Di balik lereng bukit ini terdapat makam leluhur Yueyan Miao Zhai. Ai Lin yang dulu menjadi pengkhianat desa demi cinta, namun membuktikan cintanya pada desa dengan nyawa. Tak peduli betapa tersiksanya hidupnya di masa lalu, seberat apapun pilihan antara Lin Chen dan desa, akhirnya ia tetap dimakamkan di pemakaman leluhur ini.
Mungkin ini jawaban desa untuknya: apapun kesalahan yang kau perbuat, selama hatimu masih mencintai desa, pada akhirnya kau akan kembali ke pangkuan desa.
Lereng gunung ini sangat curam, angin malam menerpa rambutku dan Lin Chen yang berantakan. Entah karena alasan apa, meski sudah larut malam, Lin Chen masih memakai kacamata hitam. Orang seperti dia mungkin tidak suka orang lain mengintip hatinya. Sepasang kacamata hitam kecil memang bisa menyembunyikan banyak hal.
Sementara aku, berdiri di dalam formasi yang sudah kugambar sebelumnya, dengan sepenuh hati mengumpulkan sisa roh Ai Lin. Proses ritual ini rumit dan melelahkan, mengingat sudah bertahun-tahun berlalu, betapa sulitnya mengumpulkan kembali semua ini?
Indera spiritualku akhirnya membantuku. Proses mengumpulkan sisa roh ini berpusat pada satu hal—penelusuran. Dengan indera spiritual yang kuat, tentu lebih mudah merasakan bagian lain dari arwah Ai Lin yang terpisah. Ia tak bisa bereinkarnasi, sehingga arwahnya pasti berkeliaran di tempat kematiannya. Ini satu-satunya hal yang sedikit meringankan.
Mungkin karena hanya sisa roh, saat aku melakukan ritual dan sepenuhnya melepaskan indera spiritual untuk menemukan Ai Lin, dalam persepsiku ia selalu tampak kaku dan kosong. Dalam hati aku menghela napas, tak menyangka setelah hampir sepuluh tahun, aku akan bertemu Ai Lin lagi. Namun dalam keadaan seperti ini, sungguh terasa menyedihkan.
Setelah menemukan Ai Lin, langkah berikutnya adalah menyalakan Lentera Penuntun Arwah dalam formasi, lalu menggunakan metode memanggil arwah untuk mengumpulkan sisa rohnya.
Lentera Penuntun Arwah dinyalakan oleh Lin Chen, namun proses memanggil arwah tidak berjalan mulus. Karena aku bukan keluarga dekat Ai Lin, sulit bagiku untuk memanggil kembali sisa rohnya.
Di saat kritis, Huigen yang cekatan segera memanggil kakak dan kedua orang tua Ai Lin. Akhirnya, sisa roh Ai Lin berhasil dipanggil kembali.
Aku melepaskan sisa roh Ai Lin yang tersimpan dalam ruas jari tulang, dan dengan susah payah mengumpulkannya menggunakan formasi.
Saat roh terkumpul sepenuhnya, Ai Lin tersadar. Tatapannya tertuju pada Lin Chen yang tanpa disadari telah membuka Mata Ketiga. Tatapan mata mereka beradu dalam keheningan yang menyayat.
Aku tak bisa menggambarkan perasaan yang kudapat saat bertemu mereka setelah sepuluh tahun. Terasa seperti Ai Lin sudah melepaskan segalanya, sementara Lin Chen masih menyimpan banyak kata yang tak terucapkan.
Mereka seolah saling memandang lama, padahal hanya beberapa detik. Ai Lin mengalihkan pandangannya. Aku tak bisa membaca emosi di matanya - mungkin kesedihan, mungkin kelegaan setelah kekecewaan total. Tiba-tiba suara Ai Lin terngiang: "Cheng Yi, terima kasih."
Setelah sadar, Ai Lin tentu paham apa yang terjadi. Ucapan terima kasih itu menyimpan banyak makna tersirat. Tapi menurutku, satu "terima kasih" sudah cukup. Itu adalah kalimat penutup urusan duniawi, sisa-sisa perasaan setelah bunuh diri terkubur dalam ingatan waktu. Ai Lin memang benar hanya mengucapkan ini.
Usai mengucap terima kasih, Ai Lin berbalik. Ia telah melewatkan momen terbaik untuk reinkarnasi. Bantuanku mutlak diperlukan. Tatapannya menunjukkan ia tak lagi terikat. Aku pun tahu tugas yang harus kulakukan.
Kubacakan mantra ritual Tao sambil membentuk segel tangan - Mantra Penuntun Jalan. Ini adalah gerakan welas asih untuk membimbing arwah tak bertuan menuju Jalan Huangquan. Penganut Tao biasanya hanya melakukannya di hari-hari khusus, karena terlalu banyak karma yang terlibat. Langit menjunjung keadilan - keterlambatan harus dibayar mahal.
Tentu, karena ada ikatan karma antara diriku dengan arwah ini, penggunaan Mantra Penuntun Jalan diperbolehkan!
"Di masa lalu, Guruku pernah ingin melakukan Mantra Penuntun Jalan untuk Li Fengxian, sayangnya roh Li Fengxian yang sudah hancur lebur tak lagi punya kesempatan ini."
Di bawah pengaruh Mantra Penuntun Jalan, Jalan Huangquan terbuka. Andai bukan karena kondisi rohku saat ini, mustahil aku bisa melihat jalan menuju alam baka ini. Namun Ai Lin melangkah mantap seolah benar-benar ada jalan di hadapannya.
"Ai Lin, maafkan aku, aku mencintaimu." Tiba-tiba suara parau penuh tangis itu menyusup ke telingaku. Tak perlu ditanya lagi, itu suara Lin Chen.
Tak kusangka Lin Chen sampai tak bisa mengendalikan emosi. Sambil menoleh melihat ke arah cahaya api, kulihat dua garis bekas air mata di balik kacamata hitamnya. Mungkin saat ini tak perlu lagi menyembunyikan apapun, ia pun melepas kacamatanya hingga terlihat jelas mata merahnya.
Ucapan Lin Chen langsung disambut umpatan keluarga Ai Lin. Kebencian mereka terhadap Lin Chen sangatlah wajar. Meski awalnya berusaha menahan diri, mustahil mereka bisa menerima kata "cinta" yang keluar dari mulut Lin Chen.
Lin Chen adalah tipe orang yang tidak peduli pendapat orang lain. Di tengah hujan cacian, matanya hanya menatap punggung Ai Lin. Mungkin ia berharap Ai Lin mau menoleh sekali lagi? Tapi kalau memang begitu, mengapa dulu tidak dihargai? Jika benar cinta, Lin Chen sebenarnya tak perlu menjadikan Ai Lin pengkhianat - paling banter hanya mengurangi kontribusinya di organisasi.
"Sudah tahu akan begini, ngapain mulai dulu?" Kalimat sederhana bernada menyesal ini sebenarnya adalah prinsip universal yang diajarkan orang-orang zaman dulu dengan bobot makna yang luar biasa.
Sayangnya siluet Ai Lin hanya bertahan sejenak, akhirnya tidak menoleh lagi, melangkah ke depan tanpa ragu. Saat hampir menghilang, sebuah kalimat: "Sudahlah!" bergema di benak semua orang.
Kedua orangtua Ai Lin menangis histeris, kakaknya juga dilanda kesedihan, tidak ingin lagi memaki Lin Chen.
Lin Chen seolah kehilangan tulangnya, tiba-tiba berlutut dengan tangan menopang tanah. Angin gunung menusuk, terdengar suara Lin Chen yang terputus-putus: "Mengapa dia tak mau menatapku sekali lagi? Mengapa?"
Sementara itu, setelah kuselesaikan segel tangan, yang bergemuruh di benakku hanya satu kalimat: "Ucapan 'sudahlah' ini, berapa banyak perasaan yang terkubur di baliknya?"
Huigen melantunkan mantra Buddha, melangkah perlahan mendekati Lin Chen, berbisik: "Saat Kakak Ai Lin berkata 'sudahlah', itu artinya dia telah melepaskan semua ikatan duniawi! Setelah bunuh diri, Guruku dan aku sendiri yang memberi kekuatan pikiran agar reinkarnasinya lancar. Kau...lepaskanlah, banyak ikatan hanya akan menambah karma baginya."
Perkataan Huigen terasa kejam, tapi aku paham ini sikap yang benar. Saat orang tercinta pergi, kita boleh berduka, tapi jangan terus-terusan meratap. Itu akan menjadi ikatan di jalan reinkarnasi mereka, membuat dendam kehidupan sebelumnya tak terselesaikan, bahkan bisa menghambat proses masuk ke kehidupan berikutnya!
Karena perasaan adalah benang yang masih mengikat mereka.
Ini adalah konsep yang dimiliki baik Buddhisme maupun Taoisme, hanya saja sangat sulit dilakukan. Orang-orang seringkali hanya bisa lemah mengandalkan waktu.
Mungkin perkataan Huigen telah melukai Lin Chen. Ia berdiri dengan langkah goyah sambil berkata, "Jika dia sudah berkata 'cukup' padaku, maka aku pun akan berhenti."
Begitulah Lin Chen, sama sekali tak mau menunjukkan kelemahan. Namun bagiku, kata-katanya terdengar sangat tak meyakinkan, menyimpan luka yang dalam. Semoga saja ia benar-benar berhenti.
Menghampiriku, Lin Chen berkata, "Berikan ruas jari tulang itu padaku."
Aku mengeluarkan ruas jari tulang dan memberikannya. Kakak Ai Lin berteriak padaku, "Jangan berikan! Jika ia membawanya, adikku tak akan memiliki jasad yang utuh!"
Sebenarnya menurutku, roh telah pergi. Yang tersisa hanyalah kulit sementara, seperti mesin rusak yang telah terpakai. Tapi prinsip kejam ini tak bisa kusampaikan pada kakak Lin Chen. Aku hanya berkata pada Lin Chen, "Penuhi permintaan keluarganya."
Lin Chen sama sekali mengabaikan kakak Ai Lin. Ia berjalan ke kuburan Ai Lin, menggali lubang kecil dan mengubur ruas jari tulang. Katanya, "Dulu aku berjanji: hidup-mati saling bergantung. Jika kau mati, aku yang menguburkanmu. Jika aku mati, kau yang menyembunyikanku. Saat itu, kupikir itu hanya kata-kata manis. Tapi kemudian, aku sadar benar-benar ingin melakukannya. Ruas jari tulang ini dulu kugali dengan air mata. Sekarang kukuburkan lagi. Ini karma, juga bukti aku menguburkanmu dengan tanganku sendiri. Sudah tak ada hutang lagi, kan? Maka...cukup."
Setelah berkata demikian, Lin Chen membungkuk menghadap kuburan. Sebenarnya tindakan ini sudah tak lagi bermakna, ia sangat sadar Ai Lin telah pergi. Sekadar membungkuk untuk menghibur dan menenangkan dirinya yang masih hidup, lebih baik daripada menanggung rasa sakit yang menganga.
Dalam hembusan angin gunung, Lin Chen berbalik. Anak buahnya yang berjaga dari jauh mendekat dan menyampirkan jas hujan di pundaknya. Lin Chen memakainya, melangkah menuruni gunung dengan ujung jas berkibar-kibar. Aku merasa ia sedang bersenandung, maka ku mendekat beberapa langkah, dan menyadari ia nyaris tak sadar sedang melantunkan:
"Merah bagai mawar yang memilih akhirnya sendiri, merah bagai darah di bibir yang penuh kebencian. Dari mimpi indah dalam kegelapan yang pekat, dari rasa sakit yang tak terpantul di cermin... Kau bagai debu dunia yang menghunjam berat..."
"Merah bagai semangat masa muda yang berkobar, merah bagai kenangan mentari senja yang menjauh. Itu senyuman yang kau tebarkan padaku, bagai garis hidup di telapak tangan kita..."
"Kaulah luka yang paling mempesona, mungkin..."
Lin Chen sedang menangis, kudengar desis hidungnya yang berat. Merahkah? Aku seolah kembali ke tahun itu, melihat Ai Lin saat darah merah segar bagai mawar mekar mengelilingi tubuhnya, menyilaukan hingga membuat air mata jatuh.
Belakangan, kutemukan lagu ini. Membaca liriknya, tiba-tiba aku paham mengapa Lin Chen tak sadar bersenandung di saat paling pedih - itu semua perasaannya pada Ai Lin.
Aku tak tahu perasaan apa yang kurasakan saat turun dari bukit makam leluhur ini bersama Huigen. Angin gunung menerpa dingin, namun di bawah cahaya bulan, dari kejauhan kulihat siluet tenang berdiri di samping sebatang pohon tua di kaki gunung.
Ruxue!
Sebenarnya aku selalu menghindari pertemuan dengannya di tempat ini. Tiba-tiba melihatnya, aku pun membeku. Segenap kenangan lalu berhamburan, membuatku bimbang apakah harus mendekat atau tidak.
Dari jarak belasan meter, Ruxue menatapku sambil bertanya: "Ai Lin, apakah Ai Lin pergi dengan tenang?"
