Sebelum berangkat ke Yueyan Miao Zhai, selalu ada pikiran yang mengganggu: saat mengumpulkan kembali sisa roh Ai Lin, haruskah aku menghubungi Lin Chen? Aku sendiri tidak tahu kenapa ada dorongan ini, tapi akhirnya tetap kulakukan.
Aku tidak punya kontak Lin Chen. Hanya bisa menghubungi Xiao Chengqian. Ketika kusebut ingin minta kontak Lin Chen, Xiao Chengqian jelas-jelas tegang. Kurasakan dia takut aku akan memihak Lin Chen.
"Sebenarnya aku tidak tertarik ikut campur urusan organisasimu. Kontak denganmu pun bukan berarti aku berada di pihakmu. Jika harus menyebut alasan menghubungi Lin Chen, hanya satu: karena Ai Lin." Begitu kataku pada Xiao Chengqian.
Xiao Chengqian terdiam sejenak, akhirnya memberikan kontak Lin Chen padaku.
"Percakapan aku dengan Lin Chen sangat singkat. Setelah telepon tersambung, aku langsung berkata pada Lin Chen: 'Aku Chen Cheng Yi, dua hari lagi akan naik pesawat ke Kunming, perkiraan sampai di Yueyan Miao Zhai lima hari kemudian. Saat itu aku akan mengumpulkan kembali sisa roh Ai Lin.'"
"Aku tahu, aku masih di rumah sakit." Jawaban Lin Chen juga singkat.
Hanya dua kalimat itu. Kami sudah tak lagi punya bahan pembicaraan, masing-masing langsung menutup telepon. Dia di rumah sakit, mungkin luka bakar dari Pertarungan Ilmu sebelumnya belum sembuh. Tapi apakah maksudnya ini penolakan? Aku malas memikirkannya. Aku hanya menggenggam bungkusan ruas jari tulang dalam kain hitam itu, dalam hati berbisik pada Ai Lin: "Aku sudah berusaha sekuat tenaga!"
Saat aku dan Huigen tiba di Kunming, Kakak Enam yang menjemput kami.
Setelah bertahun-tahun tak bertemu, pesona Kakak Enam masih sama. Sorot matanya semakin menebarkan aura kematangan seorang wanita.
Melihat kami, Kakak Enam tersenyum ramah. Sikapnya tak berlebihan namun tetap hangat. Dengan lihai dia menyambut kami: "Hari ini tokoku tutup lebih awal. Di rumah sudah kusediakan beberapa masakan kecil. Sudah lama tak bertemu, cobain dong apakah keahlian masakku menurun?"
Begitulah Kakak Enam, setiap kata dan tindakannya selalu menyenangkan. Di tokonya yang masih sama persis, dia menyuapkan sepotong ham ke piringku dan sepotong lotus ketan untuk Huigen sambil menjelaskan: "Manusia memang makhluk yang rindu nostalgia. Toko ini sungguh tak tega kubah."
“Nostalgia? Tahun itu ketika hidupku terombang-ambing, saat aku datang ke Yunnan dalam kebingungan dan tinggal di tempat Kakak Enam, justru dari dirinya aku mendapatkan kehangatan samar. Takkan kulupakan makanan hangat yang tertata rapi dan tempat tidur bersih saat itu. Jika bicara tentang nostalgia, bukankah itu sifat umum manusia? Mana mungkin hanya dirinya sendiri?”
Aku dan Huigen tak buru-buru berangkat. Kami menginap semalam di tempat Kakak Enam. Aku mengobrol dengannya hingga larut. Dia memiliki kecerdasan dan kelapangan dalam menghadapi orang. Berbicara dengannya selalu memberi ketenangan batin.
Aku bercerita tentang Ai Lin dan Lin Chen, juga tujuan perjalanan ini.
Kakak Enam terdiam lama setelah mendengar, akhirnya berkata: "Ada tipe orang seperti ini: saat memiliki, dia tak sadar betapa berharganya. Baru setelah kehilangan, dia sadar betapa beruntungnya dulu. Orang seperti ini egois. Mengapa? Karena saat memiliki, dia anggap itu wajar. Saat kehilangan, dia tak sanggup menerima! Ini masalah kesenjangan psikologis."
“Apa kau maksud Lin Chen?” Sebenarnya aku percaya kedalaman perasaan Lin Chen. Jika tidak, takkan dia nekat mengambil ruas jari tulang untuk memanggil sisa roh Ai Lin. Aku tak mau menilai apakah tindakannya ekstrem, tapi pergi ke Yueyan Miao Zhai seperti itu jelas berisiko. Melakukan petualangan untuk seseorang mustahil tanpa kedalaman perasaan.
“Hehe, bukan Lin Chen juga ya.” Kakak Enam menyisir rambut yang terjuntai di telinganya, gerakan memesona itu persis seperti dulu. Hanya saja, aku melihat garis halus di sudut matanya. Manusia, pada akhirnya akan menua.
“Mungkin setiap orang punya kecenderungan seperti ini, ini disebut kemalasan terhadap kebahagiaan. Betapapun takutnya kita di awal, betapa berharganya sesuatu, seiring waktu semuanya menjadi kebiasaan lalu dianggap wajar. Kupikir, jika semua orang ingat rasa berharga di awal, hubungan di dunia ini akan lebih sempurna.” Kakak Enam berkata tenang. Ia selalu begitu bijak, namun tak pernah membicarakan dirinya sendiri. Aku tahu pasti ia wanita yang punya cerita, tapi aku tak tertarik mendengar lebih banyak. Terlalu banyak kisah hanya akan mengacaukan hati, kadang tak sanggup kutanggung.
Mungkin inilah alasan Guruku bilang sifat dasarku punya celah, sulit mencapai kesempurnaan.
Hanya saja, konsep "kemalasan terhadap kebahagiaan" ini kusimpan rapat di hati, mengingatkanku untuk selalu menghargai.
Yueyan Miao Zhai masih tersembunyi di balik pegunungan. Jalan menuju sana setelah sepuluh tahun tak berubah sama sekali. Dulu aku berangkat bersama Fanfan dan Tuan Tuan, kali ini Huigen berjalan di depanku dengan semangat yang jauh melebihiku.
Kutersenyum sinis pada diri sendiri. Usia 32 tahun bukanlah tua kan?
"Sampai di jalan terakhir menuju Desa Miao Yueyan, aku kembali melihat pemandangan indah itu. Setiap kali melihatnya selalu membuat terkesima, kali ini pun tak terkecuali. Hanya saja yang berbeda, di dataran sebelumnya serta lereng bukit di sampingnya, kini bermunculan banyak rumah panggung. Itukah permukiman baru Desa Miao Heiyan?"
Seketika, terasa seperti asap masa lalu yang menguap.
"Kak, menurutmu berapa lama lagi orang-orang dari dua desa ini akan tinggal di pegunungan?" Huigen, remaja kekinian berkacamata hitam yang menatap ke arah desa seberang, bertanya padaku.
"Lambat laun akan pergi. Dari yang kudengar dari kakakmu Ruyue, generasi muda mulai dikirim keluar sedikit demi sedikit. Hanya mereka yang sudah tua atau generasi sebelumnya pasti akan tetap berjaga di desa ini. Kau tahu kan, kebiasaan satu orang saja sulit diubah, apalagi kebiasaan turun-temurun seluruh desa?" Begini penjelasanku pada Huigen.
"Kebiasaan terkadang adalah belenggu, tapi justru belenggu yang paling tak disadari. Jika seseorang bisa melampaui kebiasaannya, mungkin di saat itu hatinya merdeka. Itu juga bentuk kedewasaan mental." Huigen tiba-tiba berkata padaku.
Kupalingkan wajah, memandang Huigen yang berdandan ala preman jalanan ini. Mendengar ucapannya yang begitu dalam, terasa seperti minum kopi ditemani bakpao - sangat tidak cocok. Tapi tetap saja kuseka rambut Huigen sambil berkata: "Dasar kau, bicaramu kali ini dalam sekali."
"Huigen yang tak puas usianya lebih besar, aku masih mengelus kepalanya, di bawah tanganku ia menggeliat menghindar, lalu mengutarakan keinginan besarnya: 'Apa itu dalam atau tidak, aku tak mau jadi orang yang dalam, aku mau jadi pria ganteng.'"
"Baiklah, kau takkan bisa melebihiku seumur hidup." Kataku sambil tersenyum.
"Sudahlah, Kak, kau sudah tua, mana ada seganteng aku." Huigen menyeringai sinis.
"Kau tak paham pesona pria makin matang makin berkarakter. Malas aku jelaskan!"
"Orang yang bersaing ganteng dengan anak kecil disebut matang? Kak, sadarlah." Huigen membuat ekspresi pasrah.
Hmm... Kudapati diri tak bisa membalas, tak sanggup mengalahkan si nak ini, maka kulayangkan tangan, tanpa pikir kujitit pipi Huigen...
Begitulah kami tertawa riang sepanjang jalan hingga tiba di kaki gunung. Tak disangka di kaki gunung sudah ada yang menanti - Lin Chen beserta beberapa anak buahnya.
Penampilan Lin Chen tak terlalu baik, meski berpakaian terlihat perban membalut tubuhnya. Tapi kesombongannya tetap sama. Melihatku, ia melepas kacamata hitam: "Chen Cheng Yi, kau yang telepon aku, tapi aku lebih cepat setengah hari! Lukaku perih, cuaca panas begini, kalau sampai infeksi kau yang tanggung jawab?"
Aku dengan tenang menatap Lin Chen, merasa semakin kau mengenalnya, semakin sulit membencinya. Dalam kadar tertentu, sebenarnya dia memiliki sisi kekanak-kanakan yang tersembunyi sangat dalam.
"Ini menyangkut Ai Lin, menurutmu tidak seharusnya kau datang lebih awal?" Itu responsku.
Lin Chen mengenakan kacamata hitam, ekspresinya tak terbaca. Setelah lama akhirnya dia berkata: "Aku tidak peduli, pokoknya jika ada konsekuensi pada penyakitku, dalam Pertarungan Ilmu berikutnya kau harus mengalah satu jurus."
Sejujurnya, dengan kesombongannya, belum tentu dia bisa menerima pengalahanku. Namun dia selalu ingin menunjukkan sisi oposisinya terhadapku.
Mengapa harus berseberangan? Apakah lawan seumur hidup memang harus selalu bertentangan? Aku menggeleng kepala pasrah.
Kami melewati Desa Miao Heiyan dan langsung menuju Desa Miao Yueyan. Meskipun dendam dengan Heiyan sudah selesai, kurasa kedatanganku takkan disambut gembira. Bagaimanapun, aku termasuk yang pernah menyerang desa mereka. Meski sudah memulai hidup baru, pilihan mereka tak serta-merta melupakan masa lalu.
Karena itu, lebih baik mereka tinggal di dekat Yueyan dengan pengawasan.
Hanya waktu yang bisa mengendapkan segala sesuatunya. Hubungan harmonis antar dua desa baru akan benar-benar tercipta setelah lama berinteraksi.
Sesampai di desa, aku tak langsung menemui Ruxue. Di desa tempat kami pernah jatuh cinta ini, aku belum siap mental bertemu. Yang tersisa antara kami hanyalah sesekali nonton film dan pertemuan ala teman. Sejak berpisah, kami tak pernah lagi bertemu di desa ini.
Sedangkan Lin Chen di sini, tentu saja tidak disukai... Untungnya semua ada penjelasanku.
Setelah menangani beberapa urusan sepele, aku memutuskan untuk mengumpulkan kembali sisa roh Ai Lin tepat setelah jam 11 malam ini!
