmu menjelajahi sungai dan lautan. Bisa saja tak berhasil, atau jika beruntung, dalam beberapa tahun kau sudah mendapat hasil.” Demikian penuturan Liu Shifu padaku.
“Tapi masalahnya, lautan begitu luas di dunia ini, sungai pun tak terhitung jumlahnya. Haruskah aku mencari tanpa petunjuk konkret?” aku mengerutkan kening.
“Tentu saja aku tak akan menyuruhmu mencari buta seperti itu. Jejak pun akan kuberikan padamu.” Liu Shifu tersenyum padaku.
Harus diakui, petunjuk yang kudapat dari Liu Shifu ini merupakan jejak paling bermakna yang pernah kuperoleh selama bertahun-tahun. Akhirnya, untuk perjalanan menuju Kunlun di masa depan, kutemukan arah yang jelas!
